Share

Seeds of Suspicion

   Kerutan di kening Aghata mulai menghilang, wajahnya menjadi pucat pasi sedikit gugup. “Aku apa?” tanya Aghata.

   Apa kamu ada kaitannya dengan kasus malam ini? Seharusnya Andi bertanya hal itu, tapi dipendam kembali dalam hati dan menukarnya dengan sebuah tawaran. “Apa kamu ingin ke rumah sakit? Aku takut lukanya lebih parah dari dugaanmu,” saran Andi.

   Diam-diam Aghata menghela napasnya, ia pikir Andi akan menanyakan hal yang penting karena wajahnya mendadak jadi sangat serius. Keringat bahkan turun membasahi pelipis Aghata. Jika dilihat dari berbagai sudut, luka di lengan Aghata akan membuat orang lain salah paham, dan mengira ia terlibat dalam kasus pembunuhan malam ini.

   “Aghata! Kenapa diam saja? Apa lukanya semakin sakit?” Tangan Andi melambai-lambai di depan wajah Aghata.

   “Tidak terlalu sakit, kita pulang sekarang! Aku akan mengobatinya di rumah,” jawab Aghata.

***

   Di dalam kamar, Aghata duduk seorang diri di tepi ranjang. Ia mengoleskan obat di lengan yang terluka. Rambutnya menari-nari ketika angin menyapa melalui jendela kamar yang terbuka. Ujung kapas pembersih ketika menyentuh luka di lengan membuatnya meringis kesakitan.

   Dari balik pintu, Andi melihat Aghata sedang kesusahan saat membalutkan perban di lengan. Ia menghampiri Aghata sambil membawakan teh hangat. Dengus napasnya terdengar sampai ke telinga Andi, menyerah untuk membalut perban yang selalu lepas.

   Andi menaruh teh di meja, kemudian duduk di sebelah Aghata, merampas perban di tangannya. Lengan Aghata sedikit diangkat untuk mempermudah Andi membalutkan perban. Sentuhan tangan Andi sangat lembut hingga Aghata tidak merasakan sakit. Dan entah kenapa, Aghata merasa canggung dengan perlakuan Andi.

   Jika dilihat lebih dekat, bulu mata Andi ternyata sangat tipis. Hidungnya juga mancung, dan lesung pipinya sangat dalam ketika sudut bibir ditarik. Tindakan Andi yang selalu khawatir setiap kali Aghata terluka, kadang kala membuatnya melihat Andi sebagai pria. Namun Ia kembali menyangkal perasaan yang lebih dari teman, karena bagi Aghata, Andi sudah dianggap sebagai keluarga .

   Andi berkata, “Sepertinya lingkungan tempat tinggal kita sudah mulai berbahaya. Apa kamu mempercayai perkataan ibu tadi, kalau anaknya melihat pelaku itu adalah wanita? Mana ada wanita yang berani membunuh seseorang? Bisa saja anak ibu itu salah lihat, ‘kan?”

   “Memangnya kenapa kalau pelakunya adalah wanita?”

   “Bukan begitu, hanya saja mayoritas para penjahat adalah laki-laki.”

   “Penjahat itu pasti mempunyai alasan tersendiri. Tidak semua alasan mereka menjurus dalam hal negatif, ada beberapa dari penjahat melakukannya karena memang harus,” sangkal Aghata.

   “Aku baru tahu ada alasan seperti itu. Apa kamu juga memiliki alasan tersendiri ketika melakukan hal negatif?” tanya Andi tiba-tiba. Ia menatap bola mata Aghata, memerlukan jawaban jujur darinya.

   “Aku sudah mengantuk dan ingin tidur, keluarlah dari kamarku!” Aghata berdalih dengan nada dingin. Ia menaikkan kedua kaki ke atas ranjang, berbaring dengan posisi membelakangi Andi. Mata Aghata menutup setelah menarik selimut, membiarkan Andi termenung seorang diri di tepi ranjang. 

