"Edo haruskah aku menemui Alesya?" tanya Liam bingung.Edo tersenyum simpul dan menjawab, "silahkan tanyakan kepada hati kecil anda karena dia tak akan pernah berbohong."Liam mengangguk setuju. "Baiklah, aku akan menyendiri dan memantapkan hati untuk menemuinya.""Menemui siapa?""Ah tidak ada Nyonya, kami sedang membicarakan perihal menemui klien nanti. Benarkan boss!" jawab Edo dengan tenang."Oh begitu. Baiklah," jawab Bella sekenanya dan duduk di sofa, merebahkan tubuh moleknya. Sebenarnya Bella mendengar semuanya. Setelah satu jam lamanya, Bella memutuskan untuk pulang. "Aku pulang ya Liam," ucap Bella sambil mencium bibir Liam saat lelaki itu masih sibuk dengan file filenya.Tiba tiba pintu ruang kerja Liam terbuka lebar, tampaklah sosok klien Liam, Bapak Hendra, yang dengan langkah mantap memasuki ruangan tersebut. Bella dan Liam seketika berdiri memberi salam. Setelahnya, Bella meninggalkan ruangan menyisakan dua orang di ruangan tersebut.Senyum lebar terukir di wajah Hendra
"Alesya?" panggil Liam pada wanita yang dipegang tangannya saat ini. Dari belakang, wanita itu mirip sekali dengan Alesya, istrinya yang telah lama meninggalkannya. Hati Liam berdebar kencang, tak menyangka akan bertemu sosok yang begitu mirip dengan Alesya di tempat ini. "Alesya, apa kau..?" Ucapnya dengan suara gemetar. Mendengar ucapan Liam, wanita itu menoleh, ternyata bukan Alesya. "Aku bukan Alesya."Wajah Liam langsung berubah pucat, "Maaf, aku salah orang," ucapnya dengan terbata.Wanita itu tampak kesal, namun dia hanya mengangkat bahu dan kembali melanjutkan aktivitasnya, berlari meninggalkan Liam dan Bella. Liam masih berdiri di sana, menyesali tindakannya yang terburu-buru. Sementara itu, dari kejauhan, Bella menyaksikan kejadian itu dengan raut wajah marah.Bagaimana mungkin, pikir Bella, Liam bisa bersamanya namun masih terus memikirkan Alesya dan bahkan mengira wanita lain sebagai Alesya. Bella merasa jengkel dan cemburu, namun dia berusaha menahan amarahnya.Sesaat ke
"Apa yang kalian lakukan?" teriak Edo, berdiri di pintu masuk kedai, matanya terbelalak saat melihat sosok Alesya dan Zidan yang begitu dekat satu sama lain. Adrenaline Edo berpacu ketika ia menyaksikan Zidan mendekatkan wajahnya ke Alesya, hingga bibir mereka hampir bersentuhan.Alesya kaget, seketika menjauhkan diri dari Zidan, terlihat ragu dan gugup. Matanya berkilat dan pipinya memerah. Zidan memandang Edo dengan wajah tak suka. "Siapa dia, Ale?"Edo tahu betul bahwa Liam sangat mencintai Alesya, begitu juga sebaliknya dan ia merasa perlu melindungi kepercayaan majikannya. Dengan langkah cepat dan berani, Edo menghentakkan pintu dan masuk ke ruangan tersebut. "Nyonya Alesya, Pak Liam memerintahkan saya untuk mengantarkan dokumen ini," ujar Edo dengan suara keras dan tegas, sambil menyodorkan sehelai kertas pada Alesya."Dokumen?"Raut wajah Alesya terlihat bingung, sementara Zidan tampak kesal dengan kedatangan Edo yang tiba-tiba. "Terima kasih, Edo," sahut Alesya dengan suara ge
"Saat kamu pergi meninggalkanku, saat itu juga aku telah menutup hati ini."Air mata Bella mengalir deras, mengguyur pipi mulusnya yang tampak memerah. Bella semakin mengeratkan pelukan sambil berkata, "Maafkan aku, Liam. Aku akan berubah. Aku janji!"Namun, Liam merasa muak melihat tangisan Bella. Baginya, itu semua hanyalah air mata buaya yang tak pernah jujur. Hatinya telah luluh lantak, tak mampu mempercayai istrinya lagi. Liam berusaha keras menahan amarah yang mendidih di dadanya, ia tak ingin meledak di depan Bella yang terus memohon maaf dengan wajah mengenaskan itu.Alih-alih mencoba untuk menghibur istrinya, Liam melepas pelukan Bella, berjalan menuju pintu dan berkata dengan suara tegas, "Aku tidak bisa lagi, Bella. Aku sudah lelah. Terlalu banyak dusta dan pengkhianatan yang harus ku terima. Aku harus pergi …."Bella tercekat, masih mencoba meraih Liam yang kini semakin menjauh darinya. Tangisannya kian menjadi, namun tidak ada lagi yang bisa ia lakukan. Liam telah putus as
