Waktu terus bergulir. Tahun berganti, setelah Syaina berusia enam tahun Langit dan Hana dikaruniai seorang bayi lelaki yang tampan. Mereka memberi nama Biantara Atha Arif. Sesuai cita-cita sang ayah, Syaina dan Atha keduanya disekolahkan sampai menjadi dokter. Kebahagiaan semakin melengkapi rumah itu, tatkala Syaina menerima keinginan Langit untuk menikah dengan salah satu anak teman seperjuangan sang ayah. Masa-masa indah menjelang pensiun, dilewati Langit dan sang istri dengan semakin memperbanyak rasa syukur kepada Allah. Buah dari rasa syukur itu, kehidupan mereka semakin dilimpahkan kebahagiaan. Hingga, berita rumah tangga putrinya yang terguncang membuat kedua insan itu begitu merasa pilu. *** Pov Syaina "Talita udah tidur, Yank?" "Udah, baru aja tidur habis kususui," jawabku seraya membereskan koper Mas Rian yang akan dibawa sebentar lagi keluar kota. "Hmm, enak banget adek selalu dilayani sama Mama, padahal Papa 'kan pengen juga dilayani. Apalagi udah hampir dua bulan P
Degup jantungku seketika berpacu kencang melihat foto tersebut. Tapi karena masih dihantui rasa penasaran, akhirnya aku kembali membuka-buka seluruh galeri foto yang biasanya jarang sekali kusentuh. Tersebab Mas Rian selalu sibuk bekerja dan jikalaupun pulang, maka sudah menjadi kebiasaan kami untuk tidak menyentuh ponsel masing-masing, demi maksimalnya kesempatan kami bersama di rumah. Setelah menggeser beberapa foto, akhirnya aku menemukan kembali sebuah foto dimana suamiku sedang berduaan bersama 0Friska. Jemari dokter cantik itu tidak tanggung-tanggung, melingkari leher Mas Rian. Mereka berdua tertawa ke arah kamera. Rasa cemburu begitu saja menusuk dada. Kulihat detail pengambilan foto tersebut untuk memastikan kapan waktu keduanya sedekat ini. Dan kembali aku harus menelan pil kekecewaan saat tahu tanggal yang tertera pada gambar itu. Satu bulan yang lalu. Aku mencoba memutar ingatan, bulan lalu Mas Rian memang sempat minta ijin padaku katanya ingin mengunjungi temannya yan
Untuk sepersekian detik aku menatap Mas Rian dengan tatapan tajam. Apakah perkataan yang keluar dari bibirnya ini terjadi spontan atau telah melalui pemikiran yang cukup panjang? Kurasa ini hanya untuk menyelamatkan diri sebab takut karena aku meminta cerai. "Mas mau mencoba menipuku lagi? Maaf, aku sudah tidak percaya." "Demi Tuhan aku akan menceraikannya, Syaina. Aku berjanji, kamu bisa pegang kata-kataku ini." "Pernikahan, sekalipun secara bawah tangan, tetap saja sah menurut agama Mas. Menceraikan pasangan tanpa alasan syari yang diperbolehkan agama hukumnya haram. Oleh karena itu manusia diberi akal untuk berpikir, apa yang kamu cari di luar sana sebenarnya semua ada pada istri sahmu." Suaraku melemah, tak seperti tadi meski batin ini masih sakit tercabik-cabik oleh pengkhianatan Mas Rian. "Urungkan niat Mas menceraikannya, biarlah aku yang mundur." "Tidak Syaina, aku tidak akan membiarkanmu pergi. Kamu istriku, sampai kapanpun akan seperti ini. Kuakui aku khilaf, dan aku ak
"Cerai?" Friska membelalak ketika kusampaikan padanya tentang keinginan untuk bercerai. Jam tujuh aku sudah sepakat bertemu dengan Friska untuk meluruskan masalah yang terjadi. Jangan tanya bagaimana sikap Syaina padaku pagi ini, semenjak semalam dia sudah tak bicara. Pagi ini dinginnya sikap Syaina masih bertahan. Kuakui apa yang terjadi semalam tentu membuat hatinya terluka patah, dan aku tidak menuntut ia segera bersikap seperti biasa padaku. Perlahan tapi aku berjanji akan membuat dia kembali seperti Syainaku selama ini. "Iya cerai. Hubungan kita sudah diketahui oleh Syaina, jadi aku tidak mungkin mempertahankannya lagi." Friska terdiam beberapa waktu, wanita yang usianya lebih sebaya denga itu kini terisak. "Katamu mencintaiku, lalu kenapa kamu ingin menceraikan aku Mas?" Aku terdiam sejenak, jelas rasa untuknya masih sangat besar. Sangat tak paham kenapa bisa mencintai dua wanita dalam satu waktu. Andai saja malam itu tak pernah ada, malam yang membuat jiwaku jatuh padanya.
