"Kalau isi dalam toples itu masih baru. Siapa yang mengambil sisa tubuh korban tumbal itu?" tanya Raisa semakin merasa aneh.
"Kamu mulai merasa ada yang janggal 'kan?"
"Iya, Mas Delon. Dan yang buat aneh lagi. Sosok Bu Aminah yang menurut aku selalu terlihat berbeda."
"Memang!" sahut Bu Marto.
"Ibu merasa kayak saya juga?" tanya Raisa."
Wanita pasruh baya itu mengangguk kuat.
"Bahkan kalian enggak tau 'kan? kalau tadi ada kecelakaan di depan rumahnya Bu Sapto."
"Haaaahhh?" Keduanya saling beradu pandang.
Lalu Delon menghentikan mobilnya. Mereka pun sudah sampai di depan rumah Raisa.
"Ayo kita bicara di rumah saya, Bu!"
"Tapi, aku enggak bisa lama-lama ya?"
"Enggak apa-apa, Bu. Raisa cuman ingin tau kejadian kecelakaan itu."
Setelah itu. Mereka segera memasuki rumah Raisa.
"Assalamualaikum!" teriak Raisa. Sembari berharap Momoy sudah pulang. Tapi, rumah masih sepi. Lalu Raisa
Tampak Raisa berusaha untuk mengejar. Namun wanita tua itu terus berjalan seolah tak mendengar panggilan gadis itu."Mbah, tunggu saya!" Untuk yang kedua kali, dia mengulang panggilannya.Raisa berlari cepat. Sampai dia bisa berjalan sejajar dnegna wanita tua itu."Mbah kok langsung ninggalin Raisa?"Dia tak menjawab. Hanya terdiam tanpa mengucap sepatah kata sama sekali."Mbah, kenapa menyuruh saya berhati-hati? Ada apa sebenarnya? Apa yang Mbah lihat?"Raisa terus mencecar dengan banyak pertanyaan pada wanita itu. Tetap saja dia terdiam dengan melangkah semakin cepat.Hingga mereka akhirnya sampai di sebuah rumah yang snagat sederhana."Maaf aku tadi tak menjawab semua pertanyaan kamu. Aku masih wiridan. Lagian sosok Bu Sapto itu selalu mengikuti kamu, Nak!""Bu Sapto?""Iya. Sepertinya meninggal dia dengan cara yang enggak wajar. Atau bisa juga selama hidup dia telah melakukan kesalahan fatal."Lalu, bag
"Siapa?!" Suaranya hampir berteriak. "Mbah Karsiyem, Mak," ulang Raisa. Sejenak hening. Tak ada suara yang terdengar sama sekali. "Emak Haji kok diam?" "Ehhh, dari mana kamu tau soal Mbah Karsiyem, Raisa?" "Barusan Raisa diajak ke rumahnya, Mak. Kata Mbah Karsiyem dia selalu mimpi Emak." "M-mimpi?" "Iya, Mak. Raisa juga enggak paham." "Dan kamu juga diajak ke rumahnya?" "Iya." "Memang kamu lagi ada masalah apa?" Raisa terlihat kebingungan menjawab. Dia kembali terdiam sesaat. Ingin hatinya berkata yang sebenarnya, pada sang nenek. Tapi Raisa tak ingin malah membuat neneknya cemas. "Enggak ada apa-apa, Mak." "Sebaiknya enggak usah kau temui lagi Mbah Karsiyem itu. Emak juga enggak tau maksud dia apa, Raisa. Ya, jangan temui lagi dia." "Emak jangan ditutup dulu teleponnya!" Suara Raisa berteriak. "Apal
Momoy terus menarik pergelangan tangan Raisa. Yang terus melihat ke arah rumah Mbah Karsiyem."Ada apa sih, Mbak?""Ki-kita masuk aja!" ajak Raisa bagai tersadar.Namun Raisa sulit melepas bayangan wanita tua itu. Sangat jelas Raisa melihat dia berjalan dari seberang jalan menuju ke rumah dia.'Tapi, apa yang dia katakan mungkin ada benarnya. Aku harus bicara dengan keluarga Bu Sapto.'"Mbak Sebenarnya mikirin apa sih?" Momoy terus memerhatikan sang kakak. Yang menurut dia terlihat tak biasanya."A-pa Mbak mikirin penunggu rumah kosong itu?""Haaahhh? Ngomong apa kamu? Jangan ngawur!""Habis Mbak dari tadi kayak orang yang ngelamun terus. Kan aneh."Jam dinding terus berdetak hingga menunjukkan pukul delapan malam. Momoy yang sedang menunggu bapak mereka mulai gelisah. Sesekali dia menarik lengan Raisa menyuruhnya untuk telepon."Mbak, telepon Bapak lah!""Bapak jangan ditelepon, Moy. Masi
"Ka-kamu, kok bisa mengenal Mbah Karsiyem?""Bu Marto juga kenal dengan Mbah Karsiyem?""Ehhhh ... enggak sengaja sih, Bu. Kenalan di musholla kita."Seketika matanya melotot. Membuat Raisa ketakutan. Saat melihat ekspresi yang ditunjukkan oleh Bu Marto."A-ada apa, Bu? Apa ada yang salah?""Salah, Raisa. Semua yang kamu lihat ini juga salah!"Kedua manik mata Raisa bergetar. Seakan berkaca-kaca. Dia tak tahu kenapa semua mengatakan hal yang menakutkan buatnya."Salah bagaimana sih, Bu?""Mbah Karsiyem itu sudah lama meninggal. Dulu dia teman baik Emak Haji. Mereka berdua berteman baik. Malah sangat baik.""Me-meninggal?"Bu Marto mengangguk pelan."Jadi kalau kamu sampai melihat Mbah Karsiyem. Itu enggak mungkin sekali."Raisa merasakan dadanya menjadi sesak. Seakan sulit baginya saat ini untuk bernapas lega."Ka-mu enggak apa-apa?""Entahlah, Bu. Pikirannya saya tiba-tiba jadi kalut.
