"Dek, apa benar kamu bertengkar dengan mamanya Elisa?" tanya bang Arman saat kami dalam perjalanan pulang.
"Sebenarnya bukan bertengkar, bang. Aku hanya menuruti keinginan Abang untuk menjaga harta kita dari orang yang ingin menjarahnya," ucapku. "Apa Abang marah?" tanyaku cemas.Bang Arman tertawa lepas. "Kenapa harus marah, dek? Yang kamu lakukan itu sudah betul. Abang yakin dia tidak akan berani datang lagi ke toko kita," ucap bang Arman masih sambil tertawa. "Abang bangga padamu, dek!"Aku tersenyum senang. Alhamdulillah, bang Arman senang dengan tindakan aku tadi siang. Jika sudah begini, aku akan semakin percaya diri menghadapi mantan istri bang Arman.***"Dek, hari ini kita tidak ke toko. Kakak sepupu Abang ada acara nikahan. Anaknya yang paling besar sudah dilamar. Kita kesana pagi ini," kata bang Arman ketika kami baru selesai sarapan."Sekarang hari pestanya, bang?" tanyaku sambil menumpuk piring kotor."Bukan. Hari ini masak-masak dulu. Tidak banyak masak-masaknya, dek! Paling buat cemilan dan sayur tambahan. Untuk makanan berat, mereka pakai jasa catering di rumah makan," jelas bang Arman."Jadi kapan acara akadnya, bang?""Acara akadnya besok, sekalian resepsi.""O, gitu. Jadi tokonya tutup, bang?" tanyaku."Tidak. Kan ada Rindi sama Anton. Kalau di blok F, masih ada Maya dan Haris," jelas bang Arman."Kalau gitu, aku siap-siap dulu ya, bang. Kita berangkat sekarang, kan?""Iya. Abang panaskan mobil dulu.""Kita pakai mobil sekarang, bang?" aku bertanya takjub. Sejak kami menikah, bang Arman belum pernah sekalipun mengajakku jalan-jalan dengan mobil. Karena kesibukan kami, kami bahkan belum sempat bulan madu seperti yang dijanjikan bang Arman sebelumnya padaku."Iya, dek. Siapa tahu ada yang bisa kita bantu. Kalau dengan mobil lebih leluasa membantunya," jelas bang Arman.Aku kemudian ke kamar buat berganti pakaian.***Kurang lebih empat puluh lima menit, kami sudah sampai di rumah kakak sepupu bang Arman. Disana sudah banyak orang yang datang. Mereka semua kerabat bang Arman dan juga tetangga sekitar.Aku mencoba bersikap ramah dengan menebarkan senyum. Banyak diantara mereka membalas senyumanku. Aku lega, keluarga bang Arman ternyata ramah dan mau menerimaku."Assalamualaikum," sapaku."Waalaikumsalam," para ibu dan orang tua yang ada di situ membalas salamku."Ini istri baru Arman ya?" tanya seorang ibu berperawakan gemuk padaku. Ia tersenyum ramah padaku."Iya, Bu!" sahutku."Bagaimana Wak, istriku cantik, kan?" puji bang Arman di depan keluarganya.Aku tersipu malu."Iya. Pandai si Arman cari istri. Istri yang sebelumnya juga cantik." Ibu berkerudung hijau ikut memberi komentar. Namun komentar itu membuat senyum di wajah bang Arman menghilang. Aku pun menjadi tidak nyaman."O, iya, Man! Mantan istri kamu ada di sini. Dia datang bersama Elisa dan Ridho," beritahu seorang ibu lainnya.Wajah bang Arman menegang seketika. Ia memilih untuk berpamitan dari hadapan ibu-ibu itu. Para ibu diam dan saling pandang. Aku sendiri merasa mulai tidak nyaman. Belum hilang rasa tidak nyaman itu, orang yang membuatku tidak nyaman tahu-tahu sudah datang dan langsung bergabung dengan ibu-ibu. Ia bersikap sok akrab dan menyalami mereka satu persatu. Semua ditanya kabarnya. Lagaknya sudah seperti calon wakil rakyat yang sedang kampanye. Ia sengaja melewatkan ku dan justru menyalami ibu yang berdiri di sampingku.Aku menghela nafas berat. Rasanya ingin menghilang dari situasi canggung ini."Wah, sudah lama tidak ketemu ya, Hani!" sapa seorang ibu pada mantan istri bang Arman. Saat itulah aku baru tahu kalau nama wanita itu Hani."Maklum, Bu. Belakangan ini saya