Bayangan sosok Friska membuat pandanganku pada ayah mertua teralihkan. Sesuai jadwal wanita itu akan menjadi dokter jaga di IGD. Dia yang sebenarnya bisa langsung masuk IGD sengaja memilih belok ke kiri dari lobi utama agar bisa melewati poli berbagai penyakit. Aku baru sadar jika ternyata sudah dari dulu dia begitu, setiap pagi wajib menampakkan diri di hadapanku baru ke ruangan dimana dia ditugaskan. Jika biasa aku selalu tersenyum melihatnya, tapi pagi ini aku hanya menatap saja. Bukankah baru satu jam yang lalu kami bertemu, bahkan karena dia aku harus terlambat masuk kerja. Mata kami bertemu pandang sejenak sebelum akhirnya dia mengedipkan sebelah mata dan tersenyum genit. Dasar Friska. Itulah kenapa aku mencintai dia. Ada sisi lain dalam dirinya yang tidak dimiliki Syaina. Meski sama-sama cantik dan lembut, tapi Friska memiliki kelebihan lain sebagai seorang wanita yaitu lebih agresif dan memesona. Ah, bukankah di awal menikah Syaina juga menggoda. Bahkan jika berdekatan denga
"Friska?" Aku menatapnya dengan dada bergemuruh hebat. Kenapa dia kemari? Bagaimana jika Syaina kembali dan menemukan dia ada di ruangan ini? "Mas ... aku sangat mengkhawatirkan kamu." Ingin kuhentikan tapi Friska justru berjalan cepat mendekatiku. Dia menatap wajah ini sambil mengusap pipinya yang sudah basah akan air mata. Sama seperti Syaina, dia juga kelihatan sangat ketakutan. "Sudah jangan menangis. Aku sudah sadarkan diri, tidak apa-apa semua baik-baik saja," ucapku menenangkannya. Dengan kekuatan yang sangat lemah kugerakkan tangan untuk mengusap air mata yang mengalir di kedua pipi Friska, dia kini menggenggam tanganku. "Maafkan aku Mas, karena aku memintamu menjenguk Kayla, kamu jadi seperti ini." "Semua yang terjadi bukan karena kesalahanmu, hanya karena aku yang tidak hati-hati makanya sampai begini." Friska terdiam sejenak, hingga akhirnya dia memeluk tubuhku erat. "Jangan seperti ini Friska, lepaskan aku. Bagaimana jika Syaina masuk dan melihat kita begini?" "B
Aku ikut berbelangsungkawa atas kepergian putrimu," ucapku berempati."Tidak usah bermanis muka, bukannya kamu senang jika anakku tiada?"Ucapannya tajam menusuk, apa dia kira aku sekejam itu? "Kamu memang sudah menyakiti hatiku, tapi aku bukan wanita pendendam yang mengharapkan balasan setimpal atau bahkan lebih menyakitkan untukmu. Justru aku berdoa semoga kamu dan anakmu sehat serta terkhusus untukmu supaya cepat dapat hidayah."Wajah Friska memerah, dia tampak begitu kesal sebelum akhirnya mengulas sebuah senyum licik. "Jujur sampai detik ini, aku tidak pernah merasa berbuat salah padamu. Tapi au tetap mau mengucapkan terima kasih karena kamu sudah mau mendoakanku. Tuhan itu memang tahu yang terbaik untuk makhluk ciptaan-Nya. Dia memgambil Kayla kembali tapi juga tidak membiarkanku bersedih terlalu lama. Tuhan telah menitipkan anugerah lain pengganti Kayla di dalam rahimmu, Syaina," ucap Friska seraya mengusap perutnya yang rata.Dua mataku membelalak, jangan katakan bahwa dia k
"Syaina, Mama perhatikan dari tadi kamu diam terus. Ada apa? Kamu kelelahan?"Wajah ini seketika menatap Mama mertua."Nggak Ma, Syaina hanya kepikiran sama teman. Rumah tangannya sedang berada di ujung tombak, suaminya ketahuan selingkuh dan ia tak bersedia diduakan. Dia minta pendapatku, tapi aku bingung mau menanggapinya seperti apa, Ma.""Oh itu, seorang istri boleh kok tidak bersedia dipoligami. Karena dalam agama juga dinyatakan seorang istri boleh tidak setuju dipoligami. Asalnya tidak menolak atau membantah bahwa poligami itu memang ada dalam syariat."Aku menatap Mas Rian yang ternyata juga memandang ke arahku."Temanku pun seperti itu, Ma. Dia bukan menolak poligami tapi tak mau dipoligami.""Iya itu sih pilihan, harusnya suami yang baik itu ya jangan memaksa."Seperti mendapatkan sebuah jawaban baik tapi tidak langsung tertuju pada masalah kami, aku menatap kembali pada Mas Rian. Namun, lelaki itu justru mengalihkan pandangan ke arah Fatih."Sudah jangan dipikirkan lagi, ya