Momoy terlihat ragu saat ingin membangunkan Raisa. Dia melihat sang kakak yang terlelap. "Tapi ... bungkusan ini?" Akhirnya Momoy putuskan untuk membangunkan Raisa. Dia mencolek ujung jari kaki kakaknya. Sekali sampai dua kali masih belum ada reaksi sama sekali. Cukup kesal Momoy menarik paksa jempol kaki Raisa. "Apaan sih, Moy?" "Bangunlah, Mbak!" "Ngantuk aku, Moy." "Ta-tapi, Mbak. Ini ada yang kasih bungkusan." Mendengar ucapan Momoy. Seketika Raisa terbangun. Pandangan matanya mengarah pada Momoy yang masih berdir di dekat kakinya. "Bungkusan apa sih Moy?" "Enggak tau, Mbak. Aku enggak berani buka. Dia pesan kalau nanti Mbak Raisa pasti paham katanya." Seketika Raisa mengernyitkan dahinya. Dia bingung saat menerima bungkusan dari Momoy. "Memangnya ini dari siapa?" Momoy mengangkat kedua bahunya. "Loh kok enggak tau gimana sih, Moy? Kok enggak ditanya dari siapa atau dari mana
Penjelasan Momoy semakin membuat Harso penasaran."Raisa, mana kadonya? Bawa sini!" Suara Harso terdengar tegas penuh penekanan."Bentar, Pak."Gadis itu setengah berlari menuju kamar. Tangannya bergerak cepat meraih foto dan kebaya yang ada di atas kasur. Lalu secepatnya dia kembali ke meja makan."Ini, Pak!"Bagai tersentak, Harso langsung menatap Raisa."Dari mana kamu dapatkan ini?""Adek Pak yang terima."Harso mengalihkan pandangannya pada Momoy. Yang seketika menghentikan suapannya."Haaahhh?"Terlihat Momoy kebingungan. Dia yang sedari tadi tak memerhatikan mereka. Bingung untuk menjawab pertanyaan yang tak dia dengar."Siapa yang kasih foto dan baju ini, Moy?""Seorang nenek, Pak. Mungkin yang Mbak Raisa kenal itu.""Kamu mengenalnya, Raisa?"Raisa pun mulai kebingungan untuk menjawab."Ada apa Raisa? Katakan sama Bapak!""Kita kalau malam sering ketakutan, Pak."
Tenggorokan Raisa terasa tercekat oleh pertanyaan Harso. Dia sampai tak berani menatap sang Bapak."Jawab Bapak, Raisa!""Raisa tak berniat menyimpannya, Pak. Tapi, memang kuku itu datang sendiri.""Haaahhh? Datang sendiri?""Karena renda jilbab. Kuku itu akhirnya enggak ikut terkuburkan Pak. Lalu, Raisa sudah coba menguburkan kuku itu sebelumnya. Tapi--" Gadis itu menggeleng."Kuku itu ada di kamar lagi, Pak," sahut Momoy.Harso menegrutkan keningnya. Dia berpikir soal hubungan antara keduanya. Antara Mbah Karsiyem dan Bu Sapto."Apa yang disampaikan Mbah Karsiyem sama kamu?""Dia menyuruh aku menemui keluarga Bu Sapto, Pak."Mendengar cerita Raisa membuat Harso tersnetak. Cerita yang menurut dia sangat tidak masuk akal. Tapi ini terjadi pada anak-anaknya. Dan ini nyata. Walaupun tak semua orang akan mempercayai dirinya, saat dia bercerita."Kapan rencana kamu, akan datang ke keluarga Bu Sapto?""Raisa mas
'Apa yang terjadi dengan Mbah Karsiyem?' gumam Raisa dalam hati.Lalu dia menatap Bapaknya. Seakan berharap dia mau bercerita tentang Mbah Karsiyem."Apa Bapak bisa cerita tentang Mbah Karsiyem? Kematiannya enggak wajar gimana sih Pak?"Dia tahu kalau bapaknya enggan untuk bercerita. Mungkin ada kenangan buruk saat itu. Yang dia tak ingin mengenangnya. Apalagi ini pasti berhubungan dengan Emak Haji."Kalau Bapak enggak mau cerita. Enggak usah, Pak!""Bapak akan cerita, tapi di kamar aja. Kasihan adek kamu sudah ngantuk kayaknya.""Apa Bapak enggak mandi dulu?""Mau ganti baju aja. Udah malam, Sa. Lagian tadi sebelum pulang Bapak udah mandi kok."Gadis itu pun mengangguk. Dia mengajak Momoy untuk segera menuju kamar depan."Adek biar tidur sama Raisa, Pak."Harso manggut-manggut. Lalu dia pergi ke kamar mandi.Sedangkan Momoy langsung naik ke atas kasur dan langsung terlelap. Raisa menyelimuti tubuh