Winnie menatap Bumi yang baru saja keluar dari kamar mandi. Suaminya itu tampak berjalan ke meja rias, lantas mengambil sisir.Bumi berdiri di meja rias, lantas menyisir rambut yang setengah basah hingga tatapannya tertuju ke pantulan bayangan Winnie yang terlihat di cermin.“Ada apa, hm?” tanya Bumi saat melihat Winnie terus memandangnya.Bumi membalikkan badan, lantas menatap Winnie yang duduk di atas ranjang.Winnie memandang suaminya yang kini menatap dirinya. Dia hanya menggeleng menjawab pertanyaan Bumi.Bumi pun mendekat ke ranjang, lantas duduk di hadapan Winnie.“Kenapa kamu diam saja? Apa tadi Aruna dan yang lain mengatakan sesuatu yang membuat tak enak hatimu?” tanya Bumi sambil menarik telapak tangan Winnie untuk digenggam.“Tidak, mereka baik-baik, bagaimana bisa mengatakan hal tak baik,” jawab Winnie.“Lalu, kenapa kamu jadi mudah melamun?” tanya Bumi karena sejak siang tadi dia melihat Winnie banyak diam.Winnie menatap Bumi yang selalu sabar terhadapnya, hingga berpiki
“Bagaimana kabarnya bayi kita?” tanya Ansel sambil mengusap perut Aruna yang sudah besar. “Dia baik, sangat baik dan sehat,” jawab Aruna sambil menatap Ansel yang sedang menyentuhkan telinga di perutnya. Ansel mengangkat kepala, lantas menatap Aruna yang duduk sambil memandangnya. “Besok jatah kontrol, kan?” tanya Ansel. “Iya, kamu mau nemenin?” tanya Aruna balik setelah menjawab pertanyaan Ansel. “Iya,” jawab Ansel begitu semangat. “Yakin? Ntar kayak kemarin katanya mau nemenin tapi malah ada rapat dadakan,” ujar Aruna agak kecewa karena sebelumnya Ansel tak bisa menemaninya. “Iya maaf, tapi kali ini tidak akan ada rapat dadakan. Aku sudah memastikan,” balas Ansel meyakinkan. Aruna pun tersenyum mendengar balasan Ansel. Usia kandungannya kini sudah memasuki tujuh bulan. Perutnya tampak besar kadang membuat Aruna susah bergerak dan sulit tidur. “Baiklah, awas saja kalau sampai ga bisa ikut lagi. Aku akan merajuk tujuh hari tujuh malam,” ancam Aruna. “Ibu hamil dilarang gampan
“Kai kenapa murung?” tanya Emily saat melihat Kai masuk kelas.Kai meminta sekolah bersama Emily, harus sekelas sehingga dia melakukan tes dan hasilnya bisa sekelas dengan Emily meski umur mereka selisih satu tahun.Kai melipat kedua tangan di atas meja, lantas meletakkan dagu di atas punggung tangan.Emily duduk di depan Kai, menatap bocah itu yang terlihat sedih.“Tadi aku dengar Mama dan Papa bahas mau punya adik,” ucap Kai.“Kan bagus kalau punya adik,” balas Emily bingung kenapa Kai sedih.Kai mengangkat kepala, lantas menatap Emily.“Nanti Kai ga disayang lagi, yang disayang pasti adiknya,” ucap Kai dengan mimik wajah sedih.Emily terlihat berpikir, lantas kembali menatap Kai lagi.“Tidak juga, nyatanya Mami sama Papi tetap sayang aku, padahal mau punya adik,” balas Emily.Kai tetap sedih meski Emily berkata jika dugaannya itu salah.“Memangnya benar kalau Aunti hamil seperti mamiku?” tanya Emily memastikan.Kai diam mendengar pertanyaan Emily, hingga kemudian menjawab, “Entah, t
“Dia tampan sekali.” Bintang menimang cucunya yang menggemaskan. “Dia sangat mirip Ans saat bayi,” ucap Ayana yang berdiri di samping Bintang sambil menusuk-nusuk pelan pipi chubby Aruna. Aruna langsung dibawa ke rumah sakit setelah melahirkan, bayinya pun sempat diinkubator beberapa jam meski berat badannya di atas berat ideal bayi yang baru lahir. Ansel duduk di samping Aruna yang ada di ranjang. Dia menautkan jemari mereka sambil menatap para kakek-nenek yang tampak sangat bahagia. “Kalian sudah menyiapkan nama untuknya?” tanya Ayana sambil menatap Ansel dan Aruna. “Tentu saja sudah,” jawab Ansel lantas menatap Aruna penuh cinta. “Evano Aryastya Abimanyu. Emily menyumbang nama Evano, jadi kami pakai nama itu,” ujar Aruna menjelaskan nama putranya. “Namanya bagus,” balas Ayana lantas kembali fokus ke cucunya. Aruna dan Ansel senang karena semua orang bahagia, hingga beberapa saat kemudian kehebohan terjadi saat Emily dan Kai datang. “Mana adiknya?” Emily masuk kamar inap sa
