"Kulo nuwon mas Tukiman..."
"Enggeh Monggo, ada apa pak kusno? Kok dhengaren surup-surup datang kesini? Monggo masuk dulu!""Tidak usah mas, matursuwun. Nyuwun Sewu, saya disuruh Nyai untuk menjemput mas Tukiman untuk datang ke kerumah""Loh ada apa pak? Kon tumben?""Ki Harjo tadi barusan jatuh mas, kena serangan jantung. Nyai menyuruh saya menggil njenengan, katanya Ki Harjo terus nyariin njenengan""Inalilahi, baik pak, tunggu ya saya ganti baju sebentar""Enggeh mas""Pak ikut, mau lihat keadaan eyang""Iya nduk ayo kamu siap-siap sekalian" Tukiman merasa gelisah. Kawatir terjadi sesuatu kepada paklek nya tersebut. Bagaimanapun Ki Harjo adalah satu-satunya keluarga Tukiman yang tersisa, dia menganggap Ki harja adalah pengganti orangtuanya.Melihat Tukiman dan Astutik yang berjalan tergesa menuju kamarHujan mulai turun dengan derasnya, seakan bumi ikut menangis mengiringi kepergian Ki Harjo. Dan melihat betapa dalam Tukiman larut dalam duka kehilangan. Dia bagai seorang anak yang kehilangan arah. Tak tahu harus kemana lagi melangkah.Duka akibat kehilangan orang yang telah merawatnya sedari kecil itu telah mengguncang jiwanya. Lalu kemana lagi kini dia akan mengadu tentang kekecewaan yang dia pendam, siapa lagi yang akan menguatkannya menghadapi kejamnya dunia yang sering tak berpihak kepada dirinya? Dia masih teringat tentang malam mencekam yang telah menewaskan seluruh keluarganya dalam sebuah kecelakaan, yang hanya menyisakan dirinya dan Ki Harjo. Saat itu ketika keluarganya dan keluarga Menik yang juga turut serta, akan menghadiri sebuah undangan kekota dari seorang keluarga Belanda yang cukup berpengaruh waktu itu, kereta yang mereka tumpangi tergelincir dan menyebabkan sebuah kecelakaa
Setelah sekian lama berduka, Tukiman seolah ingin memulai hidup yang baru. Kini dia bukan lagi seorang mandor, tapi kini dia adalah pemilik sah dari setengah dari perkebunan kopi milik mendiang ki Harjo. Tukiman ingin melupakan kesedihannya, ingin mempunyai hidup baru yang lebih indah. Tukiman ingin move on dari masa lalu. Tukiman ingin melupakan kesalahan dan kesedihannya. Tukiman juga berusaha merelakan Menik jika benar dia sudah bahagia. Walaupun tidak mudah, baginya untuk melupakan kekasih hatinya itu, namun Tukiman berjanji berusaha, dan tidak lagi terpuruk dalam kesedihannya sendiri. Tukiman berjanji akan lebih memperhatikan keluarganya yang kini ada bersamanya. Hari ini, Tukiman kembali bangun lebih pagi seperti dulu. Tukiman terlihat lebih ceria, dia memanggil anak-anaknya untuk bisa menikmati sarapan bersama. Ketika sedang menunggu anak-anak, Tukiman memperhatika Sumini yang sedang mempersia
Tukiman tengah menikmati secangkir kopi dipagi hari, aromanya begitu harum hingga menyebar diseluruh ruangan, ini adalah salah satu kopi andalannya. Hari ini dia sedang ingin dirumah saja. Tukiman ingin lebih banyak menghabiskan waktu dengan keluarganya. Tukiman ingin menebus semua waktu yang terlewat. Dia sedang memperhatikan kesibukan anak dan istrinya didapur.Tanpa terasa waktu begitu cepat berlalu.Rasanya masih kemaren dia menimang Astutik yang masih bayi merah, rasanya masih belum lama dia bersorak gembira ketika pertama kali mendengar anak bungsunya tersebut bisa memanggilnya dengan sebutan bapak.Begitu antusias ketika Astutik baru bisa berjalan. Kini anak gadisnya itu sudah beranjak remaja. Dia tumbuh menjadi gadis yang lembut dan juga pintar. Parasnya begitu cantik seperti ibunya, Anak gadisnya itu juga kini begitu terlihat dewasa, dia begitu cakap mengerjakan semua pekerjaan rumah,
Selama apapun seorang ibu pergi, sejauh apapun seorang anak melangkah. Namun tak bisa dipungkiri, rasa sayang yang tersimpan dihati keduanya tak akan pernah mati. Rasa rindu itu tak pernah padam. Astutik menyesap teh panasnya.Melepas penat setelah menyelesaikan seluruh pekerjaan rumah yang begitu besar. kini dia mulai terbiasa, pekerjaan itu tak lagi terasa berat untuknya.Bukankah dulu ibunya juga mengerjakannya sendiri, namun tak pernah mengeluh?Dia duduk dibalik jendela, sambil menatap halaman depan yang memperlihatkan bayangan masa lalu ketika mereka menghabiskan waktu bersama sang ibu. Dulu Astutik kecil sangat suka berlarian disana, bersembunyi dibalik pohon-pohon itu, lalu tertawa cekikikan ketika sang ibu tak kunjung berhasil menemukanya. "Sudah ibu bilang, kamu ini perempuan nduk, jangan lari-lari, jangan sembunyi ditempat yang banyak nyamuknya. Perempuan itu harus bisa menjaga badanya,
