Flash back"Aapa kabar, Sayang?"Aku terhenyak saat keluar dari kamar mandi dan mendapati Friska sudah ada di ruangan. Satu bulan penuh kami tak bertemu, sesekali dia mencoba menelpon tapi aku selalu menutupinya dari Syaina. Jujur setelah melihat perjuangan istri pertama merawatku, hati ini tak tega menyakitinya terlalu dalam. Mungkin berat, tapi sudah kuputuskan untuk menyudahi segalanya. Toh Kayla sebagai pengikat hubungan kami juga sudah tidak ada. Sudah saatnya aku berhijrah, memperbaiki diri dan memperbaiki rumah tanggaku bersama Syaina. "Baik," jawabku santai sembari kembali duduk di atas kursi. Sementara itu Friska mengunci pintu dan berjalan mendekatiku."Aku merindukanmu," ucapnya seraya memeluk tubuh ini dari belakang. Tapi aku berusaha melepas kedua tangannya.Melihat reaksi penolakan dariku, Friska lantas terlihat kesal."Ada apa Mas, kamu tidak merindukanku?""Fris, aku minta maaf. Tapi aku ingin kita menyudahi semuanya."Dua netra Friska membelalak."Menyudahi, maksudm
"Syaina?"Mama terhenyak saat menemukanku ada di depan rumah, beliau segera menyilahkan kami masuk."Kenapa tidak mengabari jika mau pulang?""Maaf Ma, ini diluar kehendak. Makanya aku nggak sempat untuk mengabari."Mama melihat keluar, seperti mencari sesuatu."Rian mana?" tanyanya kemudian."Aku pulang tanpa Mas Rian, Ma.""Oh, Rian udah mulai masuk kerja?""Iya, Ma.""Kalau Rian udah mulai kerja, kenapa pulang? Sudah dapat ijin dari dia?"Aku terdiam sejenak."Nanti aku akan cerita Ma, tapi sekarang aku mau istirahat dulu. Kepala ini terasa berat sekali."Mama terdiam beberapa waktu melihat wajahku yang pastinya kelihatan sangat kusut, lalu dia memanggil asisten rumah tangga untuk membawa semua barang-barang kami ke kamar.Sampai di kamar, aku merebahkan diri di atas ranjang. Kubaringkan Talita di samping untuk menyusuinya. Lelah pikiran dan jiwa, tapi begitu sampai di rumah ini semua seolah terangkat sedikit demi sedikit.Selesai menyusui, aku mendengar pintu kamar diketuk. "Ini
Aku kembali menginjakkan kaki di rumah sakit menjelang siang hari. Semenjak meninggalkan Bandung, kepala serasa mau pecah. Masih terbayang diingatan bagaimana menjadi yang terhakimi di depan kedua orang tua juga istri yang sudah menemani selama sepuluh tahun.Sungguh ini beban terberat yang harus aku pikul. Andai aku bisa meninggalkan Friska tanpa rasa bersalah dalam hati. Mungkin semua tak seperti ini. Kuhela napas berat seraya menatap pintu yang terbuka perlahan. Wajah Friska kembali muncul di sebaliknya. Dia tersenyum dan berjalan mendekat."Aku menghubungimu semenjak tadi. Tapi satu pun panggilanku kau angkat. Apa yang terjadi?""Aku mengantar Syaina ke Bandung."Friska tampak terhenyak."Dia mengadu tentang hubungan kita pada kedua orang tuamu?"Aku menggeleng."Dia meminta agar aku yang berterus terang pada Mama dan Papa.""Kamu melakukannya?""Iya.""Lalu bagaimana pendapat mereka tentangku?"Friska terlihat antusias, bagaimana jika kukatakan bahwa Mama dan papa sangat menenta
"Saya minta tolong, bantu saya Pak." Pak Fandy terhenyak, sepertinya dia sudah bisa membaca maksud perkataanku itu. Lelaki tersebut tersenyum kecil seraya menghela napas panjang. "Bagaimana bisa, Dok? Apa kurangnya Nyonya Syaina?" Pertanyaannya tak dapat kujawab, justru aku mengganti dengan jawaban yang lain. "Saya sedang menanti ijin poligami." Ternyata Pak Fandy kembali tersenyum mendengar jawabanku. "Seorang wanita cantik, sehat, berpendidikan tinggi, berasal dari keluarga berada. Saya yakin Syaina tidak akan mau dipoligami." Aku menarik napas panjang, tebakan Pak Fandy memang benar. "Saya hanya tak habis pikir, kenapa harus Friska, dok?" "Cinta tidak bisa memilih, Pak." "Cinta atau nafsu? Setahu saya Dokter Rian adalah lulusan terbaik fakultas Kedokteran UI. Kinerja dari pertama dinas sampai sudah lima belas tahun mengabdi selalu cemerlang. Bagaimana jika kejadian ini justru membuat karier dokter dengan seketika lenyap?" Aku menelan ludah, jangan sa