“Selamat, ya.”Jean langsung memberi selamat setelah memberikan hadiah untuk anak Aruna ke Ansel.“Terima kasih,” ucap Aruna senang dengan kedatangan Jean di sana.Ansel duduk di samping Aruna yang sedang menyusui bayi mereka.“Siapa namanya?” tanya Jean sambil menatap bayi Aruna yang menggemaskan.“Evano,” jawab Ansel.“Dia tampan sekali,” puji Jean sambil menatap haru ke bayi itu.“Tentu saja, papinya saja tampan paripurna seperti ini,” balas Ansel penuh percaya diri.Jean langsung memukul lengan Ansel karena gemas.“Heh, jatah baik-baik saja muji sendiri!”Jean geleng-geleng kepala.Aruna tertawa kecil melihat interaksi Ansel dan Jean yang tidak pernah gagal saat berdebat.“Ya, gimana. Masa tampan seperti orang lain? Kalau bayinya tampan, benerkan itu karena papinya tampan.” Ansel membela diri.“Narsis,” ledek Jean.Ansel tertawa, lantas menoleh sekilas ke Evano yang sedang menyusu.“Bagaimana kanar Jill?” tanya Ansel karena lama tak menghubungi sepupunya itu.“Dia baik, sekarang f
“Kamu bicara dengan siapa?” tanya seorang pria memakai jas dokter saat melihat wanita yang dibantu Jean masuk ruangan itu.“Oh, sama gadis baik. Dia yang menolongku waktu malam-malam mobilnya mogok, tadi ketemu lagi terus dia bantu bawakan ini,” ucap wanita paruh baya itu sambil meletakkan paper bag yang dibawa.“Bagaimana kondisi Mama?” tanya wanita itu sambil menatap sang mertua.“Lumayan bagus,” jawab pria yang tak lain suami wanita yang ditolong Jean.“Dia memberiku kartu nama ini. Katanya kalau aku butuh bantuan, bisa langsung menghubunginya. Sepertinya dia mengira aku kurang mampu,” ucap wanita itu lantas tertawa kecil. Bukannya marah karena Jean menganggapnya seperti itu, tapi wanita itu malah merasa lucu.Sang suami yang seorang dokter ortopedi pun geleng-geleng kepala mendengar ucapan sang istri yang memang suka berpakaian sederhana hingga dikira orang biasa.“Kamu ini suka sekali mengerjai orang,” ucap pria itu.“Bukan menge
“Jangan aneh-aneh. Ga ada acara mau tinggal ke Jerman. Kalau kamu pergi, yang bantu papamu siapa? Terus yang bisa nemenin mama siapa? Kalau mama atau papa sakit, sekarat, mati, kamu ga bakal bisa nemenin.”Jean sangat terkejut mendengar ucapan sang mama sampai membahas mati hanya karena dirinya izin mau ke Jerman.“Sayang, tahan emosinya. Jangan marah seperti itu. Jean hanya minta izin, bukan berarti keharusan. Iyakan, Jean?” Sang papa menoleh ke Jean agar mengiakan ucapannya.Jean memanyunkan bibir mendengar ucapan ayahnya, apalagi sang mama terlihat sangat kesal.“Iya, aku hanya tanya saja. Mama tidak usah heboh seperti itu,” timpal Jean agar amarah sang mama tidak semakin membuncah.Ive—ibu Jean, menyipitkan mata ke arah putrinya itu.“Awas saja bahas pengen tinggal ke luar negeri lagi. Mama rantai kamu di kamar,” ancam Ive.Jean melirik sang papa, hingga pria itu hanya mengangguk meminta Jean menuruti ucapan sang mama saja.**Siang itu Jean pergi ke kafe untuk membeli kopi setela
Hari itu Jean menemani sang mama menghadiri arisan ala-ala wanita sosialita yang sebagian besar dari kalangan orang kaya. Jean sebenarnya malas, tapi karena sang mama memaksa, membuatnya akhirnya ikut.“Kalau ada pembahasan kencan buta atau jodoh-jodohan lagi, aku milih pulang,” ancam Jean.“Apaan, sih? Mama sudah bilang tidak ada,” balas Ive, “lagian misal dijodohkan pun wajar. Usiamu sekarang berapa? Sudah 29 tahun lebih, tapi belum juga punya pasangan,” keluha wanita itu lagi.Jean hanya menatap sang mama, lantas memilih tak bicara lagi.Arisan itu diadakan di restoran bintang lima. Sebagai kaum sosialita yang menjaga nama baik suami masing-masing, mereka memang sering berkumpul seperti ini.“Jean ikut juga,” kata salah satu teman Ive.Jean hanya mengangguk membalas sapaan wanita itu. Dia lantas ikut duduk di samping sang mama.“Kebetulan Jean juga libur, jadi ya ikut saja daripada dia bosan di rumah,” ucap sang mama lantas menoleh Jean.Jean sebenarnya lebih suka di rumah atau jal