Kapokmu Kapan, Mas? (32)Tekadku sudah bulat. Aku harus membalas perbuatan Bang Robi!Aku sadar, balas dendam dengan keadaan seperti yang kualami sekarang ini bisa dibilang mustahil. Tanpa sepeser pun uang. Terlebih dengan kondisi fisik yang sudah tak sempurna.Namun, tekadku sudah kuat. Aku tidak akan mundur. Aku akan tetap membalaskan dendam ini bagaimana pun caranya.Berhari-hari aku merenung. Berbagai cara dan langkah kupikirkan dengan matang. Rencana balas dendam ini harus berhasil walau tanpa modal. Aku yakin aku pasti bisa!Akhirnya aku mempunyai ide. Aku akan menghancurkan Bang Robi lewat pekerjaannya. Untuk itu, aku membutuhkan persiapan yang matang.Mula-mula, aku meminta Nining mengajariku teknik make-up artis yang dia kuasai. Syukurlah, aku yang sudah mempunyai sedikit dasar pengetahuan akan itu lebih mudah untuk memahami apa yang diajarkannya. Hanya butuh waktu tiga hari, aku sudah bisa merias wajahku sesuai yang kuinginkan. Aku bahkan bisa menduplikat wajahku mirip denga
Kapokmu Kapan, Mas? (33)Kukumpulkan semua informasi tentang Bang Robi dari menguping pembicaraan karyawan kantor saat aku sedang menjalankan pekerjaan. Bang Robi begini. Bang Robi begitu. Semua kucatat dalam ingatan. Rupanya tak terlalu banyak perubahan pada diri Bang Robi selepas tiga bulan kami tak bersama.Bulan pertama aku bekerja di kantor Bang Robi, aku belum juga bisa mencari celah untuk masuk ke ruang kerjanya. Ruang kerja Bang Robi selama ini hanya boleh dimasuki orang-orang tertentu. Bahkan, office boy atau cleaning servisnya pun ada orang khusus. Jadi, ya, wajar bila aku agak kesulitan menjamah tempat itu. Terlebih, aku adalah karyawan baru di perusahaan itu.Satu bulan kerja di kota, aku sudah dua kali pulang ke rumah Emak. Beliau dan Nining selalu menelepon menanyakan kabar. Hal itu membuatku merasa tersentuh dan ingin cepat-cepat bertemu mereka setiap libur tiba. Kebetulan, setiap dua minggu sekali aku diberi jatah libur tiga hari. Jadi aku memanfaatkannya untuk melepas
Kapokmu Kapan, Mas? (34)Aku benar-benar penasaran dengan acara di masjid sorenya itu. Jadi, setelah selesai makan, aku segera pamit pulang. Aku ingin bersiap-siap untuk melakukan pengintaian lebih lanjut."Terima kasih banyak, Bu. Saya pamit dulu," ucapku saat Kak Elfa mengantar sampai depan pintu."Hati-hati, ya, Mbak.""Iya, Bu. Permisi."Aku berlalu dari rumah itu dengan perasaan tak menentu.Dari sana, aku langsung pulang ke indekos. Aku segera mengganti penampilan untuk melakukan pengintaian selanjutnya. Kalau benar apa yang kuduga tentang Bang Robi dan Miska, aku akan memberi pelajaran untuk mereka saat itu juga!Aku berganti pakaian dan riasan. Lantas bergegas menuju masjid yang letaknya tak jauh dari rumahku tadi. Aku yakin acara yang Kak Elfa maksud adalah di masjid itu. Sebelum pulang, aku sempat melihat beberapa orang sibuk memasang tiang-tiang tenda.Aku sampai di masjid tepat saat azan Ashar berkumandang. Karena aku sedang berhalangan, aku menunggu di luar masjid sambil
Kapokmu Kapan, Mas? (35)Ira. Betul itu Ira! Aku yakin seratus persen bahwa wanita yang sedang berjalan berbelok ke arah toilet bioskop itu Ira."Pak, saya izin ke toilet sebentar, boleh, kan? Bapak antri sendiri dulu, gak papa, kan, Pak?" Aku bertanya ragu-ragu pada Pak Arsyad.Berkali-kali aku membuang pandang pada arah kepergian Ira dengan cemas. Ini kesempatan emasku. Tidak boleh aku sia-siakan begitu saja!"Boleh, dong, Ning. Silakan aja, saya tunggu di sini, ya. Atau nanti kalau udah selesai antri, saya tunggu depan toilet. Biar gak ilang." Seperti biasa, Pak Arsyad selalu melontarkan senyum ramahnya setiap kali berbicara denganku."Iya, Pak. Permisi."Aku langsung berjalan cepat menuju toilet bioskop tempat tadi kulihat Ira memasukinya. Semoga saja aku tidak bersisian dengannya.Aku langsung masuk ke toilet dan mendapati tempat itu penuh sesak oleh beberapa wanita yang sedang mengantre bilik toilet di dalam ruangan itu. Tak kulihat Ira di antara orang-orang yang sedang mengantr
