Kulepas pelukan pada ayah dan mengusap pipi yang basah dengan kasar saat terdengar teriakan ibu memanggil namaku. Ibu menghampiri kami dengan langkah panjang-panjang. Sorot matanya penuh amarah. Angin yang bertiup kencang menerbangkan rambutnya. "Ternyata benar kau ada di sini, Nes. Siapa dia? Kenapa kau peluk dia?" tanya ibu dengan napas ngos-ngosan. Lelaki itu menoleh dan tampak terkejut melihat ibuku. Kulihat dia mengusap keringat yang mengucur di pelipisnya. "Maaf, aku harus pergi. Sampai ketemu besok, Ines," ujarnya gugup dan berlari tanpa memandang ibu. "Tunggu, Ayah," seruku, tetapi dia acuh dan malah mempercepat langkahnya. Seruanku hanya dianggap angin lalu saja. "Ayah?" tanya Ibu dengan dahi berkerut dan nada tinggi saat lelaki itu menghilang dari pandangan. Dia mengusap keringat yang bercucuran di pelipisnya. Aku menghela napas panjang. Apakah ibu sama sekali tidak mengenali orang yang sudah menghancurkan hidupnya itu? Wajar, dua puluh tiga tahun bukanlah waktu yang
"Tes DNA itu biayanya mahal. Sayang uangnya, lebih baik digunakan untuk beli nasi padang saja. Kenyang." Dia tertawa memperlihatkan giginya yang tidak terlalu putih, bahkan terlihat kekuningan. "Iya, Ayah. Tanpa tes DNA pun aku percaya kalau aku ini anak Ayah." Aku tersenyum. Nasi beserta lauk yang tadi penuh di piringnya kini tinggal separuhnya. Tiba-tiba ia mendekatkan sendok berisi nasi ke depan mulutku. "Dari tadi kamu hanya lihatin Ayah makan. Ini Ayah suapi!" Aku menatap manik matanya yang hitam, lalu membuka mulut. Dia tertawa saat aku makan dengan disuapi olehnya. "Anak pintar. Habiskan, ya, agar tubuhmu sehat dan kuat," ujarnya seraya mengambil makanan lagi dan menyuapiku. Kata-kata itu? Ya Allah, aku jadi teringat dengan Nenek Hasma yang selalu bilang seperti itu saat aku makan di rumahnya. Mataku mengembun. "Sudah cukup, Ayah. Ini buat Ayah saja." "Enggak apa-apa. Kita makan sama-sama, ya?"Aku mengangguk dan tersenyum. Kapan lagi aku bisa makan bersama ayah. Kami m
Aku tidak langsung percaya begitu saja dengan Pak Candra, tetapi tidak juga mengabaikan. Jika biasanya aku memberitahu terlebih dahulu pada Pak Arul setiap kali mau datang, kali ini aku diam-diam. Sengaja kuhentikan motor agak jauh dari halaman rumah kontrakannya. Hingar bingar musik dangdut yang terdengar dari rumah para penghuni kontrakan itu cukup keras. Aku menghentikan langkah di depan pintu saat mendengar suara Pak Arul yang sedang berbicara dengan seseorang. Mulutku terbuka lebar saat melihat ada Pak Purnama di sana. Hampir saja aku memekik melihat pemandangan yang tidak lazim itu. Namun, secepatnya aku menutup mulut dengan kedua tangan agar tidak mengeluarkan suara. Ternyata Pak Purnama dan Pak Arul sedang terlibat obrolan yang menyenangkan dan sungguh di luar dugaan. Dan yang lebih mengejutkan, Pak Purnama memanggil Baron pada Pak Arul. "Aku tidak bisa menunggu lama lagi, Baron. Cepat kamu bujuk Ines agar menjual rumah itu," kata Pak Purnama seraya mengisap rokoknya. P
PoV Ines"Alah, cuma hamil aja bangga! Aku juga pernah." Aku melotot mendengar ucapan Mbak Ulfa yang nyelekit itu. Entah kenapa setiap ada dia, rasa bahagia yang baru kukecap ambyar seketika. "Ines, sudah pulang?" Aku tersenyum saat Bu Mila merentangkan tangan dan memelukku. Dapat kulihat dari ekor mata Mbak Ulfa memasang wajah sebal. "Biasa aja kali, Bu. Bukan hanya dia yang bisa hamil. Orang-orang di luaran sana banyak yang bisa punya anak termasuk saya juga. Jadi, nggak usah lebay." Mbak Ulfa mengerucutkan bibir. "Ulfa, Ines ini sedang mengandung cucuku, pantas kalau Ibu lebay. Semua calon nenek juga pasti seperti itu, kan?" kata Bu Mila yang hanya mendapat tanggapan dari Mbak Ulfa dengan mengendikkan bahu. "Oh, ya, Mbak Ulfa ini ada urusan apa, ya datang ke sini? Sengaja dari rumah atau kebetulan lewat terus mampir?" Aku memutar anak kunci pintu dan membukanya. Mbak Ulfa melotot. "Aku ini kakakmu, lho, Nes. Masa iya ditanya seperti itu saat datang? Sudah pasti aku kangen la
