Tubuhnya berusaha beringsut mundur. Menjauh dari sosok sang anak. Yang terbaring di lantai. Marsinah berusaha merangkak. Walau hanya dengan menggeser bokongnya.
Sampai tubuh Marsinah membentur sesuatu. Saat dia berbalik,"Mariana?"
Anak gadisnya sudah duduk dengan menjawab penuh anggukan. Lalu Mariana mencekik lehernya sendiri. Membuat Marsinah tercengang.
"Jangan ... jangan!" Marsinah terus berteriak histeris.
Terdengar derap langkah yang mendekati tubuh Marsinah.
"Bu! Ibu, kenapa?"
Marsinah terbelalak saat melihat kedua putrinya sudah berjongkok di sebelahnya.
"Kalian, enggak apa-apa?"
Mariyati menoleh pada Mariana. Lalu keduanya menggeleng.
"Memangnya ada apa, Bu?"
"Entah, Ibu seperti bermimpi. Ibu melihat kalian sewaktu masih kecil. Penuh darah di wajah kalian. Dan, Ibu juga melihat kalian di gendong Bapak."
"Sepertinya Ibu mimpi. Ayo, Ibu bangun. Nanti masuk angin kalau tidur di sini," bisik maria
Hatinya tengah bergelut. Dengan apa yang baru saja dia lihat. Dari kedua sudut mata, menetes air yang terus membasahi wajah. Segera Marsinah mengusap kasar."Bapak kalian ... bapak kalian telah salah jalan!""Maksud Ibu apa?""Bapak kalian telah keblinger.""Keblinger yang bagaimana, Bu?"Marsinah tak sanggup untuk menjelaskan pada dua anaknya."Belum saatnya kalian tahu hal ini."Mariyati dan Mariana terpaku melihat sang ibu yang terlihat kebingungan. Seperti seseorang yang sedang dalam kondisi tertekan. Raut wajah Marsinah pun terlihat sangat tegang."Sampai kapan, Bu? Kita berdua juga ingin tahu. Ada apa sebenarnya""Jika waktunya tiba. Ibu akan ceritakan semua. Tapi bukan sekarang."Mariyati dan Mariana hanya bisa pasrah saat sang Ibu berkata demikian. Mereka ingin mendesaknya tapi percuma. Sang ibu tetap bungkam.Terdengar suara ayam yang berkokok di siang hari. Tak seperti biasanya. Membuat Rais
Tangan Hariyani terangkat perlahan. Sembari menunjuk ke arah atas lemari. Pandangan mereka bertiga tertuju pada sebuah koper tua."Koper ...?" ujar Raisa."Itu dulu peninggalan dari rumah tua."Delon dan Raisa mengalihkan pandangan pada Karyono."Rumah tua itu, maksudnya rumah Bu Sapto.""Ohhh ....""Sebaiknya kita ambil saja koper itu. Walau pun itu milik istriku. Aku tak pernah berani membukanya. Kalau dia tak suruh.""Biar saya saja yang ambil, Pak."Raisa langsung menarik kursi. Untuk Delon memanjat dan mudah mengambil koper tua itu.Saat tangan Delon meraih. Debu bertebaran. Membuat Raisa menutup hidungnya. Begitu juga Delon.Tangannya pun menggapai handle koper. Lalu menarik perlahan. Tiba-tiba Delon menghentikan gerakan tangannya. Lalu menoleh pada Raisa."Ada apa, Mas?"Delon menggeleng. Kembali dia menarik koper itu.Cessss!Seperti ada telapak tangan yang sangat dingin menyentuh
"Andai yang kedua itu memang benar. Mariman benar-benar telah sinting. Hati dan mata batinnya telah terbutakan." "Pastinya, Mas. Satu hal lagi. Apa yang telah dilihat Bu Marsinah?" "Di dalam kamar belakang itu ya?" "Iya, Mas. Aku penasaran dengan apa yang dilihat Bu Marsinah. Sampai dia tak mau menceritakan pada anaknya." "Mungkin sesuatau yang memalukan? Hina atau semacam itu lah." "Pikiran aku sama kayak Mas Delon." "Ayo kita segera ke hotel aja!" Raisa mengangguk. Lalu mengikuti langkah Delon yang mendahuluinya. Keduanya kini sudah berada di dalam mobil. Untuk segera menuju ke hotel. Tak membutuhkan waktu yang lama. Akhirnya mereka menemukan hotel. Setelah memesan dua kamar yang saling berhadapan. Segera Raisa masuk kamar dan bergegas menuju kamar mandi. "Mending aku mandi ahhh." Tubuhnya yang terasa letih. Dia guyur menggunakan air shower. Tampak Raisa melepas kepenatan pikiran dan hati. Raisa
Namun ada hal yang aneh. sosok Wanita itu terlihat mengerikan. Dia menggigit sosok lelaki itu sedikit demi sedikit. Hingga mereka berdua tengah berdarah."Me-mereka melakukannya?" Suara Raisa terbata.Dengan mata kepala dia melihat. Keduanya bagai insan yang tengah dimabuk asmara. Sang lelaki seperti melayani semua keinginan sosok wanita yang tampak mengerikan.Wanita itu terlihat seperti bukan manusia. Bibirnya penuh darah. Tak hanya itu saja. Sebagian wajah yang tersembunyi, terlihat rusak. Daging yang mengelupas. Bau anyir dan amis yang menyeruak. Sampai membuat Raisa menutup hidung.Saat Raisa terus memperhatikan mereka. Sosok wanita itu, ikut juga memperhatikan dirinya. Wajahnya menyembul dari balik tubuh sang lelaki.Kedua matanya membulat. Semakin lama semakin lebar. Lalu mata itu berubah menjadi hitam. Benar-benar hitam. Tak ada warna lain. Ada tetes yang mengalir dari kedua sudut mata dan bibir sosok wanita itu."Da-darah kah
