Bulan mendorong tubuh Langit menjauh, memberi jarak antara mereka berdua.“Apa saya mengganggu kalian?”Langit dan Bulan menggeleng. Terlihat Mama Bulan bersama dengan pemilik firma hukum di mana mereka bekerja.“Selamat malam, Pak,” sapa Bulan dan Langit bersamaan.“Kompak sekali kalian.”“Langit memang suka begitu, Pak, ikut-ikutan.”Bulan melotot ke arah Langit seakan menyuruhnya mengiyakan ucapannya. Langit menurut, dia mengangguk pasrah. Mereka berpamitan, lagi pula Bintang harus pulang dan tak mau mengganggu mereka bertiga.Selama perjalanan pulang ke rumah, Bulan yang penasaran pun mencecar mamanya dengan banyak pertanyaan.“Jadi yang Mama katakan tadi itu Pak Bintang?”Mama Bulan mengangguk, dia makin penasaran. Ada urusan apa mamanya dengan Bintang?“Ada urusan apa mama dengannya?”“Kenapa? Mau tahu atau mau tahu banget?”“Apa urusan pekerjaan?”Mama bulan tak menjawab, dia hanya tersenyum tipis, hal itu justru ikut membuat Langit penasaran. Entah kenapa di hati
Udara pagi yang sejuk menyapa lembut wajah Bulan. Tubuhnya masih bergelung di bawah selimut yang sama dengan Langit. Perlahan dia membuka mata. Ditariknya tangannya yang sudah lancang memeluk Langit. Dia memukulnya pelan. “Dasar nggak tahu diri,” lirihnya. Lagi-lagi dia sendiri yang melanggar batasan yang sudah dia atur sedemikian rupa. Masih teringat jelas bagaimana perdebatan mereka semalam saat Langit tidur di sebelahnya. Rencananya tidur sendiri gagal total. Langit bukannya tidur di sofa, dia malah mengekspansi sebagian ranjangnya. Bulan membuka pintu balkon lebih lebar. Angin sepoi-sepoi menampar wajahnya yang polos tanpa make up. Sesekali dia menyelipkan helai rambutnya ke belakang telinganya. “Sudah bangun?” Suara maskulin Langit menyapa di telinganya. Tanpa menoleh ke arah lelaki itu bulan menjawab. “Seperti yang kamu lihat, kalau aku di sini artinya aku sudah bangun. Basa-basimu basi.” “ini masih pagi, Sayang, nggak usah ngegas, kita tidak sedang berada di arena balapa
Setelah obrolan mereka yang sedikit serius, kini keduanya terlihat menonton film bersama. Sungguh sebuah keajaiban selama pernikahan mereka. Ponsel milik Langit berdering. Secepat kilat Langit menjawabnya. Dia sedikit menjauh dari Bulan. Bulan mencebik, tapi berusaha memasang telinganya baik-baik, berusaha mencuri dengar obrolan mereka. Baru kali ini dia kepo urusan orang lain di telepon. Menyadari kegilaannya dia memukul kepalanya sendiri. “Dasar bodoh.” Langit yang baru saja selesai menerima panggilan langsung masuk ke walk in closet. Dia terburu-buru mengganti pakaiannya. “Mau ke mana?” tanya Bulan padanya. “Keluar.” “Ke mana? Dengan siapa. Aku boleh ikut?” Langit memicingkan mata, dia tak percaya dengan apa yang dia dengar barusan. “Kamu baik-baik saja?” Bulan mengangguk, “Tentu saja aku baik-baik saja.” “Nggak kesurupan, kan?” “Lha setannya, kan, kamu.” “Nikmati waktumu di rumah. Aku mau bertemu seseorang. Kamu bisa mengacaukan segalanya.” Mendengar jawaban Langit,
Bintang tak langsung menjawab, dia menyeruput kopinya lebih dulu. Sedangkan Bulan menunggunya dengan harap-harap cemas. Dia tak mau berpikir yang bukan-bukan tentang mamanya dan Bintang. Namun, obrolannya dengan Langit tadi pagi membuatnya memberanikan diri bertanya pada Bintang.“Kenapa kamu bertanya padaku? Seharusnya kamu tanya langsung pada Mamamu. Kali ini aku tak bisa menjawab pertanyaanmu. Jadi lebih baik kamu tanyakan sendiri pada Mamamu.”Misinya gagal kali ini, dia makin bertanya-tanya sebenarnya apa yang sudah mereka sembunyikan darinya?“Mau makan sesuatu?” tanya Bintang lembut.“No, thanks, aku tak terlalu suka makan makanan berat jam segini.”“Kamu takut gendut? Yang aku lihat kamu bukan perempuan seperti itu.”“Hanya tak terbiasa.”Bintang mengangguk-angguk. Dia menatap Bulan dengan intens. Dia mengingat bagaimana pertama kali bertemu dengan Bulan. Sosoknya yang cantik dan teduh membuat jantungnya seakan berhenti berdetak. Bulan yang mulai merasa tak nyaman p
