"Sepertinya Ernest pulang," ucap Lillian. Dagunya menunjuk kearah mobil di depan mereka.
Kening Harvey berkerut. "Itu bukan mobil Ernest. Ini sudah malam, aku tak suka ada orang asing datang ke rumahmu.""Bisa saja itu mobil barunya. Dia baru saja menggunakan kartu kreditku dalam jumlah besar... --" Lillian terdiam dan menggigit lidahnya sendiri yang terlalu jujur.Harvey mengurungkan niat keluar untuk membuka pintukan pintu bagi Lillian. Laki - laki itu menutup kembali pintu mobil dan menatap tajam Lillian. "Kamu memberikan kartu kreditmu pada Ernest dan membiarkan dia berbelanja dengan sesuka hati?" tegurnya keras."Oh, ehm, Ernest yang akan membayar tagihannya. Ehm, iya. Itu pasti. Jangan berlebihan, Harvey. Kami adalah suami istri. Uangnya adalah uangku. Dan uangku adalah uangnya. Bukankan seperti itu?" cicit Lillian tanpa berani melihat kearah Harvey. Hatinya mengutuki dirinya sendiri yang selalu keceplosan di depan Harvey."Uang suami adalah uang istri. Tapi uang wanita milik wanita itu sendiri. Itu prinsipku!" tegas Harvey. Merasa kalau semua tagihan itu nantinya akan dilimpahkan ke Lillian, Harvey benar - benar marah.Lillian menunduk, tak sanggup melawan aura Harvey yang begitu kuat. Tapi Ernest adalah suaminya, bukan Harvey. "Lalu kamu lebih suka aku melawan Ernest, bertengkar dan dipukuli? Tolong jangan ikut campur kali ini," mohonnya dengan amat sangat.Harvey seperti di tampar kenyataan. Bagi Lillian saat ini, Ernest adalah suaminya. Sudah kewajiban Lillian untuk membela suaminya. Harvey menghembuskan napas panjang, dadanya terasa sakit saat mengingat kalau Lillian akan menghabiskan malam ini bersama adiknya. "Terserah kamu saja. Aku ingatkan padamu sekali lagi. Jangan biarkan Ernest terus mempersulit dirimu."Lillian bernapas lega lalu bergegas keluar mobil sebelum Harvey berubah pikiran. Dia segera mempercepat langkah. Apa benar Ernest datang? Dia tidak membawa kunci rumah. Bagaimana suaminya bisa masuk?Dia mendekat ke pagar dan menarik napas terkejut. Keadaan pagar sedikit bengkok karena dibuka paksa, gemboknya sudah tidak ada. Lillian menoleh namun terlambat. Mobil yang ditumpangi Harvey sudah bergerak menjauh. Mau berteriak memanggil Harvey, tapi untuk apa? Tadi dia sendiri yang minta kakak iparnya itu untuk tidak ikut campur.Kepalang tanggung, Lillian memaksa kakinya untuk melangkah masuk ke dalam rumah. Bisa saja Ernest sedang mabuk dan merusak. Hal ini sudah sering tejadi sebelumnya.Lillian membelalakkan mata saat menginjakkan kaki di ruang tamu. Kondisi rumah berantakan dengan beberapa barang dilemparkan begitu saja di lantai. Ada suara orang sedang berbicara dengan sengit dan melakukan sesuatu di kamar tidur. Dia memberanikan diri berjalan masuk dan matanya terbuka semakin lebar.Kondisi kamar berantakan, pintu lemari terbuka dan pakaiannya berserakan di lantai, laci - laci terbuka, beberapa koleksi patung keramik juga tergeletak di lantai dalam kondisi pecah. Disana ada tiga orang laki - laki tidak dikenal. Yang pasti mereka sedang mencari sesuatu, tidak mungkin rampok berani meninggalkan mobil di depan pagar.Merasakan kehadiran seseorang, tiba - tiba saja mereka berhenti bergerak lalu menatap Lillian dengan tajam. Lillian menelan ludah dengan susah payah, ingin rasanya berbalik badan dan lari mencari Harvey. Tapi, tubuhnya terasa kaku."Siapa anda?" tanya pria berpakaian serba hitam dan bertubuh besar yang mendekati Lillian dengan wajah garang.Lillian mengernyitkan kening. Jangan - jangan mereka salah rumah, kalau benar maka dia akan menuntut ganti rugi atas semua ini. "Saya pemilik rumah ini. Siapa kalian? Beraninya masuk dan mengacau di rumahku." ketus Lillian setelah keberaniannya muncul."Kami datang untuk mencari Ernest Luther.""Untuk apa?""Dia berhutang banyak pada kami saat di Las Vegas.""Hu-hutang?" tanya Lillian tak percaya dengan apa yang didengarnya. Tadi pagi notifikasi kartu