"Allahu Akbar ... Allahu Akbar!" Tak henti Raisa terus melafadzkan kebesaran Tuhan. Dia berharap ada pertolongan. Lambat laun, tubuhnya mulai terasa lemas. Dan, kedua matanya mulai bisa bergerak perlahan. Raisa pun mencoba untuk membuka mata. Mengerjap secara perlahan. Hingga beberapa kali. Sampai dia yakin, kalau saat ini sedang berada di dalam kamar hotel. "Haaahhh, aku sudah kembali ya Allah. Alhamdulillah!" Tak berapa lama. Bunyi bel kamar kembali terdengar. Membuat Raisa terkesiap. Dia masih terdiam sesaat dengan memegang kepala yang masih berdenyut. Setelah sekian detik berlalu. Raisa akhirnya turun dari kasur. Lalu berjalan pelan menuju pintu. Tangannya masih terasa lemah saat menarik handle. Pintu pun terbuka perlahan. Muncul seraut wajah Delon yang tengah keheranan melihat padanya. "Kamu oke, Sa?" Raisa kembali berjalan dan duduk di pinggiran kasur. "Aku lagi enggak oke, Mas."
"Aku juga enggak tahu. Cuman, waktu aku mimpi tadi. Sosok wanita itu meremat kaki aku. Tapi, bukannya kalau mimpi ini enggak nyata 'kan?" Keduanya saling berpandangan. Dengan rasa heran. "Iya kan Mas?" ulang Raisa. "Iya, sih. Lalu, ancaman dia itu bagaimana?" "Kalau menurut aku, itu memang benar sebuah ancaman Mas Delon. Tapi, kita tak tahu bagaimana? Sebaiknya kita pelajari koper coklat itu dulu." "Baiklah, Sa." "Lagian aku baru teringat. Kalau lelaki tua itu melarang kita pergi ke gunung itu malam-malam." "Benar juga Mas. Ayo kita lihat isi tas itu!" "Kita ke kamar aku aja, Raisa." Keduanya pergi meninggalkan kamar Raisa. Menuju kamar Delon yang hanya beberapa langkah. "Untung tadi Mas Delon ngebel kamarku. Kalau enggak, mungkin aku masih dalam ancaman sosok wanita seram itu." "Aku juga enggak tau kenapa, seperti ingin ke kamarmu Sa." "Syukurlah Mas Delon. Mungkin Allah memang menolong
Delon kembali memperhatikan dengan seksama. Betapa terkejutnya mereka berdua. Bayangan hitam itu tiba-tiba hilang."Ka-kamu lihat sendiri 'kan Sa?""I-iya, Mas. Kok bisa bayangan hitam tadi, enggak ada lagi? Apa aku yang salah lihat, Mas?""Enggak, Sa! Kamu enggak salah lihat. Soalnya tadi aku juga lihat yang sama. Nih, pas di tengah wanita ini 'kan?""Iya, Mas."Delon dan Raisa mulai memilah kertas-kertas usang yang tak penting. Mereka sisihkan. Biar mudah untuk mencarai petunjuk."Mas, ini ada buku. Coba Mas Delon pinggirin dulu!"Tak lama, Raisa kembali menemukan sebuah foto. Kertasnya sudah menguning dan mulai memudar. Akan tetapi gambarnya masih terlihat jelas.Terlihat dua orang gadis sekitar usia dua belas tahun. Dalam foto itu, keduanya berdiri dan bergandengan tangan. Rambut panjang mereka, dikepang dua. Tak ada senyum di wajah mereka. Terlihat kaku dan dingin."Mereka seperti tanpa ekspresi sama sekali, M
Segera Raisa bangkit dan hendak berlari. Namun dia tertegun saat melihat ada seseorang yang sedang sholat. Namun saat dia terus mengamati. Raisa merasakan ada yang salah. Mukena itu hanya terpakai yang bagian atas saja. Sajadah yang terbentang pun terbalik. Harusnya kalau berada di kamar hotel ini, menghadap ke arah barat. Tapi .... "Ke-kenapa dia menghadap utara?" bisik Raisa lirih. Langkah kakinya seakan tertahan. Dia tak bisa bergerak sama sekali. Sosok yang memakai mukena itau tak bergerak sama sekali. Suasana kamar ini sunyi dan hening. "Si-siapa sosok ini?" Saat Raisa masih bergelut dengan perasaan takut. Tiba-tiba pintu kamar kembali di ketuk pelan. Tak hanya itu, bel kamar pun berbunyi. "Pasti Mas Delon." Saat Raisa memperhatikan kembali sosok yang berada dalam mukena hitamnya. Seketika sosok itu telah menghilang. "Haaaahhh!" Raisa menutup mulutnya yang terperangah. "Di mana dia tad