KUCURI UANG SUAMIKU YANG PELIT (5)
"Ya udah. Kayla sabar ya. Nanti Ibu belikan, tapi nggak sekarang ya. Tunggu ayah kasih Ibu uang dulu, biar Ayah nggak tanya tanya beli sepatu dan tas dari mana," kataku berjanji pada Kayla, nanti setelah Mas Dicky memberi aku uang untuk satu minggu ke depan, satu persatu aku akan membelikan putriku itu barang barang kebutuhannya. Mulai dari sepatu yang sebenarnya memang sudah tak layak pakai lagi itu. Tas, yang juga sudah robek resletingnya, seragam yang sudah dua tahun tak ganti ganti dan buku baru yang sudah mulai habis dipergunakan.
Tak tega rasanya diriku, di saat ibu dan adik adik Mas Dicky berlimpah uang pemberian darinya. Pun istri mudanya kenyang beli perhiasan hasil transferan darinya, aku dan Kayla justru kelaparan dan hidup miskin meski punya suami dan ayah seorang manager perusahaan. Mau tak percaya, tapi nyatanya aku mengalaminya sendiri! "Ibu nggak bohong kan? Hore ... alhamdulilah kalau Ibu mau belikan Kayla sepatu dan tas baru. Jadi Haykal dan teman teman yang lain nggak bisa mengejek Ila lagi nggak punya sepatu dan tas bagus seperti mereka," ucap putriku dengan nada gembira. Aku kembali hanya mampu menganggukkan kepala dengan perasaan sedih. Maafkan Ibu Ila, sebab ibu selama ini hanya bisa diam saja menerima perlakuan buruk dari ayah kamu yang begitu pelit dan perhitungan dalam memberikan kita uang belanja. Ibu janji, mulai saat ini Ibu akan memperjuangkan hak Ibu dan hak kamu agar kita juga bisa sama seperti mereka yang selama ini senang senang menikmati uang ayah kamu! Bisik ku pilu di dalam hati. Setelah selesai makan nasi bungkus dengan lauk rendang daging Padang tersebut, aku pun gegas membuang bungkus nasi yang barusan kami nikmati itu di dalam tong sampah paling bawah, rencananya secepatnya sampah sampah ini akan aku bakar supaya Mas Dicky tak tahu kalau hari ini, setelah sekian lama, akhirnya kami bisa juga makan nasi rendang Padang yang super enak dan menggugah selera itu dari uang hasil mencuri di dompetnya. ***** "Ya, Sayang ... maaf ... kemarin Mas kehilangan dompet, makanya Mas nggak jadi transfer uang ke kamu buat beli perhiasan. Ini aja Mas terpaksa kasbon di kantor, karena hape Mas jatuh dan layarnya rusak. Jadi Mas terpaksa beli baru karena kalau ganti LCD, takut nggak maksimal juga hasilnya," ujar Mas Dicky saat diam diam aku menguping pembicaraan laki laki itu dengan perempuan yang akan duga adalah istri mudanya itu di teras samping rumah di mana Mas Dicky barusan pamit, mau nelpon klien katanya barusan. "Iiih ... Mas gimana sih, kok bisa hilang duitnya? Padahal Mia kan mau pamer ke temen temen pas acara arisan nanti sore kalau Mia tambah koleksi baru lagi. Eh ... ternyata gagal! Sebel deh!" seru istri muda suamiku itu dari seberang telepon yang sontak membuatku merasa sebel. Lebih sebel lagi pada Mas Dicky yang tak berdaya mendengar perempuan pencuri suami orang itu merajuk. "Iya ... Iya ... Mas minta maaf. Tapi jangan marah dong. Entar nggak cantik lagi." "Ya udah ... gajian minggu depan, Mas kasih lima belas juta buat kamu ya, karena Mas kan harus ngasih Ibu uang juga. Kalau Nina sih nggak masuk hitungan, cuma delapan ratus sebulan Mas kasih. Itu pun Mas cicil tiap minggunya. Cuma sama kamu aja, Sayang, Mas kasih uang