“Teriaklah, lebih kencang lagi, biar semua orang tahu kamu memanggil namaku.”Langit tersenyum, membuat Bulan makin kesal dan emosional. Bulan melangkah melewati Langit, acuh tak acuh menuju toilet yang sudah terlewat. Langit tak mau menyerah begitu saja. Dia mengekori Bulan sembari menggodanya.“Kamu cemburu padaku?”“Nggak usah ngadi-ngadi. Aku marah karena kamu menendang kakiku. Kamu pikir yang kamu lakukan itu tidak menyakitiku?”Langit terkekeh, dia jelas cemburu, tapi enggan mengakuinya. Dia tak mungkin jatuh cinta dengan Bulan yang menyebalkan, dan semena-mena padanya. Denial demi egonya yang tinggi.“Kalau cemburu bilang saja. Aku tak keberatan,” lanjut Bintang menaik-turunkan alisnya menggoda Bulan yang tampak cemberut.“Jangan menggangguku, kembalilah ke meja, aku tak mau Bintang curiga. Aku tak mau dia tahu kalau kita sudah menikah.”“Kamu malu menikah denganku?”“Sadar, ingat kesepakatan kita, aku tak mau orang kantor tahu, kecuali Mine. Kamu mau semua orang tahu d
Langit panik, dia berjalan mondar-mandir di depan kamar mandi, berharap pintu di depannya itu segera terbuka dan menampilkan Bulan dalam keadaan baik-baik saja. Langit mencoba lagi, mengedor pintu sembari memanggil nama Bulan. “Bulan..Bulan, jawab aku.” Sepuluh menit berlalu. Lagi, tak ada jawaban apa pun. Langit membulatkan tekadnya, dia ingin mendobrak pintu kamar mandi. Memastikan bahwa istrinya baik-baik saja di dalam sana. Baru saja dia berancang-ancang hendak mendorongnya, pintu kamar mandi terbuka. Menampilkan Bulan yang memakai piama mandinya. “Are you ok?” tanya Langit, “Nggak ada yang terluka, kan?” Bulan masih diam saja. Terlihat matanya yang sedikit sembab. Langit jadi merasa bersalah padanya. “Kamu marah denganku?” Langit mengekori Bulan sampai ke dalam walk in closet. Bulan acuh tak acuh, dia sibuk memilih-milih piama yang akan dikenakannya. “Bulan, maafkan aku. Kamu marah?” ulang Langit kembali. Dengan wajah linglung, Bulan membawa piamanya masuk ke dalam kamar
Kantuk masih menyerang keduanya. Namun apa boleh buat, mereka harus bangun saat matahari mulai tampil setelah bulan tergelincir.Tak ada drama pagi ini, mungkin karena keduanya sama-sama lelah. Selesai mengenakan pakaian kantor dua insan yang terlihat lemah lesu tak bertenaga itu beriringan duduk ke ruang makan.Mama Bulan yang sudah lebih dulu berada di sana menatap mereka berdua dengan wajah datar.Semalaman saat mereka berdua ribut, Mama Bulan yang kebetulan baru pulang dalam kondisi lelah mengaktifkan speaker yang dia pasang di kamar putrinya. Dia menyuruh mereka diam dan melakukan malam pertama ketimbang terus-terusan bertengkar.“Ma, kemarin Mama pergi ke mana? Kenapa Bulan nggak bisa menelepon Mama?”“Mama ada kerjaan penting, lagi pula ada Langit yang menemanimu, jadi Mama pikir kamu nggak akan mencari Mama.”Bulan yang hendak menyuap makanannya ke mulut, berdecak saat Mamanya menyodorkan piring milik Langit.Langit yang merasa sungkan pun mencegahnya.“Tidak usah, Ma
“Pikir saja sendiri.”Langit bisa merasakan Bulan menyembunyikan sesuatu darinya. Padahal dia tahu yang sebenarnya. Mereka berdua turun dari mobil. Terlihat Bintang melambaikan tangan ke arah Bulan.Bulan membalas lambaian tangan lelaki itu tanpa memedulikan Langit yang berada di belakangnya.Langit menyapa dengan menganggukkan kepalanya saat Bintang menatapnya. Bintang tersenyum membalas anggukan Langit.Mereka bertiga masuk ke dalam lift yang sama. Tak mau mengganggu Bulan dan Bintang, Langit memundurkan tubuhnya ke belakang. Memberi jarak, membuat ruang mereka berdua untuk saling menyapa.“Bagaimana tidurmu?”“Sangat tidak menyenangkan, Pak. Semalaman saya tidak bisa tidur gara-gara ada setan yang datang ke kamar saya.”Bintang tertawa geli, mana mungkin ada setan di dunia ini. Bulan tak tahu saja di belakangnya Langit kesal bukan kepalang mendengar ocehannya. Bagaimana bisa dia disamakan dengan setan.“Kenapa tak mengusirnya?”“Sudah, Pak, tapi setannya nggak tahu diri.