"Cerai? Seharusnya bukan aku yang kamu ceraikan, Mas. Tapi Syaina.""Jika itu yang kulakukan maka tamatlah riwayat kita, Fris. IDI akan memproses kasus ini, bukan saja dipecat tapi kita juga akan dikenakan sanksi pidana karena kasus perselingkuhan. Tidak ada cara lain Fris, kamu harus mengalah.""Mengalah, nggak! Aku nggak masalah karierku hancur, asalkan anak yang aku kandung ini terlahir dengan status jelas siapa ayahnya. Jika Mas tetap bersikeras meninggalkanku, maka aku nggak akan tinggal diam. Bukan IDI yang akan menghancurkan karier kita tapi aku. Aku yang akan membongkar semuanya."Kuhela napas panjang, kepala kembali terasa sakit seperti hampir pecah. Menceraikan Friska begitu saja memang bukan perkara mudah. Bahkan alasan karier tak membuatnya goyah.Mungkin harus ada kesepakatan, untuk mengelabuinya."Baiklah, begini Friska. Aku berjanji akan meninggalkan Syaina setelah masalah ini selesai. Tapi dengan satu syarat, kamu harus mundur terlebih dahulu.""Persyaratan macam apa i
"Katakan di rumah sakit mana?"Friska menyebutkan alamat sebuah rumah sakit, untuk kesekian kali aku harus pasrah pada takdir yang sudah kupilih ini. Ingin mengakhiri terasa sangat sulit. Sampai di rumah sakit yang disebutkan Friska, kaki kembali tertuju ke meja resepsionist untuk menanyakan posisi istri keduaku itu. Masih memakai masker dan topi, seorang suster membawaku ke ruangan dokter kandungan. "Silahkan masuk, Dok," persilah suster tersebut. Lalu dua netraku seketika membelalak menatap dokter cantik yang tengah duduk di depan Friska.Mira, sahabat Syaina. Aduh, kenapa Friska memilih rumah sakit ini. "Nggak papa Mas Rian, dibuka aja masker dan topi. Saya udah tahu semuanya kok dari Mbak Friska. Masuk Mas, duduk di sini. Biar saya jelaskan kondisi Mbak seperti apa."Deg.Mau seperti apapun ditutupi sebuah pengkhianatan, pasti akan tercium juga. Kubuka masker dan topi yang menutupi kepala. Sedikit canggung karena bagaimana pun Mira dan Syaina bagai pinang dibelakang dua."Usia
"Waalaikum salam. Rian?"Dua netra papa mertua membelalak tapi detik berikutnya ia memaksakan diri untuk tersenyum. Membuatku merasa deg-degan hingga akhirnya tak bisa berkata apapun."Duduklah," persilah papa mertua kemudian sembari menunjuk kursi yang ada di teras. Sangat berbeda dengan penyambutannya selama ini. Lelaki yang tetap gagah di usia enam puluhan tahun itu langsung merangkul, lalu mengajakku masuk. Tidak hanya itu, dia selalu meminta mama mertua membuatkan makanan yang aku mau. Ah, bukankah itu dulu sebelum aku menyakiti hati putrinya.Kuikuti beliau yang duduk terlebih dahulu."Bagaimana kabar Jakarta?"Beliau berbasa basi karena kami duduk dalam kebisuan hingga lima menit."Baik."Sama dengannya yang tampak kaku, akupun lebih gugup."Bagaimana kabar istri keduamu?"Deg.Mendengar pertanyaan keduanya ini membuat jantungku seolah berhenti berdetak. Wajah Papa mertua kini tertuju padaku."Kau seperti orang kena serangan jantung saat Papa menanyakan hal itu?"Aku terhenyak
Mas Rian semakin mengeratkan tangannya pada tubuhku, tapi aku terus melawan. Tak hanya dada yang terasa sesak karena tahanan kedua tangannya tapi juga bagian tubuh yang paling lembut, hati ini terasa bagai terjerat kuat. Beribu-ribu kali sakit yang kurasa karena sikapnya yang seperti ini."Mas mau ngapain, lepaskan aku!"Kubentak dia meski dengan nada kecil, seperti tersadar lelaki itu lekas melepas tangannya. Tak menunggu, aku langsung berlari ke kamar. Masih dengan perasaan campur aduk, tiba-tiba pintu kamar terketuk."Syaina, keluarlah sebentar. Ngobrol sama Pak Andre," ucap Mama tanpa membuka pintu.Kutarik napas panjang, mengatur ritme jantung yang oleh kejadian tadi serta merta menyentak kuat. Lalu perlahan kuangkat langkah berjalan membukakan pintu tersebut."Ayolah Syain, nggak enak sama Pak Andre."Aku mengangguk lalu keluar dari kamar. Kini kami berjalan berbarengan menuju ruang tamu. Dapat kulihat, Mas Rian justru memilih keluar dan duduk di teras belakang. Jujur ada rasa s