"Apaan ini, Bu?" tanya Dika masih tetap men-scroll layar HP Fara.
"Biar Ayah tahu kelakuan adik ipar Ayah selama ini," sahut Fara masih berusaha bersikap tenang.Dika tak menjawab, bola matanya masih bergerak ke kiri dan ke kanan, pertanda ia masih membaca pesan itu dengan seksama. Berulang kali ia baca, mencoba menyangkal dengan apa yang terjadi sebenarnya."Kamu gak usah sok kegatelan, Bu! Gak usah deketin Andre! Inget, Andre itu suami adik ipar kamu," sanggah Dika yang sukses membuat Fara mematung.
"Masa Andre tiba-tiba kirim pesan beginian, kalo gak dimulai? Ayah tahu siapa Andre, orang kecilnya aja Ayah tahu, kok!" seru Dika.
Dika sebenarnya bingung hendak mempercayai siapa, istrinya atau iparnya. Ia sama sekali tak percaya jika Andre bisa berbuat seperti itu, karena selama ini ia dan Rita sangat baik pada keluarga kecilnya. Namun ia juga tak bisa mengabaikan Fara, karena Fara tak akan bertindak jika tak ada bukti.
Fara tak percaya, suami yang ia harap bisa melindunginya, malah melimpahkan kesalahan padanya. Padahal sudah jelas-jelas ada bukti-bukti yang memperkuat alibi Fara.
Mata Fara menghangat, pelupuk matanya sudah mengembun, dan tak lama buliran bening itu jatuh membasahi pipi Fara membentuk aliran sungai.
"Ayah nuduh ibu deketin Andre?" tanya Fara sambil terisak, dan sesekali mengusap pipinya kasar.
Dika tak mampu menjawab. Tapi dari gerak tubuhnya terlihat ia juga menahan amarah. HP Fara yang masih tergenggam erat ditangannya, ia lempar ke kasur, kemudian Dika berlalu sambil membanting pintu.
Fara menangis dalam diam, tubuhnya luruh ke lantai seiring dengan buliran air yang semakin deras. Far menutup wajah dengan kedua tangannya, merasaka sesak yang menghimpit dadanya.
Karena terlalu lama menangis, akhirnya Fara tertidur di lantai yang beralaskan karpet. Fara terjaga ketika ia mendengar suara pintu yang terbuka. Dik masuk ke rumah dengan tampilan yang acak-acakan, dan bau alkohol yang menyengat.
"Apa dia sama tertekannya denganku?" batin Fara tanpa mencoba untuk membantunya berjalan.
Fara membiarkan Dika jatuh bangun sendiri, dan akhirnya ambruk di kasur, tepat sebelah Reza. Fara yang tengah bersedih, memilih untuk mengadukan semuanya pada Sang Pencipta. Ia lekas mengambil wudhu dan mendirikan sholat. Ia menangis tersedu sambil menengadahkan tangan.
"Kuatkan aku ya Allah, luaskanlah hatiku...." lirih Fara sambil terisak, ia menutup wajah dengan mukenanya karena tak sanggup lagi berkata.
Pagi itu Dika bangun dengan kepala yang sedikit berdenyut. Retina matanya mencoba menyesuaikan dengan cahaya yang msuk. Setelah betul-betul sadar, Dika segera beranjak ke kamar mandi tanpa menghiraukan Fara yang sedang memasak untuk sarapan.Berhari-hari sepasang suami-istri itu berdiam diri. Fara sendiri masih shock, mendapati suami yang ia banggakan selama ini, malah menuduhnya mendekati adik iparnya sendiri.
"Bu, Ayah minta maaf, Ayah gak mau Ibu diemin Ayah terus," pinta Dika saat malam sudah menyapa.
Fara yang sedang menonton TV enggan untuk menoleh. Sedetik kemudian, digenggamnya tangan Fara oleh Dika yang membuat Fara terpaksa menoleh ke arah Dika.
Fara melihat ada penyesalan di mata Dika. Pasti, Dika tak akan mau jika ia harus kehilangan Fara. Fara yang melihat kesungguhan Dika pun akhirnya luluh.
"Kalo Andre ngirim pesan lagi ke kamu, jangan diladenin ya, Bu!" seru Dika sebelum berangkat bekerja, sambil mencium kening Fara.Fara mengangguk, kemudian tersenyum. Diciumnya punggung tangan suaminy dengan takzim.
Pagi itu Fara dikejutkan dengan keberadaan Rita yang sudah siap akan mengantar Nuri ke sekolah.
