Menuju Season 2 ya, di judul akan kuberi nama S2 agar kalian tahu mau stop baca mulai dari mana atau mau lanjut. Terima kasih
“Dia tampan sekali.” Bintang menimang cucunya yang menggemaskan. “Dia sangat mirip Ans saat bayi,” ucap Ayana yang berdiri di samping Bintang sambil menusuk-nusuk pelan pipi chubby Aruna. Aruna langsung dibawa ke rumah sakit setelah melahirkan, bayinya pun sempat diinkubator beberapa jam meski berat badannya di atas berat ideal bayi yang baru lahir. Ansel duduk di samping Aruna yang ada di ranjang. Dia menautkan jemari mereka sambil menatap para kakek-nenek yang tampak sangat bahagia. “Kalian sudah menyiapkan nama untuknya?” tanya Ayana sambil menatap Ansel dan Aruna. “Tentu saja sudah,” jawab Ansel lantas menatap Aruna penuh cinta. “Evano Aryastya Abimanyu. Emily menyumbang nama Evano, jadi kami pakai nama itu,” ujar Aruna menjelaskan nama putranya. “Namanya bagus,” balas Ayana lantas kembali fokus ke cucunya. Aruna dan Ansel senang karena semua orang bahagia, hingga beberapa saat kemudian kehebohan terjadi saat Emily dan Kai datang. “Mana adiknya?” Emily masuk kamar inap sa
“Selamat, ya.”Jean langsung memberi selamat setelah memberikan hadiah untuk anak Aruna ke Ansel.“Terima kasih,” ucap Aruna senang dengan kedatangan Jean di sana.Ansel duduk di samping Aruna yang sedang menyusui bayi mereka.“Siapa namanya?” tanya Jean sambil menatap bayi Aruna yang menggemaskan.“Evano,” jawab Ansel.“Dia tampan sekali,” puji Jean sambil menatap haru ke bayi itu.“Tentu saja, papinya saja tampan paripurna seperti ini,” balas Ansel penuh percaya diri.Jean langsung memukul lengan Ansel karena gemas.“Heh, jatah baik-baik saja muji sendiri!”Jean geleng-geleng kepala.Aruna tertawa kecil melihat interaksi Ansel dan Jean yang tidak pernah gagal saat berdebat.“Ya, gimana. Masa tampan seperti orang lain? Kalau bayinya tampan, benerkan itu karena papinya tampan.” Ansel membela diri.“Narsis,” ledek Jean.Ansel tertawa, lantas menoleh sekilas ke Evano yang sedang menyusu.“Bagaimana kanar Jill?” tanya Ansel karena lama tak menghubungi sepupunya itu.“Dia baik, sekarang f
“Kamu bicara dengan siapa?” tanya seorang pria memakai jas dokter saat melihat wanita yang dibantu Jean masuk ruangan itu.“Oh, sama gadis baik. Dia yang menolongku waktu malam-malam mobilnya mogok, tadi ketemu lagi terus dia bantu bawakan ini,” ucap wanita paruh baya itu sambil meletakkan paper bag yang dibawa.“Bagaimana kondisi Mama?” tanya wanita itu sambil menatap sang mertua.“Lumayan bagus,” jawab pria yang tak lain suami wanita yang ditolong Jean.“Dia memberiku kartu nama ini. Katanya kalau aku butuh bantuan, bisa langsung menghubunginya. Sepertinya dia mengira aku kurang mampu,” ucap wanita itu lantas tertawa kecil. Bukannya marah karena Jean menganggapnya seperti itu, tapi wanita itu malah merasa lucu.Sang suami yang seorang dokter ortopedi pun geleng-geleng kepala mendengar ucapan sang istri yang memang suka berpakaian sederhana hingga dikira orang biasa.“Kamu ini suka sekali mengerjai orang,” ucap pria itu.“Bukan menge
“Jangan aneh-aneh. Ga ada acara mau tinggal ke Jerman. Kalau kamu pergi, yang bantu papamu siapa? Terus yang bisa nemenin mama siapa? Kalau mama atau papa sakit, sekarat, mati, kamu ga bakal bisa nemenin.”Jean sangat terkejut mendengar ucapan sang mama sampai membahas mati hanya karena dirinya izin mau ke Jerman.“Sayang, tahan emosinya. Jangan marah seperti itu. Jean hanya minta izin, bukan berarti keharusan. Iyakan, Jean?” Sang papa menoleh ke Jean agar mengiakan ucapannya.Jean memanyunkan bibir mendengar ucapan ayahnya, apalagi sang mama terlihat sangat kesal.“Iya, aku hanya tanya saja. Mama tidak usah heboh seperti itu,” timpal Jean agar amarah sang mama tidak semakin membuncah.Ive—ibu Jean, menyipitkan mata ke arah putrinya itu.“Awas saja bahas pengen tinggal ke luar negeri lagi. Mama rantai kamu di kamar,” ancam Ive.Jean melirik sang papa, hingga pria itu hanya mengangguk meminta Jean menuruti ucapan sang mama saja.**Siang itu Jean pergi ke kafe untuk membeli kopi setela