   Andi tahu, seharusnya ia tidak bertanya hal itu. Walaupun hubungan Andi dengan Aghata sudah seperti keluarga, akan tetapi bertanya dengan niat mencurigai bukanlah tindakan yang baik.

***

   Sinar mentari pagi itu menembus tirai jendela kamar Aghata, membuat kedua alis yang hitam hampir menyatu. Ia meletakkan punggung tangan di atas kelopak mata, menutupi sinar mentari yang menyorot ke wajahnya. Aghata bangun sambil merenggangkan tangan. Terdapat roti isi dan segelas susu putih di atas meja sebelah lemari baju, membuat Aghata tergiur untuk menyantapnya. Aghata melahap roti isi sambil membawa susu putih di tangan untuk keluar kamar.

   Aghata mendapati Andi sedang duduk di ruang tamu, melihat berita yang disiarkan melalui TV. Ia berjalan menghampiri Andi, kemudian duduk di sebelahnya dengan kaki menyilang.

   “Terima kasih sudah membuatkanku sarapan,” ucap Aghata. Mata Andi berpaling melihat Aghata, seperti biasa ia masih melontarkan senyuman yang hangat.

   Reporter wanita di TV menyiarkan berita, tentang ditemukannya mayat pria di dalam ruangan, di suatu bar terkenal yang ada di kota E bagian selatan. Diduga pria tersebut adalah korban tembak lari. Pihak polisi berusaha mencari pelakunya, akan tetapi pegawai bar mengaku kalau CCTV ruangan itu sempat mati pada saat kejadian. Kini polisi kewalahan mencari bukti yang hilang.

   Andi melirik Aghata setelah menonton berita itu, berharap ia menunjukkan reaksi yang berbeda. Akan tetapi Aghata tetap fokus menonton berita tanpa ekspresi. Kemudian Andi tiba-tiba mengganti saluran TV membuat Aghata menatap dengan sinis, kenapa ia mengubah salurannya padahal berita itu lumayan bagus? Namun, berita yang kedua juga tak kalah bagus, kejadian semalam tentang pembunuhan tiga pria di dekat rumahnya kini disiarkan. Mata Aghata dan Andi kembali terfokus pada TV.

   “Bagaimana bisa kasus pembunuhan terjadi dua kali dalam sehari? Terlebih lagi dia membunuh korban dengan kejam menggunakan pistol,” gerundel Andi meletakkan kakinya di meja.

   “Dunia tidak selalu berisi orang-orang baik, Andi. Jadi kamu harus terbiasa, semisal terjadi pembunuhan di rumah ini.” Aghata membuat Andi tertegun.

   “Kenapa kamu bicara hal yang menakutkan seperti itu?” Andi menggerutu sambil meletakkan kedua tangan di atas dadanya.

   Aghata terkekeh melihat Andi ketakutan, ia beranjak dari kursi sambil berkata, “Hari ini aku menghabiskan waktu dengan tidur, jadi jangan berani coba menggangguku!” Jari telunjuk Aghata mengacung ke wajah Andi, kemudian meninggalkannya yang kembali menonton berita.

   Aghata menjatuhkan tubuhnya di ranjang dengan posisi telengkup. Dengus napas terdengar berat dipendam ke rongga-rongga selimut. Hari ini Aghata memutuskan untuk menghabiskan waktu seharian dengan tidur.

   Hanya butuh beberapa menit, Aghata sudah menutup mata. Perlahan kesadarannya mulai hilang, ia tertidur lelap untuk waktu yang lama. Sesekali pintu kamar Aghata terbuka sedikit, membiarkan Andi melihat Aghata melalui celah pintu, melempar tatapan hangat dari kejauhan.

   Hingga matahari berwarna kemerahan, Aghata membuka matanya. Ia bangun melihat hari sudah sore melalui jendela kamar. Iris mata yang tajam kini menjadi sayu, tubuhnya menggeliat.