"Kamu gak kerja, Ta?" tanya Fara heran.
"Aku udah resign, Kak," sahut Rita tersenyum. "Bang Andre yang kerja sekarang, Alhamdulillah, Kak dia udah dapet hidayah," imbu Rita antusias.
Fara menghembuskan nafas lega, akhirnya ia bisa terhindar dari adik iparnya yang tak sopan itu.
"Alhamdulillah, aku ikut seneng," sahut Fara tersenyum.
"Ma, Papa berangkat ya!" Suara yang sangat familiar di telinga Fara.
Segera Fara menoleh, dan benar saja, itu suara Andre. Ia tersenyum pada Fara, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa diantara mereka. Fara dengan cepat menguasai diri, dan sekedar berbasa-basi.
"Kerja dimana, Ndre?" tanya Fara yang sudah meremas tangannya dari tadi.
"Di Telkom, Kak. Alhamdulillah ada lowongan kerja disana. Ya udah, aku berangkat dulu, Kak," pamit Andre pada Fara.
"Hati-hati ya, Pa!" ucap Rita mencium punggung tangan Andre.
Rita menoleh pada Fara, "Yuk, Kak berangkat," ajak Rita sambil menggandeng tangan Fara, sedangkan anak-anak berjalan di depan.
Untung saja jalan yang mereka lalui hanyalah sebuah gang, yang hanya dilintasi motor. Itupun mereka harus hati-hati, karena jalanannya sudah banyak yang berlubang dan terdapat beberapa polisi tidur.Sepanjang perjalanan ke sekolah, Rita tak henti-hentinya menceritakan perihal Andre yang akhirnya mau bekerja kembali. Karena semenjak menikah dan terkena PHK, Andre sama sekali enggan bekerja.
"Aku gak nyangka banget, Kak, akhirnya Bang Andre mau kerja lagi. Buah kesabaran aku kali ya, Kak?" ujar Rita antusias.
"Iya, Ta. Aku juga seneng dengernya, akhirnya yang nyari nafkah tulang punggung, bukan tulang rusuk," ujar Fara sedikit bercanda.
"Kak Fara bisa aja! Aku juga udah capek, Kak jadi gunjingan orang. Gara-gara aku yang kerja, terus Bang Andre yang di rumah," keluh Rita dengan muka yang sulit diartikan.
Tak terasa, langkah kaki mereka sudah menginjak pelataran sekolah.
"Waaah, Mama Nuri sekarang nganter ke sekolah, ya?" tanya Cindy, wali murid yang paling periang.
Rita hanya tersenyum tanpa ada niatan untuk menjawab. Ibu-ibu wali murid yang lain sudah hafal dengan perangai Rita, yang terkenal sedikit angkuh. Saat sedang berbincang bersama ibu-ibu yang lain, HP Fara berbunyi. Ia merogoh HP-nya di saku celana, kemudian membaca pesan yang tertera di layar.
"Dia lagi," gumam Fara.
Fara yang enggan membaca isi pesannya langsung memasukkan kembali gawainya ke saku celana. Namun, seolah tahu jika Fara tak membaca pesannya, Andre terus saja mengirimi Fara pesan.
Sebenarnya Fara risih, tapi mau bagaimana lagi? Ingin berceritapun tak ada tempat untuk mengadu. Dengan sangat terpaksa, Fara akhirnya menon-aktifkan HP-nya untuk sementara waktu, guna menghindari 'teror' dari Andre.
"Huft ... Selesai juga kerjaan rumah. Enaknya ngapain ya?" Fara memindai seisi rumah yang sudah rapi, sambil meregangkan otot-otot legannya.
Akhirnya Fara mengambil ponselnya yang tergeletak di atas kasur. Ia mulai meng-aktifkan kembali ponselnya, dan langsung berselancar di aplikasi biru.
Fara mulai membaca status teman-temannya yang berseliweran di beranda. Namun ada satu hal yang menarik perhatian Fara, ia tak sengaja menangkap satu nama yang rasanya sudah tak asing baginya.
"Yuda Hermawan ... ?" lirih Fara.