Hari itu Jean menemani sang mama menghadiri arisan ala-ala wanita sosialita yang sebagian besar dari kalangan orang kaya. Jean sebenarnya malas, tapi karena sang mama memaksa, membuatnya akhirnya ikut.“Kalau ada pembahasan kencan buta atau jodoh-jodohan lagi, aku milih pulang,” ancam Jean.“Apaan, sih? Mama sudah bilang tidak ada,” balas Ive, “lagian misal dijodohkan pun wajar. Usiamu sekarang berapa? Sudah 29 tahun lebih, tapi belum juga punya pasangan,” keluha wanita itu lagi.Jean hanya menatap sang mama, lantas memilih tak bicara lagi.Arisan itu diadakan di restoran bintang lima. Sebagai kaum sosialita yang menjaga nama baik suami masing-masing, mereka memang sering berkumpul seperti ini.“Jean ikut juga,” kata salah satu teman Ive.Jean hanya mengangguk membalas sapaan wanita itu. Dia lantas ikut duduk di samping sang mama.“Kebetulan Jean juga libur, jadi ya ikut saja daripada dia bosan di rumah,” ucap sang mama lantas menoleh Jean.Jean sebenarnya lebih suka di rumah atau jal
“Pipimu kenapa?” Sang mama sangat syok melihat pipi Jean yang agak merah, apalagi putrinya itu sedang mengompres saat menemukan Jean yang tak kunjung kembali ke ruangan.“Tidak kenapa-napa.” Jean meletakkan kain yang digunakan untuk mengompres, lantas mengalihkan pandangan dari sang mama.Ive menatap Jean yang terlihat kesal, hingga kemudian berkata, “Ayo pulang saja.”“Apa arisannya udah selesai?” tanya Jean sambil menatap sang mama.“Kalau belum selesai, sana selesaikan dulu saja. Aku tunggu di sini ga papa,” ujar Jean lagi.“Tidak, ayo pulang!” ajak Ive sambil menarik tangan putrinya itu.Mana mungkin bisa wanita itu membiarkan putrinya sendirian dalam kondisi seperti itu, membuat Ive memilih mengajak pulang Jean.Saat sampai di rumah, Jean langsung pergi ke kamarnya. Dia terlihat lesu hingga membuat sang mama cemas.Sepanjang perjalanan pulang tadi, Ive tak bertanya lagi soal yang terjadi di restoran karena takut membuat mood Jean semakin buruk. Namun, dia pun tak bisa diam saja me
“Ini Bu Amanda, dan ini Bu Ive.” Teman Ive memperkenalkan dirinya dengan Amanda karena diundang datang ke sana. “Senang bertemu dengan Anda,” ucap Amanda sambil menjabat tangan Ive. Ive menganggukkan kepala, lantas mereka duduk bersama. “Aku di sini untuk mempertemukan kalian atas permintaan Bu Amanda, jadi jika ada yang ingin kalian bahas, silakan. Aku akan pergi ke meja lain,” ucap teman Ive lantas pergi begitu saja. Ive sendiri awalnya bingung kenapa dirinya diundang datang ke sana, tapi mencoba berpikir positif saat bertemu Amanda yang memiliki aura positif. “Jadi, pertemuan ini sebenarnya karena aku ingin membahas soal putrimu. Putrimu bernama Jean, kan?” Amanda mulai membahas apa yang ingin disampaikan. Ive mengerutkan alis mendengar ucapan Amanda, hingga kemudian menganggukkan kepala. “Ada apa dengan putriku?” tanya Ive agak cemas. Amanda menatap Ive yang gelisah, lantas tersenyum agar lawan bicaranya itu tak panik. “Begini, beberapa hari yang lalu, Jean memb
Raja masih menunggu sang mama di mobil, dia pun melihat Jean keluar bersama seorang wanita paruh baya lantas masuk mobil hingga pergi meninggalkan halaman parkir restoran. Pemuda itu sangat penasaran, kenapa Jean seperti memiliki dua sisi yang sangat sulit ditebak. Raja terus melamun sampai tak menyadari jika sang mama sudah masuk mobil. “Kenapa kamu melamun? Sudah datang juga ga kasih kabar,” protes Amanda. Raja terkejut mendengar protes sang mama, lantas memandang ke wanita itu. “Mama juga sudah tahu aku datang, jadi tidak perlu aku kasih tahu lagi,” balas Raja lantas melajukan mobil meninggalkan restoran. Amanda terlihat senang setelah kesepakatannya dengan Ive tercapai. Dia memang sangat ingin Jean menjadi menantunya daripada Stella yang dianggapnya sombong. “Apa benar Mama mau menjodohkan Arthur?” tanya Raja tiba-tiba kepo dengan masalah sang kakak. Amanda menoleh Raja, lantas mengangguk sambil menjawab, “Iya, mama sudah punya kandidatnya. Yang jelas dia lebih bai