Hanzel tampak kesal setelah membaca pesan dari sang oma. Dia sedang berada di mobil dalam perjalanan pulang, tapi sang oma mengirim pesan untuk membeli sesuatu.[Bukankah Oma biasanya buat sendiri, kenapa sekarang beli?]Hanzel mengirim pesan sambil menyetir. Dia menyetir dengan kecepatan rendah sambil menunggu balasan dari sang oma.[Opamu bilang ingin makan kue seperti yang dimakan di pesta kemarin. Oma sudah menghubungi karyawan tokonya untuk menyiapkan agar kamu tinggal ambil saja.]Hanzel menghela napas kasar. Dia malas pergi ke toko waktu itu karena takut jika tiba-tiba melihat Milea lagi. Dia pun belum tahu kalau toko itu milik Milea.[Baiklah.]Hanzel tak bisa menolak permintaan sang oma. Dia pun akhirnya memutar arah mobil untuk pergi ke toko kue yang dimaksud sang oma.Hanzel sudah sampai di parkiran toko. Dia tak langsung turun, tapi memilih mengamati lebih dulu apakah ada kemungkinan akan bertemu Milea lagi atau tidak.Setelah merasa aman dan tak ada tanda-tanda Milea di d
“Kai, kenapa tadi marahin orang seperti itu?” tanya Milea saat sudah berada di dalam bersama Kainan.Milea berlutut di depan Kainan yang duduk di kursi sambil menggenggam kedua telapak tangan Kainan.Milea harusnya bersyuku karena Hanzel tak mengejarnya lantas membahas masa lalu.“Kai ga suka kalau ada yang jahat sama Mama,” jawab Kainan sambil menggelembungkan kedua pipi, menunjukkan kalau dia sedang marah.“Dia tidak jahat. Mama saja yang salah, makanya tadi dia marah-marah,” ujar Milea menjelaskan.“Tapi dia ga boleh bentak-bentak Mama! Oma dan Opa bentak saja, Kai tidak suka. Apalagi dia!” Kainan kekeh tak terima ada yang menyakiti ibunya.Milea mencoba tersenyum dengan kemarahan Kainan. Putranya itu sangat menyayanginya, sehingga kadang begitu posesif meski sebenarnya penakut.“Iya, nanti kalau ketemu dia lagi atau orang lain, mama akan minta agar tidak bentak-bentak biar Kai tidak marah,” ujar Milea sambil menggenggam erat kedua telapak tangan mungil putranya itu.Kainan mengang
“Lain kali jangan suruh aku ke sana, Oma.” Hanzel memberikan kue yang dibawanya ke sang oma dengan ekspresi wajah kesal. “Lho, kenapa?” Sang oma bingung karena Hanzel terlihat kesal dan marah. Hanzel tak menjawab pertanyaan sang oma. Dia langsung pergi begitu saja. Hanzel berpapasan dengan Cheryl, tapi dia juga tak menyapa wanita itu. “Kenapa lagi dia?” Cheryl kebingungan melihat sikap Hanzel. Cheryl menoleh ke sang mertua yang sedang menatap bingung ke Hanzel. Dia pun mendekat ke wanita tua itu. “Hanz kenapa lagi, Mi?” tanya Cheryl. “Mami tadi minta dia ambilin pesanan kue, eh pulang-pulang kok kesel dan bilang jangan menyuruhnya ke sana lagi,” jawab wanita tua itu, lantas membuka paper box yang diberikan Hanzel, takut ada masalah dengan kuenya karena Hanzel emosi. “Tumben-tumbenan dia disuruh marah-marah?” Cheryl pun ikut bingung. Sang oma mengecek kue yang dibawa Hanzel, tidak ada masalah tapi keheranan karena Hanzel kesal. “Padahal yang punya toko sangat ramah, anaknya
Hanzel benar-benar pergi menemui Jill. Mereka janji bertemu di sebuah kafe setelah Jill mengiakan menemui Hanzel.“Maaf kalau sebelumnya aku tidak menjawab panggilanmu. Apa karena itu sekarang kamu ingin bertemu? Padahal besok masih ada waktu lain untuk bertemu,” ucap Jill sambil menatap Hanzel yang kini sudah ada di hadapannya.Hanzel menatap Jill yang kini bersamanya. Sejak bersama Jill, banyak hal yang bisa dilepaskannya, termasuk beban kerja yang berat.“Entahlah, aku tidak bisa menunggu besok,” balas Hanzel.“Ada apa? Apa ada masalah?” tanya Jill sambil menatap serius ke Hanzel.“Jill, apa kamu akan pergi meninggalkanku?” tanya Hanzel tiba-tiba.Jill sangat terkejut mendengar pertanyaan Hanzel. Bahkan secara impulsif sedikit memundurkan tubuh, padahal sebelumnya dia sedikit maju ke meja.“Ap-apa? Kenapa kamu bertanya seperti itu?”Hanzel menarik napas panjang lantas menghela perlahan seolah siap bicara.“Tidak ada, aku hanya takut kamu tiba-tiba menghilang tanpa kabar. Aku tahu i