BAB 7Yuda Hermawan.Ya, Fara ingat. "Dia, kan, dulu pernah suka sama aku," ujar Fara mengenang masa-masa sekolahnya dahulu. Yuda, seorang anak laki-laki yang dengan terang-terangan menyatakan cinta pada Fara, pada zaman SMA."Konfirm jangan, ya?" gumam Fara. "Konfirm aja, deh! Kan udah masa lalu juga," imbuhnya.Tangan Fara gatal untuk tak men-stalking profil Yuda. Fara baru tahu jika Yuda ternyata tinggal di Kota Metropolitan juga, sedangkan istri dan anaknya tinggal di kampung."Makin keren aja, dia sekarang," ujar Fara saat melihat foto-foto Yuda yang diunggah beberapa minggu lalu. Ternyata Yuda cukup aktif di sosial media membagikan kesehariannya.Pikiran Fara membawanya mengembara ke belasan tahun silam. Di mana ia dan Yuda sedang sayang-sayangnya, dan kisah kasih mereka harus kandas karena Yuda memilih melanjutkan pendidikan di Jakarta.Fara mengubah posisinya dari duduk menjadi tengkurap. Posisi seperti orang yang sedang dimab
"Pesan dari siapa?" tanya Dika dengan tatapan tajam.Fara yang ditatap seperti itu menjadi salah tingkah. Dengan cepat, Fara mencari alasan agar suaminya tak curiga."Dari Raisa, katanya besok dia mau ke sini, mumpung libur," kilah Fara dengan degupan jantung yang saling berpacu. Takut jika Dika sadar Fara telah berbohong.Dika menatap mata Fara intense. Ia bisa merasakan jika istrinya itu berbohong, tapi sayangnya kebohongannya itu tak terlihat. Dika tidak menemukan kebohongan dari sorot mata Fara."Ooh ...," singkat Dika lalu beranjak ke kamar mandi.Ketika pintu kamar mandi tertutup sempurna, barulah Fara bisa bernafas lega. Segera ia mengatur nafasnya agar kembali normal, lantas ia me-log out aplikasi birunya.Setelahnya, Fara pergi ke dapur untuk merebus air guna membuat kopi hitam kesukaan Dika. Dika tak akan mau meminum kopi dari air termos, 'kurang nikmat' katanya. Selesai urusan kopi sang suami, Fara gegas mengerjakan tugas rumah la
Fara terkejut ketika sang suami menantangnya untuk membuktikan kebenaran ucapannya. Wanita itu nyaris terbawa emosi. Namun, dengan cepat ia menguasai diri. "Siapa takut?" Akhirnya, mereka semua berkumpul di rumah Rita selepas Isya. Tak hanya keluarga Dika dan Andre, tetapi Lina, kakak mereka yang tinggal di Bekasi pun turut hadir setelah dihubungi Dika. "Macam sidang keluarga," batin Fara melihat orang-orang yang duduk melingkar di atas karpet yang terlihat masih baru. Sedangkan anak-anak disuruh bermain di kamar, karena fasilitasnya lumayan lengkap. Hening. Semua tampak sibuk dengn pikiran masing-masing. Andre yang duduk di sebelah Rita, tetap saja mencuri pandang pada Fara, dan tertangkap oleh penglihatan Lina. Lelaki itu masih belum mengetahui, untuk apa mereka berkumpul. "Ehm ...." Lina berdehem sebelum memulai berbicara, ia merasa memang ada yang harus diluruskan diantara adik-beradiknya. "Fara ... Dika bilang sama saya kalo Andre sering
"Aku gak tahan lihat Fara, tubuhnya menggoda!" ucap Andre jujur. Saat mendengar pengakuan adik iparnya, dada Dika bergemuruh. Ia tak bisa menahan amarahnya pada lelaki yang mengaku tergoda oleh kecantikan dan juga kemolekan tubuh istrinya. Jika sekali lagi Andre memberikan shock terapi, bisa-bisa Risa tak sadarkan diri. "Kamu mau berubah, enggak?" tanya Lina tegas. Andre mengangguk. "Aku minta maaf, Kak," ujar Andre pada Lina. "Bukan ke saya, tapi ke Fara, Dika, sama Rita," ucap Lina, terlihat sekali ia ingin menyatukan keluarga adiknya. Sebagai anak tertua, ia mempunyai tanggung jawab menjaga kerukunan keluarga besarnya. Andre menatap Fara, kakinya mulai bergerak maju mendekati Fara. Namun, belum sampai ia ke hadapan Fara, Dika menghadangnya. "Gak usah deket-deket sama Fara!" seru Dika. "Aku minta maaf, Kak," ujar Andre pada Fara tanpa berjabat tangan. Tak ada kata yang terucap. Hening. Hanya isak tangis Rita yang terd