belanja banyak banyak. Makanya udah dong jangan ngambek lagi, nanti ilang seksinya," ujar Mas Dicky merayu dengan kata kata yang membuatku merasa mual bukan main. Ternyata seperti ini akhlak suamiku di luaran? Tunggu saja, Mas. Mulai sekarang aku tak akan menjadi Nina lagi yang jujur dan penurut jika kau memaksaku berubah seperti ini! "Ha ... ha ... ha ... iya. Kasihan kakak maduku itu ya, Mas. Nggak tahu kalau gaji Mas, Mas berikan hampir separuh buat aku. Tapi wajar dong karena pelayanan yang aku berikan pun selalu maksimal buat Mas." "Mas puas kan denganku? Nggak salah dong Mas kasih aku belanja segitu karena aku perlu beli produk perawatan tubuh dan kecantikan supaya Mas selalu puas sama aku." "Ya udah ya, Mas. Aku mau siap siap ikut acara arisan dulu. Jangan lupa tapi ya, minggu depan Mas harus kasih aku lima belas juta untuk aku belanja. Oke?" jawab Mia kembali dari seberang sana sambil tertawa mengejekku. "Oke, Sayang. Buat kamu apa sih yang enggak. Ya udah, Mas juga mau lanjut lembur lagi ya. Ini kan menjelang akhir bulan. Banyak laporan yang harus Mas siapkan. Oke?" "Oke, Mas. Dadah. Muach ...." Terdengar ciuman tanda perpisahan dari seberang sana yang tanpa sadar membuatku mencengkeram tanganku kuat kuat. Andai aku tak ingat kalau aku harus tetap menjadi kelinci yang manis di depan Mas Dicky agar laki laki itu tak curiga dan marah padaku, mungkin sudah kutampar dan kucakar wajah suamiku yang tak tahu diri itu. Aku berdoa, semoga suatu saat keadaan ini berbalik. Perempuan yang dia sanjung dan berhasil membuatnya sanggup berbohong menyembunyikan uang gajinya dariku itu, perempuan itu pula yang nantinya membuat hidupnya sengsara hingga ia harus minta maaf dan belas kasihanku karena menyesal telah menomor sekiankan aku setelah perempuan itu, Ibu dan adik adiknya. *****KUCURI UANG SUAMIKU YANG PELIT (6) "Nin, tolong nanti kalau ada go food nganterin makanan, diterima ya. Mas mau nyusun laporan soalnya di dalam," kata Mas Dicky saat melewatiku yang sedang pura pura melipat baju di ruang tengah setelah sebelumnya berhasil menguping pembicaraan antara dirinya dengan Mia, wanita perusak rumah tangga orang itu.Aku menoleh lalu tanpa senyum, membuka suaraku."Memangnya Mas pesan apa?" tanyaku."Ayam geprek sama jus alpukat. Tapi cuma satu. Jadi kamu sama Kayla nggak usah minta! Salahmu sendiri jadi istri boros.! Jadi jangan salahkan aku kalau makan sendirian!" ujar Mas Dicky tanpa perasaan.Mendengar perkataannya, aku tersenyum tipis lalu menggelengkan kepalaku."Maaf, Mas ... tapi aku mau main ke rumah Mbak Sari. Dia barusan suruh aku main ke sana karena dia juga baru coba bikin ayam geprek buat jualan. Dan aku disuruh jadi tester pertama bareng Kayla karena kalau enak, rencananya dia mau jualan ayam geprek di ruko yang baru dia bangun.""Alhamdulillah