   Baru saja terbangun dari tidur, Aghata sudah meraih mantel oversized coat yang tersangkut di gantungan dalam lemari. Hanya karena ia menghabiskan waktu untuk tidur, bukan berarti ia tidak bosan tidur seharian. Ketika Aghata keluar kamar, ia mendapati Andi sedang menjahit lengan jaketnya yang robek semalam.

   Pandangan Andi teralihkan oleh Aghata, keningnya berkerut. “Kamu mau ke mana sore-sore begini? Di luar sudah hampir malam,” tanya Andi.

   “Tenang saja! Aku akan kembali sebelum larut malam. Aku harus membeli barang yang tidak jadi dibeli semalam.” Tangannya sibuk mengikat tali sepatu sampai tak melihat wajah Andi yang cemas.

   “Apa aku perlu ikut?” tawar Andi.

   “Tidak perlu! Aku bisa pergi sendiri, jangan khawatir!”

   Andi hanya bisa menerimanya, meski di dalam lubuk hati merasa kecewa. Aghata melempar senyum tipis di bibir sebagai tanda pamit. Tak ada sepatah kata yang keluar lagi setelahnya.

***

   Lampu jalanan menjulang tinggi dengan cahaya yang mulai meredup, kepingan salju berjatuhan di atas rambut hitam yang dibiarkan tergerai. Wajah cantik dari wanita itu bersemayam di balik sebuah topeng, berpadu warna hitam dan putih. Rahang yang runcing mengkatup rapat bibirnya agar tidak bergetar kala rasa dingin yang mencekam.

   Wanita itu berhenti melangkah, ia meraih ikatan tali pada topeng ingin membukanya. Akan tetapi tidak dilanjutkan setelah melihat empat lelaki berdiri di hadapannya, sambil memegang revolver yang belum dikokang. Entah mereka datang dari mana, tetapi mereka terlihat sedang mencari seseorang melalui secarik kertas sebagai petunjuk.

    Lelaki bertubuh besar melihat secarik kertas di tangan, ia sedang mencocokkan isi dalam kertas dengan wanita bertopeng yang berdiri di hadapannya. “Sepertinya benar dia orangnya, tersangka utama yang Regi lihat saat itu.”

   “Siapa kalian?” tanya wanita, “kalau kalian mendekat ke arahku, aku akan teriak!” Kakinya sedikit mundur sambil mengancam.

   Empat pria itu saling bertatap-tatapan memasang ekspresi bingung. Ditataplah wanita itu dari ujung kaki hingga kepala, perawakan dari si wanita memang serupa dengan yang tertulis di kertas, tapi cara pengucapan wanita di depannya sangat berbeda.

   “Bukankah wanita itu yang menembak Tuan Baron? Tapi cara bicara wanita itu sangat berbeda sekali dengan yang tertulis di kertas ini,” kata lelaki bertubuh besar.

   “Tetapi dari bentuk tubuh serta topeng itu mirip dengan petunjuk yang Regi berikan. Regi yang bertugas menjadi kaki tangan Tuan Baron hari itu sempat berpapasan dengan wanita bertopeng, setelah mendengar suara tembakan berasal dari ruangan Tuan Baron,” sambung pria berkumis tipis.

   “Wanita bertopeng yang Regi lihat juga keluar melalui jalan yang menuju ruangan di mana Tuan Baron berada. Kita tidak boleh terbuai hanya karena cara bicara wanita ini berbeda dengan petunjuk dari Regi,” imbuh lainnya.

   Hanya dengan nada yang sedikit berbeda, empat lelaki itu sudah terkecoh oleh jebakan wanita itu. Ia sengaja mengubah cara bicara, guna memastikan alasan mereka mencarinya. Lampu jalanan di atas kepala wanita itu terputus, kegelapan mendukung saat ia menyeringai tanpa terlihat.

    “Jadi kalian adalah kaki tangan Tuan Baron? Harus aku akui ... kalian lebih lambat dari perkiraanku! Aku sarankan kalian cepat pergi dari hadapanku sekarang ... suasana hatiku sedang buruk!” Matanya menatap tajam di balik topeng sambil mengecam.