kredit, sekarang hutang di Las Vegas. Apa saja yang dilakukan oleh Ernest diluar sana?"Apa hubungan anda dengan Ernest?" selidik laki - laki itu."Aku --- " Lillian berhenti sejenak dan berdehem, mendadak lidah terasa kelu saat mengucapkan kata - kata berikutnya. "Istrinya.""Wow!" Penagih itu bersiul dan menatap Lillian dari ujung rambut hingga ujung kaki dengan cara yang tidak sopan. "Siapa sangka si pengecut Ernest punya istri secantik ini." ujarnya sambil mengeluarkan secarik kertas dari saku celananya dan menyerahkannya pada Lillian."Kalau anda memang istrinya, itu artinya anda juga bertanggung jawab atas pelunasan hutangnya. Dia meminjam pada kami sebesar lima ratus juta rupiah dan tiba - tiba menghilang saat jatuh tempo. Untung saja kami berhasil menemukan rumah ini." geram laki - laki itu."Li-lima ratus juta?" Kepala Lillian terasa berputar cepat. Otaknya bekerja keras antara ingin memastikan kebenaran hutang Ernes dan mengkalkulasi jumlah tabungan, asset dan perusahaan kecil yang dimiliki oleh Ernest, memilah - milah yang mana yang akan dilepas demi melunasi hutang suaminya."Apa buktinya kalau Ernest berhutang pada kalian? Kapan dia meminjam? Bisa saja kalian mengarang - ngarang." tanya Lillian berusaha setegar mungkin. Jauh di lubuk hatinya berharap kalau Ernest tidak seburuk yang mereka katakan."Buktinya ada di tangan anda. Baca saja sendiri. Disana tertera jumlah, waktu dan juga tanda pengenalnya."Lillian membaca tulisan pada kertas tersebut. Nama dan tanda pengenalnya benar, dia langsung mengumpati suaminya dalam hati. Totalnya ada satu milyar hutang Ernest, termasuk cicilan mobil barunya. Itu yang dia tahu, lalu bagaimana dengan yang masih disembunyikan? Matanya kembali menelusuri jumlah cicilan yang akan dibayar setiap bulannya, beserta bunga harian. Disitu tertulis Ernest belum pernah mencicilnya sama sekali, sepertinya Ernest belum bisa menghentikan kebiasaannya berjudi.Lillian menarik napas panjang saat menyadari kertas yang dipegang bergetar. Jantungnya berdetak kencang dan dia juga bisa merasakan keringat mengalir di pelipisnya. Lillian tidak tahu dirinya sedang marah atau panik. Yang jelas saat ini dirinya kecewa, sepanjang ingatannya Ernest bahkan tidak pernah memberinya uang nafkah. Mereka punya pendapatan masing - masing dan menggunakannya secara bebas."Aku akan mencari cara untuk melunasinya. Beri aku waktu untuk berpikir. Jujur saja, beberapa waktu ini aku kesulitan menghubungi suamiku. Dan kalian datang dengan tiba - tiba membuat berantakan rumahku." ucap Lillian dengan suara bergetar."Kami sudah memberi waktu yang cukup pada Ernest, tapi dia tidak ada niat baik. Apa kamu kira kami mau memberi kesempatan padamu juga untuk kabur?" hardik pria itu.Lillian menutup mata dan menarik napas panjang untuk menenangkan diri."Aku tidak tahu menahu soal hutang ini. Dan alu butuh waktu untuk mencari dana. Lima ratus juta sangat besar bagiku." ujar Lillian lagi memberi penjelasan.Penagih hutang berjalan mendekat, Lillian mundur selangkah. Laki - laki itu malah mempersempit jarak supaya bisa mengintimidasi wanita yang lebih lemah darinya. Lillian berusaha tetap tenang meski jantungnya berdebar keras. Matanya menatap dingin lelaki di hadapannya dengan posisi kepala sedikit mendongak."Kamu bisa mencicilnya dengan aset berhargamu. Wajahmu yang cantik dan tubuh yang molek pasti Boss kami dengan senang hati menerima 'penawaranmu'. Kamu bisa menemaninya setiap malam dan aku yakin hutangmu akan lunas dengan mudah." bisiknya sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Lillian. Jarak mereka begitu dekat sampai - sampai Lillian bisa mencium bau napasnya yang tak sedap.Harvey menekan pedal gas sekaligus rasa cemburu yang menyeruak begitu saja di dalam dada. Pikiran kalau Ernest ada di rumah bersama Lillian malam ini membuat dadanya seperti terbakar. Tapi ada sesuatu yang lebih menggelitik