Hanzel diam di ruang kerjanya. Dia terus memikirkan ucapan Jill semalam yang membuatnya tak tenang sama sekali. Jika dulu dia mudah meninggalkan satu wanita untuk wanita lain, tapi berbeda dengan sekarang.“Tidak bisa!”Hanzel tiba-tiba berdiri lantas keluar dari ruang kerjanya.“Anda mau ke mana, Pak?” tanya sekretaris Hanzel saat melihat atasannya itu keluar ruangan.“Aku ada urusan sebentar,” jawab Hanzel sekalian pamit ke sekretarisnya itu.“Baik, Pak.”Hanzel pergi dengan sedikit terburu-buru. Dia pun meninggalkan perusahaan begitu saja. Hanzel mengecek ponsel lantas menghubungi Jill.“Kamu di mana?” tanya Hanzel saat panggilannya dijawab Jill.“Ada apa? Aku ada di perusahaan,” jawab Jill dari seberang panggilan.“Bisa bertemu sekarang?” tanya Hanzel sambil mengemudikan mobil.“Te-tentu.”Hanzel mendengar suara Jill yang tergagap, mungkin wanita itu terkejut karena Hanzel mengajaknya bertemu secara tiba-tiba.“Aku akan menjemputmu di perusahaan sekarang,” ucap Hanzel lantas menga
“Masa lalu mana yang kamu maksud?” tanya Hanzel dengan tatapan bingung. “Milea,” jawab Jill, “kamu masih mengharapkannya, Hanz.” “Aku dan dia sudah berakhir,” balas Hanzel meyakinkan. “Tidak, tatapan matamu cukup menunjukkan jika masih ada cinta untuknya, Hanz. Jangan mengelak dari hal itu, jangan menyakiti dirimu, diriku, atau dia dengan keputusan spontanmu. Meski aku menyukaimu, tapi bukan berarti aku bisa mengesampingkan perasaan orang lain. Aku tidak begitu. Sejak melihat tatapanmu kepadanya, aku tahu kalau dia masih memiliki tempat di hatimu.” Jill menatap Hanzel penuh keseriusan. Dia mencintai pria itu sejak pertama kali bertemu, tapi Jill memiliki alasan lain untuk tak egois dengan perasaannya. “Itu hanya pemikiranmu saja. Berhenti membahasnya, aku hanya berusaha untuk mengakhiri perasaanku kepadanya, apa salah jika aku ingin membuka hati untuk orang lain?” Hanzel menatap Jill untuk terus meyakinkan. “Tidak ada yang salah dengan itu, Hanz. Hanya saja, akan ada yang dikorb
Hanzel sangat terkejut dengan yang dilihat. Dia langsung mendekat dan mengambil Kainan dari pelukan Milea. Milea sangat syok melihat Hanzel di sana, apalagi pria itu langsung menggendong Kainan. “Kita bawa ke rumah sakit,” ucap Hanzel tanpa berpikir lama. Hanzel setengah berlari sambil menggendong Kainan menuju mobilnya. Milea ikut berlari di belakang Kainan dengan air mata yang terus mengalir. “Masuklah!” perintah Hanzel. Milea masuk ke bagian belakang, lantas Hanzel meminta Milea memangku Kainan. Setelah memastikan Milea memangku dengan benar. Hanzel segera masuk ke belakang kemudi, lantas melajukan mobil menuju rumah sakit. Sesekali Hanzel melirik dari spion tengah. Dia melihat Milea yang masih menangis sambil memeluk erat bocah laki-laki itu. Sesampainya di rumah sakit. Hanzel yang menggendong Kainan keluar dari mobil, lantas buru-buru membawa ke IGD diikuti Milea yang sudah lemas karena panik dan ketakutan. Perawat dan dokter jaga langsung mengambil alih Kainan, mereka l
“Kita tak seharusnya pergi ke pesta malam itu,” ucap Milea akhirnya mau membahas masa lalu. Milea dan Hanzel kini duduk di ruang inap Kainan sambil membahas masa lalu. “Karena kejadian itu? Bahkan karena ketidaksengajaan itu?” Hanzel menatap Milea yang duduk di seberangnya. Milea awalnya menatap Kainan, lantas beralih menatap Hanzel yang sudah memandangnya. “Iya, aku lupa sedang berada di fase masa subur, Hanz. Aku tidak pernah menyesal, hanya saja ….” Milea menghentikan ucapannya, lantas kembali menatap Kainan. “Hanya saja apa?” tanya Hanzel penasaran. Milea kembali menatap Hanzel, lantas tersenyum tipis. “Aku tidak bisa memberitahumu saat tahu hamil. Ada mimpi yang harus kamu gapai, sedangkan orang tuaku sempat tak menginginkannya. Saat itu, sulit bagiku membuat keputusan,” ujar Milea menjelaskan. Hanzel terkejut mendengar ucapan Milea, tapi dia tak mau memotong apa yang diucapkan wanita itu. “Papa murka. Jika aku menyebut namamu, maka aku yakin semua impianmu dan orang tuam