Liam sedang duduk termenung di ruang tamu saat pesan WhatsApp masuk dari Alesya, istri yang sudah lama menghilang dari hidupnya. Pesan itu membuat jantungnya berdegup kencang, segera dibuka dan dibaca pesan tersebut. Alesya meminta Liam untuk datang ke rumah sakit karena ia akan menjalani operasi kandungan. Perasaan Liam menjadi campur aduk, antara haru, khawatir, dan bingung. Kedua tangannya gemetar saat memegang ponselnya.Hati Liam merasa hancur berkeping-keping membaca pesan tersebut. Bagaimana mungkin Alesya merasa dirinya tidak bisa menerima anak mereka? Apa yang membuat Alesya begitu takut hingga memilih untuk melarikan diri? Liam menahan air matanya yang mulai menggenang di sudut matanya.Tiba-tiba, sebuah keinginan untuk menemukan Alesya dan anak mereka yang belum lahir menjadi begitu kuat dalam diri Liam. Ia ingin bertemu dengan Alesya, memeluknya erat, dan meyakinkan bahwa ia akan selalu ada untuk mereka berdua. Liam ingin menjadi sosok suami dan ayah yang baik, yang mampu
"Hentikan operasi ini!" teriak Zidan bersama seorang lelaki berusia sekitar 60 tahun."Dia Dokter gadungan!" teriak lelaki berpakaian lusuh itu."Apa?"Delapan jam sebelumnya.Morne bersembunyi di balik jendela, mendengar percakapan antara Bella dan Raka. Bella dengan tegas menyuruh Raka untuk menyamar menjadi Dokter dan membunuh Alesya saat operasi kandungan nanti. Raka juga harus menculik Dokter asli agar rencana mereka berjalan lancar.Morne merasa ngeri dan panik, berita ini harus segera diberitahukan kepada Zidan. Tangan gemetar, ia mengambil ponselnya dan menekan nomor Zidan. Sesaat kemudian, suara Zidan terdengar di ujung sana."Zidan, Nyonya Alesya dalam bahaya! Nyonya Bella berencana membunuhnya saat operasi kandungan!" ungkap Morne dengan nada tergesa-gesa."Apakah kamu yakin?" tanya Zidan dengan suara yang serak karena cemas."Ya, aku baru saja mendengarnya dari Nyonya Bella langsung. Mereka akan menculik Dokter asli dan Raka akan menyamar sebagai Dokter untuk membunuh Ales
"Entahlah, katamu?" teriak Zidan. Dirinya sungguh kesal atas jawaban Rizal."Karena hal ini diluar kendali. Aku sudah berusaha semampuku. Maaf, Zidan."Zidan memasuki kamar Alesya dengan perasaan yang sangat berat. Ia melihat sosok Alesya yang kini terbaring lemah di ranjang, wajah yang dulu selalu tersenyum dan ceria kini terlihat pucat dan tak berdaya. "Ale?!"Zidan merasa sedih dan hampa, hatinya seolah teriris melihat wanita yang dicintai dalam kondisi seperti ini. Belum ada tanda- tanda bahwa Alesya akan segera siuman dan kembali seperti dulu.Zidan duduk di samping ranjang Alesya, menatap wajah yang ia cintai itu dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Ia menggenggam erat tangan Alesya, merasakan kehangatan yang masih ada di tubuh gadis itu. "Alesya, semoga kamu segera sembuh. Aku sangat merindukan senyummu yang dulu," bisik Zidan lembut sambil menahan isak tangisnya.Di sudut kamar, Zidan melihat bunga mawar yang baru saja ia beli untuk Alesya. "Lihatlah! Aku membawa
"Kamu?!'"Ya, aku Zidan."8 jam sebelumnyaZidan melangkah gegas melintasi jalanan Paris menuju bandara, ia nekat terbang ke Amerika demi memberitahu Liam tentang kondisi Alesya yang kritis. Di tangan Zidan, ia memegang erat tiket pesawat yang baru saja ia beli. Alesya, kini sedang bergelut dengan maut di rumah sakit dan tak ada kabar yang dapat menghubungkan mereka dengan Liam yang tengah asyik menikmati waktu santainya di Amerika.Setibanya di Amerika, Zidan dengan segera mencari tahu keberadaan Liam. Setelah menemukan taman yang dimaksud, ia mendapati Liam yang sedang asyik menikmati angin sepoi-sepoi sambil membaca buku di bawah pohon yang rindang. Ia menghampiri Liam dengan langkah tegap, menahan amarah yang memuncak di hatinya."Disini kamu rupanya!" teriak Zidan begitu dekat dengan Liam. Liam terkesiap, ia melihat Zidan dengan wajah terkejut. "Kamu?"Liam syok berat melihat lelaki yang selama ini bersama istrinya itu, kini berdiri di hadapannya."Ya, aku Zidan."Zidan semakin m