Bayangan sosok Friska membuat pandanganku pada ayah mertua teralihkan. Sesuai jadwal wanita itu akan menjadi dokter jaga di IGD. Dia yang sebenarnya bisa langsung masuk IGD sengaja memilih belok ke kiri dari lobi utama agar bisa melewati poli berbagai penyakit. Aku baru sadar jika ternyata sudah dari dulu dia begitu, setiap pagi wajib menampakkan diri di hadapanku baru ke ruangan dimana dia ditugaskan. Jika biasa aku selalu tersenyum melihatnya, tapi pagi ini aku hanya menatap saja. Bukankah baru satu jam yang lalu kami bertemu, bahkan karena dia aku harus terlambat masuk kerja. Mata kami bertemu pandang sejenak sebelum akhirnya dia mengedipkan sebelah mata dan tersenyum genit. Dasar Friska. Itulah kenapa aku mencintai dia. Ada sisi lain dalam dirinya yang tidak dimiliki Syaina. Meski sama-sama cantik dan lembut, tapi Friska memiliki kelebihan lain sebagai seorang wanita yaitu lebih agresif dan memesona. Ah, bukankah di awal menikah Syaina juga menggoda. Bahkan jika berdekatan denga
"Friska?" Aku menatapnya dengan dada bergemuruh hebat. Kenapa dia kemari? Bagaimana jika Syaina kembali dan menemukan dia ada di ruangan ini? "Mas ... aku sangat mengkhawatirkan kamu." Ingin kuhentikan tapi Friska justru berjalan cepat mendekatiku. Dia menatap wajah ini sambil mengusap pipinya yang sudah basah akan air mata. Sama seperti Syaina, dia juga kelihatan sangat ketakutan. "Sudah jangan menangis. Aku sudah sadarkan diri, tidak apa-apa semua baik-baik saja," ucapku menenangkannya. Dengan kekuatan yang sangat lemah kugerakkan tangan untuk mengusap air mata yang mengalir di kedua pipi Friska, dia kini menggenggam tanganku. "Maafkan aku Mas, karena aku memintamu menjenguk Kayla, kamu jadi seperti ini." "Semua yang terjadi bukan karena kesalahanmu, hanya karena aku yang tidak hati-hati makanya sampai begini." Friska terdiam sejenak, hingga akhirnya dia memeluk tubuhku erat. "Jangan seperti ini Friska, lepaskan aku. Bagaimana jika Syaina masuk dan melihat kita begini?" "B
Aku ikut berbelangsungkawa atas kepergian putrimu," ucapku berempati."Tidak usah bermanis muka, bukannya kamu senang jika anakku tiada?"Ucapannya tajam menusuk, apa dia kira aku sekejam itu? "Kamu memang sudah menyakiti hatiku, tapi aku bukan wanita pendendam yang mengharapkan balasan setimpal atau bahkan lebih menyakitkan untukmu. Justru aku berdoa semoga kamu dan anakmu sehat serta terkhusus untukmu supaya cepat dapat hidayah."Wajah Friska memerah, dia tampak begitu kesal sebelum akhirnya mengulas sebuah senyum licik. "Jujur sampai detik ini, aku tidak pernah merasa berbuat salah padamu. Tapi au tetap mau mengucapkan terima kasih karena kamu sudah mau mendoakanku. Tuhan itu memang tahu yang terbaik untuk makhluk ciptaan-Nya. Dia memgambil Kayla kembali tapi juga tidak membiarkanku bersedih terlalu lama. Tuhan telah menitipkan anugerah lain pengganti Kayla di dalam rahimmu, Syaina," ucap Friska seraya mengusap perutnya yang rata.Dua mataku membelalak, jangan katakan bahwa dia k
"Syaina, Mama perhatikan dari tadi kamu diam terus. Ada apa? Kamu kelelahan?"Wajah ini seketika menatap Mama mertua."Nggak Ma, Syaina hanya kepikiran sama teman. Rumah tangannya sedang berada di ujung tombak, suaminya ketahuan selingkuh dan ia tak bersedia diduakan. Dia minta pendapatku, tapi aku bingung mau menanggapinya seperti apa, Ma.""Oh itu, seorang istri boleh kok tidak bersedia dipoligami. Karena dalam agama juga dinyatakan seorang istri boleh tidak setuju dipoligami. Asalnya tidak menolak atau membantah bahwa poligami itu memang ada dalam syariat."Aku menatap Mas Rian yang ternyata juga memandang ke arahku."Temanku pun seperti itu, Ma. Dia bukan menolak poligami tapi tak mau dipoligami.""Iya itu sih pilihan, harusnya suami yang baik itu ya jangan memaksa."Seperti mendapatkan sebuah jawaban baik tapi tidak langsung tertuju pada masalah kami, aku menatap kembali pada Mas Rian. Namun, lelaki itu justru mengalihkan pandangan ke arah Fatih."Sudah jangan dipikirkan lagi, ya