Aku mundur beberapa langkah saat tiba-tiba Mbak Ulfa tersungkur di kakiku seraya memohon mohon agar aku mengizinkannya menginap di rumah ini. Dan aku tetap pada pendirianku. Sekali tidak tetap tidak. "Aku mohon, Nes. Izinkan aku dan Zanna di sini sebentar saja."Embah kesambet setan apa kakakku ini. Dia yang biasanya angkuh tiba-tiba rela merendahkan diri seperti ini demi dapat izin inap. Yang lebih membuatku tercengang aku melihat bahunya naik turun. Dia menangis? Seingatku, selama 23 tahun aku tidak pernah melihatnya menitikkan air mata kecuali saat aku dapat ranking satu di kelas dan dia dapat ranking dua dari belakang. Dia yang masih memakai seragam merah putih itu menangis meraung-raung minta tukar ranking denganku. Ada-ada saja dia. Aku menghela napas. "Bukannya aku kejam, tetapi aku hanya takut Mbak Ulfa nggak bisa tidur dan akhirnya sakit? Siapa yang susah? Akuuuuu juga." Sayup-sayup terdengar azan Magrib dari masjid yang tidak jauh dari rumah kami. "Kamu dengar sendiri,
Pov UlfaSejauh apa pun kau melangkah pada akhirnya rumah tetaplah menjadi tempat yang paling nyaman terlepas dari segala masalah yang mendera. Aku sudah berada di rumah ibu selama beberapa hari dan rasanya kurang nyaman. Ibu yang selalu berteriak saat Zanna membuat ribut ketika baterai di ponselnya habis, ayah yang selalu uring-uringan karena tidak punya uang dan tidak bisa bekerja untuk sementara waktu menjadi alasan kenapa aku tidak betah lagi di rumah yang penuh kenangan itu. Selain itu, Zanna juga sering rewel akibat makanan yang tersedia berbeda jauh dengan yang ada di rumah Mas Romi. Selain makanan, tempat tidur juga berbeda. Anakku satu-satunya itu sudah terbiasa tidur di atas spring bed yang empuk tentu saja merasa kurang nyaman saat harus tidur di atas kasur biasa yang isinya kapas dan sudah mengeras sehingga selalu ada drama menjelang tidur dan aku capek menghadapinya. Di rumah Ines, aku juga kurang nyaman karena setiap saat mataku terasa sakit melihat kemesraan mantan k
Aku mengibaskan tangan yang baru saja terkena goresan pisau lalu berlari ke wastafel untuk mencucinya. "Ada apa, Nes?" tanya Bu Mila seraya mematikan kompor untuk sementara dan menghampiriku. Wanita berhati lembut itu pasti tidak mendengar ucapan Bu Nursih yang membuatku terluka ini. Suasana di dapur yang berisik dengan adanya suara orang memarut kelapa dan bunyi minyak panas yang meletup-letup saat saat Mbak Isna menggoreng ayam ditambah lagi wanita itu terus bersenandung menyanyi lagu dangdut membuat ibu tidak bisa ikut mendengar ucapan Bu Nursih."Nggak apa-apa, Bu. Hanya terkena pisau sedikit." Aku meringis. Meski luka itu tidak terlalu lebar tetapi rasanya tetap perih apalagi saat terkena getah bawang merah tadi. "Maafkan Ibu yang lupa memberi tahu untuk hati-hati. Pisau itu masih baru, tajam banget. Ya udah kamu istirahat aja biar nanti dilanjutkan sama Isna setelah selesai menggoreng ayam," kata Bu Mila. Wanita berjilbab instan ungu itu mengulurkan obat merah dan plaster
"Kandungan Bu Ines lemah. Akan saya beri vitamin penguat kandungan dan tolong istri bapak jangan sampai terlalu lelah. Harus banyak istirahat. Apalagi tensi darahnya juga agak tinggi." Kata-kata dokter waktu itu kembali terngiang di kepala. Aku tidak boleh sampai kelelahan jika ingin kandunganku baik-baik saja. Iya, bekerja menjadi pedagang bakso ini memang cukup menguras energi terlebih saat pelanggan ramai seperti ini meski bagianku hanya menjadi pembuat es jeruk dan es teh. Mas Ramzi terlihat kewalahan melayani pembeli karena biasanya dia dibantu Arjun, tetapi sekarang lelaki kepercayaan kami itu meng-handle minuman. Dalam hati aku bersyukur karena usaha kami semakin maju. Warung cabang yang baru buka sebulan yang lalu juga sudah mulai memiliki pelanggan. Semoga semakin hari semakin banyak. Seorang wanita yang baru saja turun dari mobil menghampiri Mas Ramzi yang sedang meracik bakso untuk pelanggan. Aku dapat melihat dengan jelas karena saat ini sedang berdiri tidak jauh dar