Kapokmu Kapan, Mas? (35b)Bagaimana aku tidak tertarik akan kemunculan Ira. Selama dua bulan aku kembali ke kota, aku sama sekali tak mendapati jejaknya. Nomor ponsel dan tempat tinggalnya sudah berganti. Beberapa orang yang kuketahui berhubungan dengannya pun mengakui kehilangan jejaknya. Lalu, dengan tiba-tiba aku aku melihatnya di tengah kerumunan pengunjung bioskop. Siapa yang tidak terkejut?Kami selesai makan tepat saat azan Magrib berkumandang."Temani saya ke masjid di atas dulu, ya, Ning. Bisa, kan?" tanya Pak Arsyad."Bisa, Pak."Kebetulan, saat itu aku sedang berhalangan. Jadi aku hanya menemaninya ke masjid di atap gedung mall saja. Lagipula, aku sedang menggunakan make-up menyerupai wajah Nining. Bisa ketahuan penyamaranku kalau nantinya aku menghapus make-up untuk bersuci sebelum melakukan ibadah wajib.Sampai di atap gedung, kami berpisah. Pak Arsyad berjalan menuju tempat salat pria. Sementara aku menunggunya di deretan kursi taman di sisi lain masjid.Sedang asyik men
Kapomu Kapan, Mas? (36)Ira menatapku dengan ekspresi panik."Gimana, nih, Ti?"Aku menggeleng. Bingung harus memberi solusi apa."Tadi pas aku berangkat remnya baik-baik aja, kok," katanya lagi.Kami tidak mungkin meneruskan perjalanan dengan kondisi rem blong seperti itu.Dalam kebimbangan, aku tak henti berdoa. Lalu, tiba-tiba sebuah ide muncul begitu saja."Ra, coba masuk ke lahan parkir sana!" Aku menunjuk lahan parkir lantai bawah atap gedung. Untunglah ketahuan rem blong kami masih berada dalam lahan parkir. Entah apa jadinya kalau kami sudah berada di jalan raya ketika baru sadar rem mobil Ira blong.Ira menuruti perintahku. Kami akhirnya masuk ke lahan parkir yang agak kosong. Di sana Ira berusaha mengendalikan mobilnya dan menurunkan gas pelan-pelan sampai akhirnya mobilnya bisa berhenti dengan sempurna."Kayaknya aku masih diincer, Ti," ucap Ira saat mobil benar-benar berhenti."Maksudnya, Ra?" Aku bertanya."Kayaknya orang-orang itu masih ngincer aku, Ti. Kalau kayak gini,
Kapokmu Kapan, Mas? (37)Ira. Bagaimana keadaannya? Apakah kebakaran terjadi di unit Ira? Lututku lemas ketika membayangkannya.Aku cepat-cepat menuju bagian depan gedung. Kulihat banyak orang dievakuasi. Akan tetapi, aku tak melihat Ira maupun Pak Arsyad.Aku semakin panik. Ingin rasanya aku masuk ke dalam gedung itu untuk memeriksa keadaan mereka. Sayangnya, baru juga beberapa langkah maju, tubuhku ditahan seseorang."Mbak ... gak boleh ke sana! Bahaya," kata orang itu.Aku bergeming. Lututku semakin seperti tak bertulang saat melihat kobaran api yang semakin besar. Api yang awalnya berasal dari bagian belakang apartemen, dengan cepat merambat ke sisi depan gedung itu.Tak butuh waktu lama tim pemadam kebakaran datang. Mereka dengan sigap mengevakuasi para penghuni apartemen. Aku berusaha mencari keberadaan Ira dan Pak Arsyad di antara orang-orang yang berhasil dievakuasi. Nihil. Mereka tidak ada di sana.Malam semakin larut. Aku tidak bisa berlama-lama di lokasi apartemen Ira. Aku
Kapokmu Kapan, Mas? (37b)"Kamu ngapain di rumah sakit?" tanya Pak Arsyad ketika kami sudah di dalam mobil."Saya nyari sodara saya, Pak.""Oh ....""Tadi malam apartemen tempat sodara saya kerja kebakaran. Saya lihat di tivi. Saya takut dia kenapa-kenapa. Makanya saya langsung cari info ke sini.""Oh, saudara kamu kerja di apartemen tempat saya tinggal?"Aku menatap Pak Arsyad."Bapak tinggal di apartemen itu juga? Bapak gak kenapa-kenapa, kan?" Aku pura-pura panik. Ya ... memang aku panik tadinya."Kamu khawatirin saya?" Pak Arsyad bertanya dengan nada menggoda."Pak ... saya lagi gak bercanda, loh.""Iya, saya tinggal di sana. Semalam saya sempat pulang. Tapi langsung keluar lagi karena Mama telpon minta saya tidur di rumah beliau.""Terus, tadi Bapak kenapa tidak masuk kerja?"Pak Arsyad tak menjawab. Cukup lama pria itu diam sampai akhirnya aku mengerti. Dia marah karena aku berulang kali memanggilnya dengan panggilan seperti di kantor. Padahal berkali-kali dirinya meminta dipang