[Kalo kamu lagi sedih, hubungi aku aja.] Senyum Fara mengembang membaca balasan pesan yang kesekian dari Yuda. Hatinya yang hampir beku, seketika menghangat. Yuda bagai mood booster bagi Fara untuk saat ini. Ketika malam menyapa, Dika yang baru saja sampai di rumah, disuguhkan dengan pemandangan yang sangat indah. Istri dan anaknya yang sedang terlelap adalah lukisan yang paling indah yang Tuhan ciptakan untuknya. Fara terjaga ketika mendengar suara lemari terbuka. Didapatinya sang suami sedang berganti baju usai membersihkan diri. Fara terperanjat, dan segera bangun untuk membuatkan segelas kopi hitam panas. "Maaf, Ibu ketiduran," ucap Fara meletakkan gelas di atas karpet, kemudian duduk di sebelah Dika. Dika yang sedang meluruskan pinggangnya bangun. Ia terpana melihat Fara yang menurutnya begitu menarik malam ini. "Ayah juga lupa bilang, kalo hari ini lembur," sahut Dika menyesap kopinya, sambil matanya menatap Fara. Dika berfikir j
Bagai disambar petir, Fara yang tengah memegang panci dan menuang air panas ke dalam gelas untuk menyeduh kopi pun terkejut saat mendengar permintaan sang suami, hingga air dalam panci yang sedang ia tuang tumpah."Kamu kenapa, Bu?" tanya Dika ketika ia melihat air dalam panci itu tumpah."Gak kenapa-kenapa, kok, Yah," sahut Fara sambil meringis, karena terkena cipratan air panas."Ibu ...," teriak Reza membuat Fara tersadar."Iya, Ibu di dapur, Nak!" sahut Fara sambil mengaduk kopi hitam Dika. "Ibu ke depan dulu, ya, Yah," pamitnya tergesa pada sang suami.Fara bisa bernafas lega karena kali ini bisa menghindar dari Dika. Dika hanya memperhatikan Fara dari belakang sambil menyesap kopinya. "Ada yang perlu diselidiki, nih!" gumam Dika."Bu, lihat nih, Eza dikasi makanan banyak banget sama Tante Cacha!" seru Reza kegirangan."Banyak amat belanjanya, Sa?" tanya Fara memindai dua kantong plastik besar bertuliskan minimarket berlogo lebah
"Dari kapan, sih, HP Ibu dikunci segala?" tanya Dika mendapati ekspresi Fara yang berubah."Gak usah dikuncilah Bu, HP-nya. Biar kalo Ayah butuh tuh gampang," lanjutnya.Fara yang tengah membuat nasi goreng menghentikan aktifitasnya dan mendengarkan penuturan sang suami. Fara hanya terdiam tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dika yang melihat istrinya terpaku, hanya mendesah dan berlalu ke kamar mandi."Ayah buka-buka HP Ibu?" ketus Fara tak senang, saat Dika berjalan melewatinya."Iya," jawab Dika dengan entengnya sambil menyilangkan tangan di dadanya.Tatapan tak suka jelas tersirat di wajah cantik Fara yang tanpa polesan make up. "Biasanya juga Ayah gak suka buka-buka HP Ibu, kok!" ujar Fara menyelidik.Dika tampak gugup, tetapi sebisa mungkin ia menutupi kegugupannya itu. "Mau minta hotspot," singkat Dika.Fara melanjutkan kembali acara memasaknya. "Baru sekarang Ibu denger Ayah gak punya kuota, aneh! Biasanya juga sebelum kuota a
Betapa terkejutnya Dika, ternyata nomor tak dikenal itu sering menghubungi Fara. "Banyak juga percakapan mereka. Aku harus cari tahu siapa si anonim itu!" geram Dika sambil mengepalkan tangan.Tak hanya aplikasi berlogo telepon, Dika juga mengecek aplikasi berwarna biru. Ternyata percakapan mereka berawal dari sana. Tak mau kecolongan, Dika segera men-stalking akun yang bernama Yuda Hermawan tersebut. Dika baru mengetahui ternyata Yuda adalah teman Fara semasa sekolah dahulu."Hhmm ... pinter banget nyembunyiinnya, Bu," gumam Dika yang masih mencari info seputar kedekatan istrinya dengan temannya itu.Dika segera mengirimi Yuda pesan melalui inbox, agar ia berhenti menghubungi Fara. Setelah memastikan pesan terkirim, Dika menghapusnya kembali. "Yang udah jadi milik aku, gak boleh dimiliki orang lain," lirih Dika kemudian menyimpan kembali ponsel Fara.Beberapa hari setelah Dika mengirimi inbox pada Yuda, Fara terlihat murung. Dika berfikir, mungkin Yuda m