perasaannya. Ini bukan hanya cemburu tapi gelisah. Logikanya mengatakan mobil yang terparkir di depan rumah Lillian tadi bukanlan mobil baru. Pikiran - pikiran itu terus mengganggunya. Akhirnya Harvey hanya melewati rumahnya dan memutuskan untuk kembali ke rumah Lillian. Dia ingin memastikan Lillian baik - baik saja. Di depan rumah Lillian, Harvey memperhatikan baik - baik mobil baru yang penampilannya sama sekali tidak baru. Ada cat yang terkelupas di dekat pintu, lalu spionnya juga sedikit retak. Modelnya pun tidak seperti selera Ernest yang sudah - sudah. Yang mengherankan adalah seri mobilnya masih seri keluaran lama. Kening Harvey berkerut. Meski pun suka berfoya - foya, adiknya tidak akan sebodoh itu membeli mobil yang kondisi fisiknya yang sudah jelek sepe
Lillian mengerjapkan matanya beberapa kali. Kata - kata Harvey membuat telinganya gatal dan emosinya melonjak. Laki - laki itu terang - terangan mengatakan akan tidur dengannya padahal mereka adalah saudara ipar. Astaga!"Kamu sudah gila? Kamu seharusnya tahu kalau yang kita lakukan adalah sebuah kesalahan. Jangan pernah ingin mengulanginya lagi!" semprot Lillian tanpa bisa menyembunyikan rasa kesalnya.Harvey tersenyum lalu menyentil pelan dahi Lillian. "Hey, aku rasa bukan aku yang ingin mengulangnya tapi kamu. Aku mengatakan akan tidur bersamamu, bukan bercinta denganmu." Kalimat terakhir sengaja diucapkannya lambat - lambat dengan nada menggoda.Seketika wajah Lillian memerah, otaknya tanpa sadar mendefinisikan kata tidur dengan hal - hal yang sensual. "Oh! Yeah... ehm, maksudmu kamu akan menginap kan? Oke, silahkan." gagapnya, sambil menahan malu. Ini bukan pertama kalinya mereka tidur bersama kan? Catat baik - baik. Tidur, dan hanya tidur. Titik. Harvey tertawa kencang melihat
Sesaat Lillian termenung. Layar ponsel otomatis meredup lalu gelap sementara pemiliknya sedang termangu. Lillian benar - benar tak tahu harus bagaimana merespon pesan itu. Pikiran buruk tentang Ernest semakin merasuki pikirannya. Masalah kartu kredit dan hutang pada rentenir belum juga beres, tapi sepertinya masalah lain akan segera menyusul. Ruwet dan mumet, itulah yang dirasakan oleh Lillian saat ini.Sekali lagi ponsel Lillian bergetar. Kali ini dari Harvey yang memberitahu kalau dirinya sudah siap di lobby. Tak ingin membuat Harvey menunggu, Lillian bergegas menyambar tas tangan miliknya. Dalam sekejap, dia sudah setengah berlari menuju lift untuk turun ke lobby dengan hati yang kacauDi dalam lift, Lillian berusaha mengatur ekspresinya senatural mungkin supaya tidak membangkitkan kecurigaan Harvey. Langkahnya terhenti saat melihat Harvey menunggunya di depan lift sambil tersenyum. Matanya teduh dengan kedua tangannya terentang seperti seorang kekasih yang menanti wanitanya mengham
"Keluyuran kemana saja kamu? Apa gunanya membawa ponsel kalau susah sekali dihubungi?"Tubuh Lillian menegang saat mendengar suara seorang laki - laki, sebuah hardikan yang familiar dari seberang sana. Tanpa sadar matanya refleks menatap Harvey dengan perasaan nelangsa. Seharusnya dia yang bertanya kemana Ernest keluyuran selama ini, bukan malah dibalik seperti sekarang ini. Ernest lebih dulu menuduhnya keluyuran. Memang beberapa jam ini, Lillian tidak menyentuh ponselnya. Tapi apakah semua ini salahnya? Toh selama ini Ernest tidak pernah menghubungi Lillian. Belum sempat Lillian menjawab, perintah berikutnya sudah kembali terdengar, "Bukakan pintu untukku! Lima belas menit lagi aku sampai rumah."Akhirnya perjalanan pulang dilalui Lillian dengan perasaan yang terombang ambing. Setelah sekian lama tanpa kabar, akhirnya Ernest menelepon dengan nomer baru. Seharusnya seorang istri senang saat suaminya memberi kabar akan pulang ke rumah. Tapi pada kenyataannya, Lillian sama sekali tidak
