Sekeras apa pun Bulan berusaha. Mamanya tetap pada keinginannya. Ingin mereka berdua menikah. Mama Bulan memiliki pertimbangan bahwa selama mengenal Langit, lelaki itu cukup baik.
Mereka berdua keluar dari rumah dengan langkah gontai. Keduanya duduk di teras memikirkan langkah selanjutnya.“Kamu gila, bukankah kamu bilang padaku, hanya malam ini saja. Tapi kenapa Mamamu malah menyuruh kita menikah!”“Aku mana tahu kalau bakalan begini, Langit. Sudahlah, menikah saja denganku, aku pasti membayarmu berkali-kali lipat.”“Aku belum gila, Bulan. Menikah denganmu, dunia kiamat pun aku nggak akan melakukannya.”Bulan yang mendengar ucapan Langit barusan pun kesal, dia marah, merasa bahwa Langit sudah menghinanya. Tak mau kalah dengan Langit, Bulan pun membalasnya. Sembari mendorong dada Langit, dia pun berkata pada lelaki itu, “Kamu pikir aku mau menikahimu! Jangan bangga dulu, aku hanya membayarmu sesuai dengan pekerjaan yang kamu lakukan!”Bulan sungguh frustrasi dibuatnya, satu sisi dia berhasil lolos dari perjodohan, tapi di sisi lain, menikah dengan Langit? tak pernah terbayangkan sebelumnya tinggal serumah dengan lelaki yang setiap hari berganti-ganti pacar walau hanya sebuah pekerjaan. Bagaimanapun juga kalau orang tuanya tahu itu bisa menjadi bumerang untuk dirinya.“Sudahlah aku mau pulang, katakan saja pada Mamamu, kalau kita cuma bersandiwara. Aku yakin Mamamu pasti mengerti. Aku nggak mau bermain denganmu apalagi main nikah-nikahan. Kalau pacar-pacaran masih bisa aku terima, tapi, menikah? Itu hal yang serius, Bulan. Jangan konyol!”“Kamu butuh uang, aku butuh kamu untuk menikah denganku, bukankah itu hubungan yang saling menguntungkan. Mutualisme. Kamu khawatir kalau aku menidurimu?”Langit tertawa terbahak mendengarnya, seharusnya dia yang mengatakan kalimat itu, tapi, ini malah sebaliknya, gadis itu dengan frontal mengatakannya tanpa rasa malu sedikit pun.“Kamu masih sama, konyol dan cukup gila!”“Aku bisa lebih gila dari ini, Langit, aku akan mengejarmu sampai ke ujung dunia sampai kamu mau membantuku, aku yakin kamu tak akan tertarik denganku, karena itu aku mau kamu yang menjadi pasanganku.”“Bagaimana kalau aku jatuh cinta padamu, atau kamu jatuh cinta padaku?”“Its impossible, itu nggak akan pernah terjadi, Langit, mana mungkin aku menyukai lelaki sepertimu. Begitu juga denganmu, banyak perempuan di sekelilingmu yang bisa menawarkan dunia seisinya, bahkan tak segan melemparkan diri di ranjangmu, rasanya tak mungkin kamu jatuh cinta padaku, jadi semuanya aman terkendali.”“Imposible is nothing,” ucap Langit percaya diri, sembari mengendikan bahu.“Damn you!”Saat keduanya sedang berbicara, tiba-tiba saja mama Bulan sudah berdiri di samping keduanya. Bulan yang terkejut pun mengelus dadanya. Mama Bulan berusaha menahan tawanya, dia tahu anak perempuannya yang licik itu pasti sedang memikirkan cara agar bisa lari dari keinginannya.“Mama mau bikin Bulan jantungan, terus mati?”“Mama maunya kamu menikah bukan mati. Sudah selesai? Jadi bagaimana keputusan kalian? Biar Mama yang membantu memutuskan. Besok kalian menikah, Mama yang akan menyiapkan semuanya.”“Tapi, Ma, itu terlalu cepat. Mama tahu, Langit yatim piatu. Standar Mama mencari menantu, kan, cukup tinggi. Dia nggak akan masuk kriteria calon menantu Mama.”Langit melongo, bisa-bisanya gadis itu mengatakan kalau dia yatim piatu, walaupun tak punya ayah dia masih punya ibu.Tahu dengan tatapan tajam yang diberikan Langit padanya, Bulan pun mengedip-ngedipkan matanya.“Lagi pula Langit juga bukan orang kaya. Mama kan sukanya calon menantu yang kaya, tampan, nggak seperti Langit.”Langit yang mendengar ocehan Bulan mengepalkan kedua tangan di sisinya. Gadis itu sungguh gila, bahkan level gilanya sudah pada tahap tak terselamatkan.Mama Bulan menatap Langit, memindai wajah tampan Langit, mendongakkan sedikit wajahnya sebab tubuh langit yang menjulang.“Langit tampan, tubuhnya juga bagus, Mama yakin dia sering berolahraga, lihat saja dadanya yang bidang. Dia pasti bisa membuatmu senang.”“Ma!”Langit ingin mengelus dadanya, ibu dan anak yang sekarang ini berdiri di depannya terlampau jujur dan tak banyak basa-basi.