"Kamu ingin aku mengatakan selamat Mas, karena kamu akan memiliki anak lagi dari istri simpananmu itu?" jawabku menatap matanya, tapi dia justru menunduk."Tidak Syaina. Aku ... aku hanya meminta kerelaanmu menerimanya. Aku mencintaimu, sangat mencintaimu sebagai yang pertama di hati ini. Tapi aku juga mencintainya, dan aku tidak ingin melepas siapapun diantara kalian. Aku akan bertanggung jawab dan berlaku seadil-adilnya padamu dan Friska. Kumohon Syaina, terimalah dia. Friska sudah berjanji padaku untuk bersikap baik padamu. Dia akan tunduk padamu, apapun yang kamu mau dia akan ikuti. Jadi kumohon terimalah dia."Untuk sepersekian detik aku kehilangan kata, berharap ini semua hanya mimpi tapi tidak mungkin. Karena semua ini benar adalah kenyataan."Menerimanya? Bukankah sudah pernah kukatakan bahwa aku tidak bisa diduakan. Aku takut pada akhirnya hanya akan membencimu dan istrimu itu. Sebab itu semua sudah jelas, jika kamu tetap ingin bersamanya, biarkan aku yang pergi."Kulepaskan
Flash back"Aapa kabar, Sayang?"Aku terhenyak saat keluar dari kamar mandi dan mendapati Friska sudah ada di ruangan. Satu bulan penuh kami tak bertemu, sesekali dia mencoba menelpon tapi aku selalu menutupinya dari Syaina. Jujur setelah melihat perjuangan istri pertama merawatku, hati ini tak tega menyakitinya terlalu dalam. Mungkin berat, tapi sudah kuputuskan untuk menyudahi segalanya. Toh Kayla sebagai pengikat hubungan kami juga sudah tidak ada. Sudah saatnya aku berhijrah, memperbaiki diri dan memperbaiki rumah tanggaku bersama Syaina. "Baik," jawabku santai sembari kembali duduk di atas kursi. Sementara itu Friska mengunci pintu dan berjalan mendekatiku."Aku merindukanmu," ucapnya seraya memeluk tubuh ini dari belakang. Tapi aku berusaha melepas kedua tangannya.Melihat reaksi penolakan dariku, Friska lantas terlihat kesal."Ada apa Mas, kamu tidak merindukanku?""Fris, aku minta maaf. Tapi aku ingin kita menyudahi semuanya."Dua netra Friska membelalak."Menyudahi, maksudm
"Syaina?"Mama terhenyak saat menemukanku ada di depan rumah, beliau segera menyilahkan kami masuk."Kenapa tidak mengabari jika mau pulang?""Maaf Ma, ini diluar kehendak. Makanya aku nggak sempat untuk mengabari."Mama melihat keluar, seperti mencari sesuatu."Rian mana?" tanyanya kemudian."Aku pulang tanpa Mas Rian, Ma.""Oh, Rian udah mulai masuk kerja?""Iya, Ma.""Kalau Rian udah mulai kerja, kenapa pulang? Sudah dapat ijin dari dia?"Aku terdiam sejenak."Nanti aku akan cerita Ma, tapi sekarang aku mau istirahat dulu. Kepala ini terasa berat sekali."Mama terdiam beberapa waktu melihat wajahku yang pastinya kelihatan sangat kusut, lalu dia memanggil asisten rumah tangga untuk membawa semua barang-barang kami ke kamar.Sampai di kamar, aku merebahkan diri di atas ranjang. Kubaringkan Talita di samping untuk menyusuinya. Lelah pikiran dan jiwa, tapi begitu sampai di rumah ini semua seolah terangkat sedikit demi sedikit.Selesai menyusui, aku mendengar pintu kamar diketuk. "Ini
Aku kembali menginjakkan kaki di rumah sakit menjelang siang hari. Semenjak meninggalkan Bandung, kepala serasa mau pecah. Masih terbayang diingatan bagaimana menjadi yang terhakimi di depan kedua orang tua juga istri yang sudah menemani selama sepuluh tahun.Sungguh ini beban terberat yang harus aku pikul. Andai aku bisa meninggalkan Friska tanpa rasa bersalah dalam hati. Mungkin semua tak seperti ini. Kuhela napas berat seraya menatap pintu yang terbuka perlahan. Wajah Friska kembali muncul di sebaliknya. Dia tersenyum dan berjalan mendekat."Aku menghubungimu semenjak tadi. Tapi satu pun panggilanku kau angkat. Apa yang terjadi?""Aku mengantar Syaina ke Bandung."Friska tampak terhenyak."Dia mengadu tentang hubungan kita pada kedua orang tuamu?"Aku menggeleng."Dia meminta agar aku yang berterus terang pada Mama dan Papa.""Kamu melakukannya?""Iya.""Lalu bagaimana pendapat mereka tentangku?"Friska terlihat antusias, bagaimana jika kukatakan bahwa Mama dan papa sangat menenta