"Rian sakit, Sya. Ca otak."Sejenak, jarum jam seperti berhenti berdetak. Aku tak ingin percaya dengan apa yang kudengar ini."Tolong jangan beritahu Aa, sebenarnya Rian tak mengijinkan Mama memberitahu siapapun termasuk kamu karena dia tidak mau membuat kalian susah. Tapi Mama nggak sampai hati melihatnya berjuang seorang diri. Mungkin dengan kehadiranmu, Aa dan Talita, semangat hidup Rian akan semakin besar."Aku masih terdiam, bibir ini terasa kelu."Papa kenapa, Ma?"Suara Aa membuyarkan lamunanku yang tengah menelaah perkataan mantan mama mertua."Papa sakit demam, Nak."Aku terpaksa berbohong demi mengiyakan perkataan ibunda Mas Rian untuk tidak berterus terang pada Aa."Kalau begitu, ayo Ma kita jenguk Papa.""Iya Nak, sebentar Mama tanya sama Nenek Papa sekarang dirawat dimana?"Aa mengangguk dan kembali duduk tenang."Apa Aa menanyakan Papanya?""Iya Ma.""Jangan sampai Aa tahu perihal ini ya, Sya.""Baik, Ma. Aku akan berusaha untuk menutupinya.""Terima kasih Syaina."Baru
Dengan ribuan perasaan bersalah aku menyusul Aa ke kamarnya."Aa, buka pintunya, Nak."Ternyata Aa benar-benar marah padaku hingga ia sengaja mengunci pintu kamar."Maafkan Mama, Nak. Mama benar-benar merasa bersalah.""Aa nggak mau buka pintu. Aa mau sendiri."Aku menghela napas berat, terasa teramat sakit di dalam dada, karena kecewa dan penyesalan menghujam begitu tajam. Ya Allah, kenapa aku bisa lepas diri seperti tadi?Jujur jika tadi Aa mengira aku menampar, sebenarnya tidak. Aku hanya reflek menyentuh pipi Aa sebagai isyarat agar dia bersikap baik. Tapi tetap saja ditengah kemarahan mungkin Aa merasa itu adakah sebuah pukulan."Maafkan Mama, A."Tak bisa kubendung, akhirnya air mata jatuh jua di kedua pipi. Aku takkan bisa duduk tenang jika Aa masih mengurung diri di kamarnya."Tolong Nak, buka pintunya. Ijinkan Mama bicara.""Nggak!""Aa nggak sayang Mama lagi, ya?""Mama yang nggak sayang Aa lagi.""Siapa bilang, anak Mama cuma Aa sama Dedek. Jadi semua kasih sayang yang Mama
Setelah beberapa detik saling berpandangan, Mas Rian menyunggingkan selarik senyum. Sementara diri ini masih terpaku."Ma, Kalau Papa ada di sini. Berarti besok Papa bisa nemani Aa ikut wisuda donk?"Wajah kini tertuju pada Aa yang tingginya hampir sejajar denganku saat ini."Iya, Nak. Kalau Papa nggak ada kesibukan tentu bisa ikut ke acara wisuda Aa.""Yey, asyik."Aa tampak sangat bahagia, bagaimana tidak dari kemarin dia sudah berandai-andai padaku tentang kehadiran papanya. Dan hari ini Allah langsung menjawab tunai doa Aa.Kuajak si Sulung untuk duduk kembali di kursi tamu. Selain Mama, juga ada Talita yang duduk di di sebelah Mas Rian. Tangannya menggandeng lengan sang Papa. Kupandangi kembali mantan suami yang memakai topi untuk menutupi kepala."Nyetir sendirian Mas kemari?""Iya, tapi dari Jakarta ke Purwokerto disupiri Pak Kasim.""Ooh. Sudah berapa hari di sini?""Baru sampai tadi subuh."Aku mengangguk pelan."Gimana pendaftaran masuk pesantrennya, apa ada kendala?" tanya
Entah kenapa di detik ini kedua netraku tiba-tiba basah, terlebih saat melihatnya memeluk Talita seraya berucap terima kasih."Terima kasih Mama. Papa janji tidak akan menyia-nyiakan kesempatan kedua yang Mama berikan ini."Lagi-lagi dia meluapkan rasa bahagia pada Lita dengan mengecup pucuk kepalanya, membuat anakku keheranan."Papa kenapa sih tiba-tiba peluk dedek?""Papa sedang terharu, Nak.""Terharu karena bahagia?""Iya.""Karena Aa hebat, ya?""Salah satunya.""Dedek juga hebat?""Iya Papa tahu, kamu pasti sehebat Mamamu," ucap Mas Rian kini seraya membawa anakku dalam pelukan.Lita pun tersenyum sembari mengeratkan pelukan papanya. Melihat pemandangan itu, wajah tertunduk sejenak. Tak ada penyesalan saat niat ini sudah mantap menerimanya kembali. Setiap manusia memang sangat mungkin berbuat kesalahan, tapi Mas Rian membuktikan bahwa dia melakukan hal yang baik dengan meninggalkan kesalahannya dan beritikad untuk kembali padaku semenjak dahulu.Maaf Mas telah membuatmu terus be