   Dari jarak sekitar 3 meter, lelaki bertubuh besar membuang gulungan kertas di tangan, keningnya mengernyit. Ia berkata, “Hampir saja kita tertipu oleh wanita itu!”

   Otot tangan empat pria itu terlihat ketika mengulurkan revolver ke arah si wanita di depannya yang berada di kegelapan. Jari mereka diletakkan pada pelatuk, tak segan untuk membidik kepala wanita itu.

   Sedangkan wanita itu celingukan mencari letak CCTV berada, beberapa lampu jalan terpasang CCTV yang mengarah padanya. Ia memilih untuk berlari ke arah belakang, membuat aksi kejar-kejaran.

   Wanita itu berlari menuju jalan yang mengarah ke sebuah gedung terbengkalai. Kepingan putih yang jatuh dari langit mengiringi setiap langkahnya. Jarak menuju gedung terbengkalai lumayan jauh dan memakan waktu sekitar 5 menit.

   Ia masuk ke dalam gedung, berlari melewati setiap ruangan yang kosong dan gelap. Deru angin menyelimutinya yang bercucuran keringat. Ia berbelok ke kiri di simpang empat dalam gedung, mengarah ke lorong buntu yang terdapat kaca besar transparan. Kaca itu sudah berdebu, dan di baliknya terdapat tanah yang diselimuti salju dengan ketinggian dari lantai 3. Ia berbalik ke belakang, mendapati empat pria yang mengejarnya baru saja tiba.

   “Mau lari ke mana lagi kamu? Jika kamu lompat ke sana, bukan hanya patah tulang tapi kamu akan mati,” kata salah satu pria, seakan wanita itu menjebak dirinya sendiri. Namun itu memang tujuan awal yang wanita itu buat, karena menyembunyikan identitas asli sangat berharga baginya. Maka dari itu dia mencari tempat yang pas agar leluasa dalam bertindak.

   Iris mata yang tajam membuat wanita itu lihai dalam pertarungan di tempat gelap, bisa dibilang ia adalah makhluk bertaring yang keluar di kegelapan. Bola mata yang hitam miliknya seperti CCTV yang bisa melihat semua pergerakan musuh secara jelas.

   “Aku sudah peringatkan kalian untuk pergi saja, tapi kalian tidak mendengarkan. Sekarang aku peringatkan kalian untuk tidak melukaiku! Jika hal itu terjadi ... aku tidak menjamin nyawa kalian selamat!” kecam wanita bertopeng.

   Ucapan wanita itu ditangkap sebagai lelucon, empat pria di depannya terbahak! Tawa pria itu berubah menjadi hening, pria bertubuh besar memberi perintah, “Habisi dia!” Suaranya menggelegar sampai ke telinga wanita itu.

   Serangan dari empat pria itu dilakukan secara bersamaan. Baku hantam sudah berlangsung selama 15 menit, dua pria berhasil dilemahkan oleh wanita bertopeng. Hal itu membuat pria berkumis tipis kesal dan mengeluarkan pisau. Pria itu berlari ke arah wanita itu dengan ujung pisau berada sejajar dengan rusuknya. Namun wanita itu menghindar, kakinya dengan cepat menepis pergelangan tangan pria itu, dan menendang bagian dada. Pria itu jatuh ke lantai bersamaan dengan pisau yang dipegang terlempar.

   Sementara pria bertubuh besar mengambil kesempatan, merampas topeng di wajah wanita itu secara paksa. Ia terkejut dan melihat siapa yang berani mengambil topengnya. Pria bertubuh besar menyeringai puas bisa melihat wajah asli dari wanita bertopeng. Dan di sisi lain, seorang pria berdiri terpaku di belakang pria bertubuh besar melihat semua hal yang terjadi di lorong itu.

   Mata pria itu langsung terfokus pada wajah wanita itu, ia berkata, “Aghata?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status