memang sibuk bisnis. Usaha toko kelontong saya lumayan maju. Alhamdulillah, saya bisa mengumpulkan uang untuk membeli perhiasan ini," Hani memperlihatkan kalung dan gelang emas yang di pakainya.Para ibu menatap kagum pada perhiasannya. Tatapan iri terpancar di wajah mereka."Enak ya, Ni. Justru setelah bercerai dari Arman, rezekimu mengalir deras," puji seorang ibu.Hani tersenyum bangga. "Ah, ibu. Bisa saja!" Ia pura-pura merendah."Hani, kamu kenal tidak, siapa yang berdiri di sampingmu itu?" seorang ibu yang lain bertanya pada Hani.Aku terkesiap. Mereka sedang menyinggungku sekarang. Hani menatap sinis padaku."Tidak tahu ya, Bu. Apa dia ini asisten rumah tangga baru punya Kak Ida? itu lho, yang dibawa dari kampung." Hani sengaja menekankan pada kata "asisten rumah tangga". Ia sengaja melakukan itu untuk mempermalukan aku.Aku terdiam. Aku bingung, bagaimana harus menanggapi sikapnya. Aku tidak mau membuat keributan di rumah orang lain. Apalagi saudara sepupu suamiku sendiri. Aku tidak mau hal ini akan mengganggu kenyamanan keluarga yang ada di sini. Aku memutuskan untuk pura-pura tidak mendengar ucapan pedas Hani.Aku berjalan ke dapur dan meninggalkan Hani yang sudah bersiap membicarakan kejelekanku di hadapan para ibu itu.Aku memilih membantu para ibu yang lebih tua mengupas bawang. Mereka terlihat lebih ramah dan sederhana. Kami langsung cepat akrab dan bisa bercanda sambil mengerjakan pekerjaan dapur itu."Alhamdulillah, si Arman menikahi kamu, Yun. Mantan istrinya yang dulu, mana mau menginjakkan kakinya di dapur. Datang ke sini, kerjaannya kalau tidak pamer ya sibuk menjelek-jelekkan orang lain," ucap wanita tua yang ternyata adik ibu mertuaku. Ia menyuruhku memanggilnya 'etek'."Yun, tadi kamu bertemu dengannya di luar?" tanya etek dengan berbisik."Iya, tek," jawabku sambil mengaduk kacang tanah yang sedang di goreng."Apa dia menyinggungmu?"Aku hanya tersenyum untuk menjawab pertanyaan etek."Ah, pastilah dia begitu. Sama orang yang tak dikenal saja, dia sudah seperti ulat bulu. Meresahkan umat. Apalagi sama istri mantannya. Pastilah sudah kebakaran jenggot dia sekarang. Itu salah dia sendiri. Sudah di beri hidup enak, nyaman. Eh, malah selingkuh sama anak muda." ucap etek semangat. "Betul kan, Dar?" tanya etek pada wanita sebayanya yang duduk di sampingnya."Iya, Nur. Kau sudah mengatakannya hingga ratusan kali. Sudah mau berasap telingaku mendengarnya," ucap perempuan tua yang dipanggil Dar oleh etek.Etek tertawa terkikik. "Biar hafal kau nanti. Biar kau tidak salah memilih istri untuk anakmu nanti. Jangan pula kau pilih yang kayak ulat bulu. Pilih seperti menantuku ini, si Yuni!"Mendengar pujian etek membuat aku tersipu. "Ah, etek ini senangnya memuji, ya!""Bukan memuji, Yun. Kenyataan ini!" tukas etek dengan wajah serius yang terlihat lucu bagiku. Aku hanya menanggapinya dengan senyuman.Aku sudah mau menutup tokoku ketika Elisa datang. "Mana uangku?!" tanyanya dengan ketus. Aku menatap bingung padanya. Uang apa yang dia maksud. Aku menunggu ia menjelaskan uang apa yang dia pinta. Namun, Elisa hanya menggoyang-goyangkan tangannya tanda ia tidak sabar. "Uang apa?" tanyaku bingung. Ia mendelik menatapku. Aku memilih untuk mengabaikannya dan terus melanjutkan membantu Rindi dan Anton menutup toko. Elisa menjadi marah. Ia menarik tanganku hingga aku terdorong ke belakang. Melihat itu, Anton dan Rindi menoleh padanya. Wajah mereka tampak geram. Anton berniat membantuku, namun Rindi menarik tangannya dan geleng-geleng kepala. Anton kembali melanjutkan tugasnya menutup toko. "Lo jangan pura-pura bodoh, deh! Jangan mentang-mentang lo udah jadi bini bapak gue, lo bisa menguasai duit bapak gue! Gue nggak akan biarkan itu! Tahu nggak, lo?!" hardiknya kasar. Mataku melebar menatap gadis belia ini. Wajah cantiknya tidak sesuai dengan sikap buruknya. "Aku sudah nanya, uang