"Boleh lebih dekat?"Mas Rian memintaku untuk lebih rapat dengannya, usai pemasangan cincin dan menerima sebuah kecupan. Kini saatnya sesi foto-foto, meski tidak berdiri di atas pelaminan dan hanya duduk di atas sebuah karpet tebal berbulu lembut, acara ini tetap sesakral pernikahan pertama kami yang dilaksanakan begitu meriah.Mas Rian menyentuh kembali jemariku lalu sebuah foto tercetak dua kali."Selanjutnya foto bareng anak-anak."Seorang fotografer meminta kedua anakku bergabung. Setelah selesai mencetak foto berempat, lelaki itu kembali meminta seluruh keluarga untuk bergabung."Oke, satu dua tiga."Blast. "Sudah cukup, seadanya saja. Karena kami masih masa berkabung," ucap mama mertua meminta fotografer tidak lagi mengambil gambar. Lelaki itupun berbicara dengan Mas Rian lalu pamit pulang. Seminggu setelah jenazah Papa mertua dikebumikan adalah waktu yang baik yang sudah ditentukan oleh dua belah keluarga untuk melangsungkan pernikahan ini. Seharusnya ini menjadi suatu hal ya
Sungguh terhenyak diri ini saat pintu kamar mandi terbuka, bahkan ponsel di tangan sampai jatuh ke atas ranjang."Ma, kenapa?"Mas Rian yang melihatku tiba-tiba berdiri kaku langsung mengambil ponsel dan mengecek isinya. Dia membaca pesan Friska yang belum kukeluarkan dari layar utama. Usai membaca, lelaki itu menatapku."Aamminnn, semoga doanya diijabah."Mas Rian mematikan ponsel lalu meletakkan di atas nakas. Dia kemudian berjalan mendekatiku yang nyaris tak bergerak tersebab perasaan dipenuhi tanda tanya, bagaimana Friska bisa tahu bahwa hari ini aku dan Mas Rian menikah? Lalu perihal keluhan wanita itu, sepertinya aku menangkap jika ternyata Friska telah menikah lagi dan suaminya kemungkinan selingkuh. Benarkah?"Bagamana Friska bisa tahu jika hari ini kita menikah?" tanyaku menatap Mas Rian, seketika rasa cemburu menyergap. Apakah mereka masih berkomunikasi?"Papa nggak tahu, Ma.""Kalian masih berhubungan, ya 'kan?""Demi Tuhan, nggak Ma. Jika kami masih berhubungan kenapa dia
Tangis haru mewarnai pemakaman papa pagi ini. Mama masih tak stabil, sebentar pingsan, nanti sadarkan diri kembali. Begitulah semenjak semalam. Namun, tiga jam ini keadaannya sudah lebih membaik. Lebih tiga jam sudah ia sadarkan diri.Walaupun begitu, aku tetap tak bisa mengantar jenazah Papa untuk terakhir kalinya. Sebab tak mungkin meninggalkan Mama yang tak stabil seorang diri di rumah. Meski keinginan sedemikian besar, tapi kucoba mengikhlaskan dan menyerahkan pemakaman papa sepenuhnya pada Mas Rian dan adik semata wayang, Biantara Atha Arif.Kurang lebih dua jam, semua kembali ke rumah. Arif kini mendekati Mama dan memeluk wanita itu sejenak, postur tinggi serta bentuk tubuh dan wajah yang mewarisi Papa sepenuhnya, membuatku seolah melihat papalah yang kini tengah memeluk Mama."Sudah selesai pemakaiannya?" tanya Mama dengan suara serak. "Udah, Ma.""Sekarang Papa kalian sudah sendiri, biasanya semua Mama yang ngurus. Sekarang Papa kalian gimana? Dia pasti merasa sedih."Mama ke
Hari ini adalah hari paling membahagiakan, setelah tiga bulan menanti akhirnya benih yang telah bertumbuh di dalam rahim kini terlihat jelas jenis kelaminnya."Gimana Mira, laki-laki atau perempuan?" tanyaku antusias. Mas Rian hanya tersenyum, baginya perempuan atau lelaki tak masalah yang penting sehat dan lahir dengan selamat. Tapi tidak dengan diri ini, semenjak awal dinyatakan positif hamil, aku sudah mengidam-idamkan anak perempuan. Supaya Lita punya teman bermain."Masya Allah ...."Mira tersenyum menatapku. "Seperti keinginanmu Sya, perempuan," ucapnya semangat yang kusambut dengan senyum bahagia. Mas Rian ikut semang dan merangkul bahu ini."Perkembangannya gimana, Dek? Sehat 'kan?" tanya Mas Rian yang lebih mengkhawatirkan kondisi fisik bayi kami. Tersebab sudah bertahun-tahun dia mendapati kemoterapi dan sangat takut akan rusaknya gen-gen yang seharusnya menjadi pembentuk bayi kami.Awalnya Mas Rian memang melarangku hamil, dia bahkan meminta agar aku memakai spiral. Tapi a