“Benar yang dikatakan Bulan, Tante, mungkin lebih baik Bulan kembali pada lelaki pilihan Tante, saya ini cuma lelaki miskin dengan tampang pas-pasan.”Kini giliran Bulan yang menatap Langit dengan tatapan menghujam. Bola matanya bahkan hampir keluar karena kesal, giginya gemeletuk menahan amarahnya.Langit berhasil membalas gadis itu, sejak tadi dia sungguh kesal dibuatnya. Melihat Bulan marah membuatnya ingin tertawa, tapi, sebisa mungkin dia menahannya. Langit hanya mengulas senyum tipis dan itu membuat Bulan semakin berang.Mama Bulan menarik tubuh putrinya lalu dengan telunjuknya dia meminta Langit berdiri. Mama Bulan mendorong tubuh Bulan berdekatan dengan Langit. Kemudian, dengan melipat kedua tangan di dadanya dia mengamati keduanya.“Cocok, kalian berdua pasangan yang cukup serasi. Fix, besok kalian menikah. Kalau Langit yatim piatu, bagus dong, jadi pernikahan kalian bakalan lebih mudah, bukan begitu, Langit?”Langit menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia tak tahu harus menjawab apa. Bagai kerbau dicocok hidungnya, Langit menganggukkan kepalanya pasrah.“Atau sekarang saja Mama panggil penghulu untuk menikahkan kalian. Mama nggak sabar melihat kalian menikah.”“Ma! Hentikan kegilaan Mama sekarang juga! Ini sudah malam, sudah hampir pukul sembilan malam. Bagaimana kalau orang-orang menggosipkan anak Mama hamil duluan, karena buru-buru menikah.”Binar-binar di mata Mama Bulan terlihat begitu jelas. Dia tak mampu menyembunyikan rasa bahagia mendengar kalimat terakhir yang terlontar dari mulut putrinya.“Mama bahagia, kamu tahu? Mama nggak peduli omongan orang, justru Mama senang sekali kalau itu benar terjadi. Mama bakalan punya cucu. Bagus, dong. Artinya Mama nggak salah pilih menantu, dia punya bibit unggul, dan Mama yakin dia cukup bisa memuaskanmu.”Lagi-lagi Langit melongo, mulutnya menganga, wajahnya memerah, memanas, kepalanya sedikit berdenyut dengan tingkah Mama Bulan.Sama dengan Langit, Bulan mendadak migrain, ingin rasanya dia menghilang saat itu juga, menenggelamkan dirinya ke planet Mars yang tak berpenghuni. Mamanya sungguh gila, dia dibuat malu di depan Langit. Kali ini Bulan tak bisa berkutik, dia tak mampu memenangkan pertarungan sengit dengan Mamanya. Dia kalah telak sebelum bertanding.Namun, menikah dengan Langit tak seburuk yang dia pikirkan ketimbang dia harus menikah dengan lelaki yang tak dia kenal sama sekali. Langit menyenggol jari Bulan meminta pertanggungjawaban.“Sudah malam, Ma, Langit harus pulang, sebaiknya besok kita bicarakan lagi. Jangan bikin anak orang trauma gara-gara obsesi Mama.”“Lho, dia pacarmu, mana mungkin dia trauma. Sebagai kekasihmu wajar kalau Mama menuntutnya menikahimu. Iya, kan, Langit?”Langit tak mengiyakan, dia menatap Bulan. Baru kali ini selama dia menjalankan pekerjaannya yang mainstream bertemu dengan orang seperti Mama Bulan. Bulan meminta maaf dengan menautkan alisnya dan mimik wajah menyedihkan.“Pokoknya Mama nggak mau tahu, besok kalian harus menikah! Dan kamu Langit, malam ini kamu tidur di sini, di kamar yang sama dengan Bulan!”Bagaikan mimpi, kini keduanya sudah sah menjadi pasangan suami istri. Mama bulan memeluk mereka berdua bergantian. Rona bahagia tak bisa ditutupinya sama sekali. “Akhirnya anak Mama satu-satunya menikah. Malam ini kalian harus membuatkan cucu untuk Mama.” “Ma, malu, Ma!” “Kenapa harus malu, kalian sudah sah menjadi suami istri. Mama akan tetap mengawasi kalian. Biar Mama yakin kalau kamu benar-benar melakukan malam pertama dengan suamimu. ” Mama Bulan mengarahkan jari telunjuk dan tengahnya ke arah putrinya lalu ke arah matanya sendiri. Pertanda Bulan dan Langit tak akan bisa lolos dari pengawasannya. Mama Bulan pun menyuruh keduanya naik ke kamar Bulan. Walaupun tak ada perayaan apapun, tetap saja Mama Bulan tahu kalau keduanya cukup lelah, sehingga menyuruh mereka beristirahat. “Jangan coba-coba membohongi Mama, Mama sudah memasang CCTV di kamarmu.” “Apa! Mama mau menonton kami live streaming, Ma, jangan lupa ada UU pornografi. Mama! Apa perlu Bulan mengantarkan Mama periksa?