KUCURI UANG SUAMIKU YANG PELIT (7)"Nin, ini ayamnya, dibawa pulang ya. Dan ini sisa buah melon dan semangkanya juga dibawa aja sekalian ya. Ada kulkas kan di rumah? Kalau nggak habis nanti simpan aja, soalnya Mbak sama Mas Heru udah kenyang. Jadi biar buat Kayla aja nanti. Ya, Sayang?" ujar Mbak Sari sembari mengelus sayang rambut putriku.Mbak Sari memang belum dikaruniai keturunan meski sudah hampir lima tahun menikah dengan suaminya, Mas Heru yang berprofesi sebagai seorang kepala cabang di sebuah perusahaan otomotif. Itu sebabnya wanita anggun itu begitu menyayangi Kayla yang sudah dianggapnya putrinya sendiri."Wah, makasih banyak ya, Mbak. Jadi repot repot begini sama Nina dan Kayla. Semoga rejeki Mbak selalu dilancarkan Allah ya, Mbak. Aamiin," ucapku penuh haru."Aamiin," balas Mbak Sari pula sembari tersenyum lembut.Setelah berpamitan, aku dan Kayla pun langsung pulang ke rumah.Sampai di rumah, aku melihat Mas Dicky masih sibuk di ruang kerjanya. Wajah laki laki itu terliha
KUCURI UANG SUAMIKU YANG PELIT )8)"Huek ... !" Mas Dicky memuntahkan buah yang berada dalam mulutnya ke tong sampah yang ada di dekatnya."Buah apaan sih ini! Kok rasanya pahit banget! Gila kamu ya, buah pahit begini kamu kasih ke Mas!" sungut Mas Dicky sembari menjauhkan piring berisi buah tadi dari atas meja kerjanya.Aku tersenyum simpul mendengar perkataannya."Salah Mas sendiri. Udah tahu ini makanan khusus untuk orang susah yang terpaksa nggak bisa makan karena kehabisan uang belanja, eh Mas minta juga. Bukan salahku kalau Mas merasa pahit karena dah biasa makan yang manis manis dan enak enak. Tapi kalau aku dan Kayla yang biasa nahan lapar dan puasa, rasa pahit pun jadi manis karena butuh makan, Mas, biar nggak mati," ujarku dengan nada tenang, meski dalam hati rasanya sesak sekali.Aku tahu aku berdosa sudah berbohong pada suami seperti ini, tapi kalau suami itu tabiatnya seperti Mas Rama, apa aku masih dosa juga jika aku membalas perbuatan zolim nya pada kami berdua itu deng
KUCURI UANG SUAMIKU YANG PELIT (9)Aku bangun pelan-pelan saat Mas Dicky kulihat telah tertidur lelap. Dengan gerakan hati-hati aku pun berjalan mendekati lemari pakaian yang barusan Mas Dicky buka tadi dan mengambil dompet yang laki-laki itu simpan di sana, di bawah tumpukan baju-baju miliknya. Kuhitung jumlahnya ternyata ada sepuluh juta rupiah uang berwarna merah.Aku pun tersenyum simpul dengan benak mulai memikirkan bagaimana caranya supaya uang sepuluh juta ini bisa jatuh ke tanganku dengan tak dicurigai oleh Mas Dicky ika akulah yang telah mengambilnya.Beberapa saat kemudian, aku pun tersenyum simpul. Sebuah ide melintas di kepalaku. Ya, aku sudah menemukan caranya. Meski cara ini sedikit ekstrim dan riskan tapi cara inilah yang paling masuk akal untuk aku lakukan dan bisa dijadikan alibi hilangnya uang Mas Dicky dari dalam lemari.Aku akan pura pura ada orang yang masuk ke rumah ini tanpa izin alias pencuri dan mengambil uang tersebut. Dengan begitu Mas Dicky tak akan curiga j
KUCURI UANG SUAMIKU YANG PELIT (10)"Nin, ini uang tiga ratus! Cukup-cukupkan untuk sebulan! Cuma itu uang yang bisa mas pinjam dari teman! Ingat, kamu harus masak yang banyak karena mulai hari ini mas mungkin sering makan di rumah timbang di luar soalnya kamu tahu sendiri uang mas habis diambil orang!""Oh ya apa kamu nggak bisa cari kerjaan biar nggak nyusahin mas terus! Biar mas nggak seperti pepatah sudah jatuh tertimpa tangga! Sudah dapat musibah eh masih harus mikirin hidup kamu sama Kayla! Apes banget!" ucap Mas Dicky sembari mengangsurkan tiga lembar uang berwarna merah dengan kasar ke tanganku usai ia pulang dari kantor.Aku mengambil uang itu dengan tanpa suara dan penolakan. Lumayan, uang segini bisa untuk tambah-tambah beli sayuran dan bumbu dapur, soalnya uang yang kucuri dari dompet Mas Dicky malam tadi rencananya akan aku pergunakan untuk biaya sekolah Kayla kelak.Lagipula entah sampai kapan aku akan terus mencuri uangnya. Dengan kejadian semalam pasti Mas Dicky akan