"Lima juta, pa!" ucap Elisa lirih. "Apa?!" Mata bang Arman terbelalak mendengar angka yang cukup besar itu. Elisa mendongak menatap papanya. "Iya, pa. Itu sudah termasuk biaya pesawat dan penginapan. Pa, apa aku bilang saja sama wali kelas aku kalau aku tidak jadi ikut?" ucapnya dengan wajah memelas."Kenapa?""Uang itu terlalu besar. Aku bilang saja, jika uang papa tidak cukup. Aku nggak mau dibilang anak tidak tahu di untung," ucap Elisa seraya melirik sinis padaku. "Jangan!" ucap bang Arman cepat. Dia kemudian merogoh kantong di tasnya. Ia mengeluarkan lembaran uang ratusan ribu. Ia menyerahkan pada Elisa. "Ambillah! Ikuti studi tour itu!" ucap bang Arman.Mata Elisa berbinar senang. Ia kemudian memeluk papanya. "Terima kasih, papa. Terima kasih! Tadinya Elisa pikir, papa berubah jika sudah punya istri lagi. Elisa takut papa mengabaikan Elisa dan bang Ridho." "Sampai kapanpun, kamu dan Ridho adalah anak papa. Papa tidak mungkin mengabaikan kalian demi orang lain," ucap bang Arm
Bang Arman menguraikan pelukannya. Ia menatap wajahku dengan tatapan memohon. "Bisakah adek memaafkan, Abang?" tanyanya penuh harap. Aku mengangguk. Ya, dia sudah minta maaf dan aku memaafkannya. Lagi pula tidak baik mengabaikan permintaan maaf seseorang apalagi dari suami sendiri. Wajah sendu bang Arman berubah ceria kembali. Ia tersenyum lebar padaku dan kembali memelukku. "Terima kasih, dek! Hati Abang lega sekarang," ucapnya. Wajahku masih kaku. Sulit bagiku tersenyum ketika hatiku masih sakit. Ya, meskipun aku memang sudah memaafkan bang Arman. Tapi aku butuh waktu untuk kembali bersikap ceria di depannya. "Adek mau makan mie instan?" tanya bang Arman seraya menatapku penuh perhatian. Mendengar pertanyaan bang Arman, aku jadi ingat dengan perutku yang berbunyi dari tadi. "Abang lapar?" tanyaku. Bang Arman mengangguk. "Karena itu Abang buat mie tadi," ia tersenyum. "Adek mau? Biar Abang buatkan," ucapnya. "Tidak baik makan mie malam-malam, bang. Jika Abang mau, aku akan b
"Mau apa kalian ke sini?!" tanya Anton ketus ketika melihat wajah kami. Bang Arman menelan ludah karena merasa tidak enak hati. Ia berusaha tersenyum meskipun terlihat kaku. Sedangkan Anton tetap memperlihatkan raut wajah tidak bersahabat. "Abang....Abang boleh masuk, Ton?" tanya bang Arman berusaha bersikap ramah. Anton hanya mendengus. Ia melipat kedua tangannya di dada tanpa menjawab pertanyaan bang Arman. Bang Arman menghela nafas berat. Sebenarnya ia sudah merendahkan dirinya untuk datang ke sini dan minta maaf. Bang Arman benar-benar menyesal dan mengaku salah. Sehingga ia bisa memaklumi sikap Anton padanya. "Begini, Ton. Abang sudah tahu cerita yang sebenarnya. Abang ke sini mau minta maaf sama Anton karena percaya begitu saja dengan fitnahan anak Abang. Abang tidak mengecek dulu kebenarannya melalui CCTV." Bang Arman menatap Anton dengan wajah penuh harap.Anton hanya diam tanpa ingin menanggapi. "Abang juga membawa Elisa bersama Abang." Bang Arman menarik tangan Elisa ag