Langit mengekori Mama mertuanya keluar dari kamar. Sampai di depan pintu, Mama mertuanya tiba-tiba berhenti dan berkata, “Tidak jadi, kamu tidur saja. Awas kalau Mama dengar kalian ribut. Kalian akan menerima akibatnya. Bulan, dia suamimu, jadi layani dia dengan baik.” “Tapi, Ma.” “Mama nggak mau dengar alasan darimu lagi. Langit, nikmati malam pertamamu, buat dia tak berkutik dan kelelahan. Kalau dia macam-macam, katakan pada Mama.” Langit tersenyum dan mengangguk, saat mertuanya menutup pintu dia tak sanggup lagi menahan tawanya. Langit tertawa terbahak-bahak. Bulan yang kesal melemparkan bantal ke arah Langit. Namun, Langit berhasil menangkapnya, hal itu membuat Bulan makin kesal. Bibirnya mengerucut, dengan wajah merah padam. “Jangan marah, marah bisa membuatmu cepat tua dan makin kurus. Segini saja kamu rata apalagi kalau kurus. Aku tak bisa membayangkannya.” “Dasar omes, pikiranmu nggak jauh-jauh dari sana!” Bulan menendang lelaki yang sudah menjadi suaminya itu. Langit y
Langit mengejar Bulan, sayangnya dia berhasil masuk lebih dulu ke dalam lift. “Sial.” Gagal sudah rencana Langit membalas perlakuan Bulan padanya. Sampai di ruangannya, Langit melempar tasnya sembarangan. Atasannya itu yang tak lain dan tak bukan adalah istrinya, meminta semua orang pergi ke ruang meeting. Entah apa yang akan dilakukannya pagi ini, hal gila apalagi yang akan dia minta dari anggota lainnya. “Bisa nggak, kamu itu datang lebih awal, sama seperti yang lainnya,” ucap Bulan pada Langit. “Baik, Bu.” Langit tak ingin berdebat dengan Bulan di depan orang banyak, tak mau mereka curiga pada mereka berdua. Meeting yang berakhir pada pukul sepuluh itu membuat banyak orang termasuk Langit, pusing sendiri. Mereka memang sedang menangani banyak klien dengan macam-macam masalah. Namun tak seharusnya Bulan meminta mereka menyelesaikannya dalam waktu yang singkat. “Konyol,” ucap Langit sembari berjalan menuju ruangannya. Langit tak menyadari kehadiran Bulan yang berjalan di bela
Langit menatap bulan penuh selidik, “Kamu sedang cemburu denganku?”“Ish, ge-er, jangan terlalu percaya diri.”“Lalu kenapa mengataiku seperti itu barusan.”“Memang ada kalimatku yang menyebut namamu? Nggak, kan?”Langit menghela nafas, istri jadi-jadiannya itu memang suka sekali menyulut pertengkaran antara mereka. Walaupun dibayar dengan nilai yang tak biasa, tetap saja dia jengkel. Dia merasa tak dihargai sama sekali. Bulan tetap sama, baginya uang bisa membungkam siapa saja yang membantahnya. Perlahan Langit mendekati Bulan, berusaha mengikis jarak yang tercipta antara mereka meski dipisahkan sebuah meja kerja di depan Bulan. Namun, setidaknya Langit bisa melihat dengan jelas wajah ayu milik istrinya yang tampak serius membaca berkas di hadapannya.“Cantik, tapi sayang....”Bulan mendongakkan kepalanya, manik matanya menatap lekat ke arah suaminya.“Apa? Mau mengataiku apa? Bukankah kita sudah sepakat untuk tidak mencampuradukkan urusan pekerjaan dengan urusan pribadi.”