"HENTIKAAAAN!!" pekik Lillian sekuat tenaga. Melihat wajah panik Lillian memenuhi pandangannya, Harvey menghentikan kepalan tangannya di udara. "Kalian berdua kakak beradik! Semua bisa dibicarakan baik - baik. Lihat! Ernest tidak melawan. Apa kamu ingin membunuhnya?" seru Lillian penih emosi. Dia menghampiri Ernest dan membantu laki - laki itu supaya bisa berdiri. Saat ini dia harus memilih untuk mengurus orang yang lebih membutuhkan dirinya. "Ernest, kamu tidak apa - apa?" tanya Lillian sambil menatap tajam kearah Harvey. Harvey bergeming. Dia memperhatikan setiap ekspresi yang bercampur menjadi satu di wajah Lillian. Di wajah wanita itu tidak hanya tergambar rasa panik dan cemas tapi juga marah. Rasa khawatir itu tentu saja untuk Ernest, sedangkan kemarahannya sudah jelas ditujukan kepada dirinya. "Apa kamu marah padaku, Lili?" tanya Harvey pelan. "Menurutmu?" Lillian balik bertanya, kebiasaannya saat dia marah. Dia mengangkat alisnya tinggi - tinggi. "Tapi dia sudah membuatmu
"Done. Thanks," ucap Ernest sambil tersenyum puas. "Ha?" Lillian melongo melihat Ernest dengan santai melemparkan ponsel yang tadi dia rampas ke tempat tidur. Apa yang telah dilakukan oleh Ernest pada ponselnya? Lillian bergegas menyambar benda pipin itu. Belum sempat dirinya memeriksa ponsel, sudut matanya menangkap bayangan Ernest berjalan menuju lemari tempat penyimpanan barang berharganya. Laki - laki itu terlihat sedang memasukkan kode dan membuka brankas mini milik Lillian. Kemudian dengan santai meraup barang - barang berharga didalamnya lalu memasukkan semuanya ke dalam kantong celana. Setelah itu dia menggulung beberapa lembar surat berharga dan memasukkannya ke dalam saku bagian dalam jaketnya. Tubuh Lillian semakin gemetar karena marah. Tapi dia juga takut dipukul. Suasana seperti ini sangat familiar dan biasanya akan berlanjut dengan kekerasan fisik apabila dia tak mau patuh pada Ernest. Lillian putus asa. Dia belum sempat membicarakan soal tagihan debt collector dan cic
Di saat Lillian sedang berseteru dengan Ernest, Harvey memutuskan untuk pergi mengunjungi apartment Richard, satu - satunya teman yang bisa dia percaya saat ini. Pengacara itu bergegas membukakan pintu, dia bengong sesaat begitu menyadari siapa yang datang. "Harvey?" "Hey," sapa Harvey yang terlihat lesu. Dia mendorong Richard agar tidak menghalangi jalan masuk ke dalam apartment. Harvey masuk begitu saja seolah masuk ke dalam rumahnya sendiri. Langkahnya gontai, wajahnya kusut. "Ada apa denganmu?" Richard heran, mereka baru saja bertemu saat makan malam tadi. Dia menutup pintu dan mengikuti langkah Harvey. Harvey menghempaskan tubuhnya di sofa, di depan sebuah ipad yang posisinya berdiri di atas meja. Layarnya dalam kondisi menyala dan menghadap kearah Harvey. "Hey, Har! Harvey!" Suara seorang wanita yang sangat familiar terdengar tak jauh darinya. Nadanya ceria dan bersemangat. Harvey terkejut. Celingukan, dia menoleh ke kanan dan kiri. "Di ipad, Har. Lihat aku!" seru wanita it
"Ya, Sayang?" Suara lembut Ernest seakan bergema di suasana malam yang sepi. Lillian terhenyak. Dia seperti melihat Ernest di masa lalu. Laki - laki ramah dan lembut yang dicintainya. Waktu itu panggilan cinta berhamburan dari mulut manis Ernest, membuat Lillian mabuk kepayang. Siapa sangka, tiba - tiba saja Ernest berubah setelah mereka menikah. Laki - laki itu seperti menunjukkan sifat aslinya. Dia begitu kasar, suka menghambur - hamburkan uang dan ringan tangan. "Oke. Aku datang." Suara Ernest memudarkan lamunan Lillian. "Ern... -" Sebelum sempat Lillian menyelesaikan kalimatnya, Ernest sudah masuk ke dalam mobil dan langsung melajukan kendaraannya, meninggalkan Lillian begitu saja. Seketika pikiran buruk menyelusup di kepala dan hati Lillian bersamaan dengan angin malam yang menghembuskan udara yang dingin. Lillian memeluk dirinya sendiri, sekali lagi memandang mobil yang dikendarai Ernest. Kendaraan beroda empat itu pergi menjauh, lalu menghilang di tikungan. Terlalu kecew