Aku sangat bahagia. Aku mengirim pesan pada ibu jika bang Arman akan membayar ongkosnya ke Jakarta. Ibu sangat terkejut dan menolaknya. Ia bilang, ia merasa malu pada bang Arman. Aku mengatakan jika bang Arman memaksa untuk membayarkan ongkos ibu. "Bang, ibu bilang ia sangat berterima kasih pada Abang," laporku. Bang Arman tertawa kecil. "Ada-ada saja ibu ini. Masak seorang anak mengiriminya ongkos, dia pakai berterima kasih segala," tukasnya. Aku tersenyum bahagia melihat ketulusan suamiku pada ibu. ***"Sudah ditransfer uang untuk ibu, dek?" tanya bang Arman siang itu. "Belum, bang. Masih banyak pembeli. Tunggulah! Sebentar lagi!" sahutku sembari membungkus barang yang dibeli pelanggan. "Sudah! Biar Abang yang melayani pembeli. Kamu pergi sekarang mentransfer uangnya. Jangan biarkan ibu terlalu lama menunggu! Transfer sekarang! Biar ibu bisa langsung membeli tiket pesawat hari ini," jelas bang Arman panjang lebar. "Baik, bang! Kalau begitu aku pergi dulu." Bang Arman mengang
Untuk sementara Yudi tinggal bersamaku dan bang Arman sampai dia mendapatkan tempat kos di sekitar lokasi Tanah Abang. Besoknya, Yudi langsung bekerja di toko yang ada di blok A sebagai pengganti Anton. Sementara itu, aku tetap di rumah untuk menemani ibu. Bang Anton sendiri yang memintaku untuk menemani ibu sampai beliau kembali ke kampung. Aku sangat senang mendengarnya. Aku bisa melepas kerinduanku sepuasnya dengan ibu. Lagi pula aku sedikit lega karena sudah ada Yudi di toko. "Yun, ibu lihat Arman sangat baik padamu. Ibu merasa sangat lega, Yun!" ucap ibu di kala kami memasak untuk makan malam buat bang Arman. Aku tertegun. Iya, bang Arman memang baik. Tapi bang Arman tidak tegas jika itu menyangkut anaknya. Dia sering berlaku tidak adil padaku. Namun kalimat itu aku simpan dalam hati. Aku tersenyum menanggapi perkataan ibu. "Beberapa hari yang lalu, ibu sering melihatmu dalam mimpi. Kamu berjalan pelan menemui ibu. Ibu bisa melihat air matamu. Ibu memanggilmu. Namun kamu cum
Aku tidak terima keluargaku dianggap hanya menghabiskan uang bang Arman. Wajahku tegang. Aku harus mengatakan perihal ini pada bang Arman. Elisa tidak juga kapok sejak dia memfitnahku, sekarang dia malah menghina keluargaku. "Kak?" Yudi menatapku dengan rasa tidak enak hati. "Kak, jangan ceritakan masalah ini pada bang Arman, ya!" pinta Yudi. Aku menoleh padanya. "Kenapa, Yud? Bukankah Elisa sudah menghina kamu?" "Aku tidak mau bang Arman tersinggung. Aku juga tidak mau merusak hubungan kakak dengan bang Arman," ucap Yudi. Kata-kata Yudi membuatku terharu. Aku menundukkan wajahku, menyesali dengan ketidakberdayaan aku. Aku masih ingat, bagaimana bang Arman lebih mempercayai Elisa ketimbang aku saat gadis remaja itu memfitnahku. Aku juga tidak yakin, jika ia akan mempercayaiku kali ini. Aku menangis dalam diam. Yudi terkejut mendengar suara isakku yang pelan. Ia berjongkok di depanku dan meraih tanganku. "Kak! Maafkan aku, kak! Seharusnya aku tidak mengatakan hal ini pada kakak.
"Hani!" gumamku nyaris tanpa suara. Mantan istri suamiku itu berjalan menghampiriku. Wajahnya memandang sinis padaku dan ibu. Ibu terperangah melihatnya. "Aku pikir kamu cuma membawa adikmu saja ke sini. Tidak tahunya kamu juga bawa ibumu!" katanya dengan nada mengejek. "Enak, ya! Punya suami kaya. Bisa jalan-jalan, bawa ibu dari kampung pula!" Ia berbicara sambil menarik salah satu sisi bibirnya untuk menunjukkan jika ia merendahkan kami. "Aku tahu, kamu menikah dengan Arman karena berharap bisa hidup enak, kan? Seperti sekarang ini. Jalan-jalan bersama ibumu untuk menghabiskan uang ayah anakku! Dasar wanita gatal! Sukanya sama suami orang!" Ia menghinaku dengan kata-kata kejam.Wajah ibu terlihat keruh. "Siapa dia, Yun?" bisik ibu padaku. "Mantan istri bang Arman, Bu," jawabku. Ibuku terdiam dan tidak berkata apapun lagi. Ia memilih mengabaikannya. Aku juga mengikuti cara ibuku. "Hei! Diajak bicara malah diam!" Hani mulai gusar. Ia berjalan mendekati lesehan tempat kami duduk.