Matahari mulai tergelincir ke arah barat, senja yang indah pun mulai menyapa. Jam dinding menunjukkan waktu di mana jam kerja mereka berakhir.Setelah perdebatan sengit yang terjadi beberapa jam yang lalu keduanya tampak acuh tak acuh.Bulan memilih pulang lebih dulu. Baru saja dia keluar dari ruangannya, ponselnya bergetar, mamanya mengirimkan pesan yang menyuruhnya untuk pulang bersama Langit. “Argh, sial, bagaimana aku bisa lupa kalau dia suamiku sekarang. Damn it!”Bulan memutar tubuhnya, dia mendorong pintu ruangan Langit.“Langit, ayo pulang!”“Nggak, aku masih ada urusan setelah ini.”“Mama menyuruh kita pulang bersama.”“Bilang saja pada Mama kalau aku sibuk. Aku mau ketemu calon pacarku yang baru.”“Gila ya, kamu. Bukankah kita baru saja menikah, dan kamu mau bekerja begitu lagi. Bagaimana kalau Mama tahu, bisa nggak sih kamu menahannya sebentar. Apa masih kurang uang yang kamu terima dariku?”Langit mengendikan bahunya, dan mulai merapikan barang-barangnya. Saat h
“Ah, lupakan aku mau masuk ke kamar.”Bulan mengelak, dia mengalihkan perhatian mereka. Langit yang masih penasaran mengekori istrinya hingga masuk ke kamar. “Jadi kecurigaanku benar? Kamu mengambil keuntungan dariku?”“Enggak, aku nggak melakukan apa pun. Coba ingat-ingat kembali, bukankah tadi pagi aku yang menendangmu hingga terjatuh. So, you know what i mean.”Langit tampak berpikir, dia mengingat dengan jelas kejadian tadi pagi. Kalau dipikir-pikir memang tak mungkin Bulan melakukan sesuatu padanya. Mengingat gadis itu memperlakukannya dengan kasar.Dari pada lelah berpikir tentang hal yang tidak penting, lebih baik dia membersih diri sebelum Bulan masuk lebih dulu ke kamar mandi.Sayangnya, baru saja dia hendak meraih handle pintu, suara Bulan menyapa telinganya.“Langit, aku dulu.”“Tadi pagi kamu sudah duluan, kan, sekarang giliranku,” protes Langit, “Daripada kita ribut terus bagaimana kalau kita mandinya bareng. Lebih adil, kan?”Bulan tersenyum mencurigakan, dia
Bulan diam saja, dia tampak berpikir siapa yang mamanya temui malam ini.Dia yang melamun tak sadar kalau tangannya menggenggam tangan langit di dalam box pop corn.“Ini tanganku, bukan pop corn.”“Oh, sorry.”“Tumben lembut.”“Sudahlah jangan menyulut pertengkaran, kamu nggak ingat pesan Mama mertuamu tadi? Ngit, Kira-kira surprise Mama apa, ya? Apa mungkin kita mengenalnya?” “Kamu pikir aku cenayang, aku mana tahu, dia mama mertuaku, tapi dia ibumu, seharusnya kamu lebih tahu dari aku.”Bulan menaikkan kedua alisnya, lalu acuh tak acuh. Kembali menyeruput cola dan melanjutkan menonton film yang tersaji di hadapan mereka. Dia tak mau menerka-nerka lebih dalam lagi, tapi perasaannya mengatakan bahwa dia tahu siapa yang mamanya temui.“Ngit, pulang, aku bosan.”“Sebentar lagi, aku masih menunggu adegan unboxing.”“Sialan!” seru Bulan melempar pop corn yang hendak masuk ke mulutnya.Mau tak mau Bulan mengikuti arah pandangan Langit. Bulan memutar bola matanya malas. Melirik
Bulan mendorong tubuh Langit menjauh, memberi jarak antara mereka berdua.“Apa saya mengganggu kalian?”Langit dan Bulan menggeleng. Terlihat Mama Bulan bersama dengan pemilik firma hukum di mana mereka bekerja.“Selamat malam, Pak,” sapa Bulan dan Langit bersamaan.“Kompak sekali kalian.”“Langit memang suka begitu, Pak, ikut-ikutan.”Bulan melotot ke arah Langit seakan menyuruhnya mengiyakan ucapannya. Langit menurut, dia mengangguk pasrah. Mereka berpamitan, lagi pula Bintang harus pulang dan tak mau mengganggu mereka bertiga.Selama perjalanan pulang ke rumah, Bulan yang penasaran pun mencecar mamanya dengan banyak pertanyaan.“Jadi yang Mama katakan tadi itu Pak Bintang?”Mama Bulan mengangguk, dia makin penasaran. Ada urusan apa mamanya dengan Bintang?“Ada urusan apa mama dengannya?”“Kenapa? Mau tahu atau mau tahu banget?”“Apa urusan pekerjaan?”Mama bulan tak menjawab, dia hanya tersenyum tipis, hal itu justru ikut membuat Langit penasaran. Entah kenapa di hati