Menik tersenyum puas melihat hasil kerja kerasnya selama ini.Dia sudah tidak lagi tinggal rumah jeng Susi. Kini dia bisa menyewa rumah yang lebih besar untuk sekaligus dia jadikan sebagai tempat usaha. Dia yang dulu datang kekota ini hanya bermodalkan tekad dan uang yang tak seberapa itu kini berubah menjadi seorang yang sukses mengembangkan usahanya. Dia yang dulu datang ke satu pintu dan pintu lainnya untuk menawarkan dagangannya, berangkat pagi-pagi buta untuk berbelanja kain, lalu berkeliling jualan ketika matahari diatas kepala, dan dimalam hari ketika yang lain terlelap, dia masih harus menjahit menyelesaikan pesanan.Kini wanita yang dulu dianggap lemah itu sudah bisa berdiri dengan tegak dan mampu mendongakkan kepala. Bahkan sudah mampu menggaji beberapa karyawan, dia sudah berhasil membuka usaha konveksi yang cukup terkenal didaerah tersebut, dengan pelanggan dari berbagai kalangan.
Menik kini memang telah memiliki kehidupan yang jauh lebih baik dari pada dulu. Semua yang dirintis tidak pernah sia-sia, semua usahanya tidak pernah mengkhianati hasil. Dulu bermula dari satu buah mesin jahit bekas, Menik memulai semuanya. Menjahit satu persatu baju milik pelanggan yang membeli kain-kain darinya. Karena hasilnya bagus, akhirnya dari mulut ke mulut nama Menik semakin terkenal. Banyak orang yang sengaja mencarinya untuk menjahit baju mereka. Pesanan mulai menumpuk hingga akhirnya Menik kewalahan. Kebetulan disekitarnya memang banyak ibu-ibu yang tidak memiliki pekerjaan. Setelah pekerjaan rumah selesai, mereka sudah tidak memiliki kegiatan lain. Mungkin hanya main kerumah tetanggga sambil mencari kutu. Menik yang melihat peluang mencoba menawari mereka pekerjaan, dan seperti yang diduga, mereka menerima dengan senang hati. Karena ternyata setelah dijalani, sangat bisa membantu untuk masalah keu
Setelah Tukiman berangkat menuju perkebunan, Sumini pun berangkat menuju rumah Mak Siyem menggunakan sepedah jengki, hadiah dari Tukiman. Kala itu sepedah adalah benda yang masih merupakan hal mewah di desanya. Tidak semua orang memilikinya. Melewati rumah besar peninggalan Ki Harjo yang dibiarkan kosong, seketika membuat hati Sumini meradang. Dulu ketika rumah itu akan ditinggalkan Nyi Saminah, emaknya pernah menawarkan diri untuk menempati rumah itu. Sangat disayangkan jika rumah sebesar itu kosong lalu lapuk tanpa ada yang menghuninya. Namun jawaban mereka sungguh menyesakkan dada. "Lebih baik rumahku lapuk dimakan rayap, dari pada harus kamu kuasai. Sekarang kamu berdalih ingin merawatnya dengan menempati. Namun besok-besok bisa jadi bila aku kembali kamu usir karena sudah merasa berhak memiliki. Aku cukup belajar dari apa yang sudah kalian lakukan kepada keluarga keponakanku. Buktinya setelah kalian datang, ada saja ke
"Astutik sini!" Panggil Mak Siyem kepada Astutik yang terlihat sedang sibuk melakukan sesuatu dikamarnya. Astutik pun datang, meski dia begitu kesal, tapi tak sopan rasanya bila seorang anak muda yang menolak panggilan orang yang lebih tua, seperti apa yang dulu selalu dinasehatkan ibunya, untuk bersikap sopan kepada orang yang lebih tua."Kembalikan perhiasan milik anakku yang kamu ambil!""Seperti apa perhiasan milik anakku yang aku ambil?" Astutik merasa tersinggung, sehingga niatnya untuk bersikap sopan kepada nenek tirinya tersebut menguap begitu saja."Jangan pura-pura bodoh kamu, kamu mengambil perhiasan milik anakku dari kamar bapakmu kan? Jangan mentang-mentang kamu anaknya, sehingga bisa berbuat seenaknya dirumah ini""Tapi maaf Mbah, perhiasan itu adalah milik ibuku, tidak ada hak sedikitpun anakmu mengambilnya dariku! Aku adalah anaknya, jika selama ini anakmu bebas menggunakannya, anggap saja aku berbaik hati meminjamkannya!""Dasar anak kurang ajar, ibumu itu sudah pergi