KUCURI UANG SUAMIKU YANG PELIT (11)"Nin, kamu jadi mau bantu mbak kalau mbak jadi buka warung nanti?" tanya Mbak Sari saat aku sowan ke rumahnya bersama Kayla usai ia pulang dari sekolah.Aku menganggukkan kepala lalu tersenyum."Jadi dong, Mbak. Kapan memangnya Mbak mau buka warung?" tanyaku antusias. Ya aku memang sudah memutuskan untuk bekerja demi bisa mengumpulkan tabungan untuk masa depanku dan Kayla. Aku tak sudi terus menerus mengemis pada Mas Dicky."Mungkin minggu depan, Nin. Oh ya ... apa kamu sudah dapat izin dari Dicky untuk kerja sama mbak?" tanya Mbak Sari pula ingin tahu.Aku pun kembali menganggukkan kepala."Sudah dong, Mbak! Malah bukan hanya diizinkan tapi justru Mas Dicky lah yang nyuruh Nina kerja supaya nggak minta nafkah lagi dari dia.""Kalau gitu, mulai minggu depan Nina udah bisa kerja ya, Mbak?" sahutku lagi."Iya, Nin. Kamu yang sabar dan tetap semangat ya. Semoga suatu saat Dicky sadar dan berubah. Aamiin," ucap Mbak Sari pula sembari menatapku prihatin.
POV Dicky"Mas, kapan sih kamu belikan aku rumah? Masa selamanya aku mau tinggal di kontrakan begini?" ucap Mia, istri keduaku sembari memanyunkan bibirnya saat aku pulang ke rumahnya sore itu.Ini entah kali ke berapa ia melayangkan protes. Namun, aku tak begitu menanggapinya. Ya, bagaimana caranya bisa membelikan ia rumah jika gajiku sudah habis kuberikan pada ibu dan padanya.Aku bukan suami yang pelit, bahkan sangat royal. Separuh gajiku kuberikan padanya. Jadi kalau tak bisa bangun rumah, aku rasa itu bukan salahku melainkan salah Mia sendiri yang tak bisa memanage keuangan sehingga tak pernah punya tabungan meski setiap bulan aku selalu memberinya nafkah sebesar sepuluh juta rupiah. Sepuluh kali lipat bahkan lebih besarnya dari pada jatah nafkah yang kuberikan pada Nina, istri pertamaku.Kami sudah menikah hampir tiga tahun lamanya dan telah dikaruniai seorang buah hati yang saat ini telah berusia dua tahun setengah, mengingat saat menikah dulu, Mia telah berbadan dua."Ya, habi
KUCURI UANG SUAMIKU YANG PELIT (1)"Mas, minta uang untuk belanja ya? Kebutuhan dapur habis semua soalnya," ucapku dengan suara pelan karena takut pada Mas Dicky, suamiku yang hendak berangkat ke kantor. Mas Dicky menatapku tajam lalu mendengkus tak suka. "Habis? Kemarin kan sudah Mas kasih dua ratus ribu buat belanja seminggu. Kok sudah habis?" tanya suamiku itu sambil menyeringai lebar. "Kurang, Mas. Kemarin lima puluh ribu buat beli token listrik. Tiga puluh buat beli gas. Seratus dua puluh ribu buat beli beras, gula, kopi sama sayur mayur. Tapi udah empat hari kan udah habis, Mas." "Hari ini nggak ada apa apa lagi di dapur. Beras udah habis, minyak dan sayur mayur juga sudah nggak ada lagi. Gas aja yang masih ada, Mas," terangku menjelaskan satu per satu. Namun, mendengar penjelasanku, Mas Dicky tak terlihat tertarik sedikit pun. Tetap saja menyeringai tak suka menatapku. "Kalau habis ya sudah! Hari ini nggak usah makan dulu. Puasa! Siapa suruh jatah seminggu nggak bisa dimak