Mendekati hari pernikahan Saminah, semua terlihat begitu sibuk menyiapkan segala macam keperluan pesta, dari jauh-jauh hari para kerabat dan tetangga sudah saling bahu-membahu membantu dirumah Saminah, ada yang menggoreng bawang ada yang menggoreng krupuk dan membuat aneka makanan ringan yang awet tahan lama, yang biasanya nanti akan Diberikan kepada tamu undangan untuk tuk dibawa pulang. Mak Surti pun menjadi orang yang paling rajin dalam rewang kali ini, dia begitu senang karena keponakannya akan segera menikah, terlebih dia mendengar bahwa calon suami keponakannya tersebut berasal dari keluarga kaya raya, namun entah kenapa sikap lain terlihat dari pak Jarno, lelaki itu menjadi sering terdiam dan melamun, seperti sedang ada yang dipikirkan, pak Jarno sama sekali tidak menunjukkan kebahagiaannya menjelang pernikahan sangat keponakan.Mak Surti selalu mengajak Sumini kecil turut serta untuk rewang, dan anak manis yang tak pernah rewel itu selalu duduk didekatnya dan sangat senang ke
Mursiyem baru saja pulang dari pasar, dia begitu kaget ketika melihat kondisi rumah yang sudah berantakan, pak Jarno dengan beberapa luka dan baju yang koyak, dan mak Surti yang menangis dipojokan. Belanjaan di tangannya jatuh, dia tak perduli. Mursiyem langsung berlari masuk kedalam rumah dan bertanya kepada Pak Jarno dan mak Surti tentang apa yang terjadi, namun mereka hanya menggeleng sebagai jawaban."Kami juga tidak tahu nduk, Tiba-tiba datang beberapa orang yang sama sekali tidak kami kenal masuk kedalam rumah tanpa permisi, mereka merusak barang-barang kita. Dan ketika bapak ingin melarang, mereka tak segan-segan menyakiti bapak. Mereka hanya meninggalkan pesan untuk tidak mengusik keluarga tuannya, bapak sama sekali tidak mengerti maksut mereka nduk"Mursiyem sadar, bahwa semua ini pasti perbuatan dari orang-orang suruhan Admodjo, dan pesan itu ditujukan untuk dirinya. Lihatlah, betapa pengecutnya lelaki itu, padahal Mursiyem tak pernah atau belum pernah mengusik hidupnya dan
Mursiyem mencium tangan mak Surti sangat lama, hatinya begitu berat meninggalkan perempuan yang sudah menganggap dan memperlakukannya seperti anaknya sendiri itu. Wanita yang begitu baik tanpa pamrih. Pun mak Surti, dia mengelus rambut Mursiyem dengan penuh kasih sayang, sejak tadi air matanya tak mau berhenti mengalir, hatinya terlalu berat untuk berpisah dengan orang-orang yang sudah membuat hidupnya sempurna, yang sudah memberinya kesempatan untuk merasakan kesempatan menjadi seorang ibu juga nenek tersebut. "Hati-hati yo nduk, seng gemati sama Suminu, sayangi dia dengan tulus, karena apapun kesalahan orangtuanya, anak ini tidak tahu apa-apa, anak ini suci nduk. Jangan sampai kebencianmu dengan bapaknya kamu lampiaskan kepada Sumini. Bagaimanapun dia tetap anakmu""Iya mak, mohon doanya ya mak. Terimakasih banyak sudah begitu baik dengan kita, maafkan jika kami banyak salah dan selalu merepotkan emak dan bapak""Sttt mak nggak suka kamu bicara seperti itu Nduk, emak dan bapak juga
Mursiyem sempat bimbang, namun akhirnya dia kembali kepada keputusannya untuk kembali bersama pak Jarno saja, dia sudah bagitu malu untuk pulang bersama keluarganya, dia menolak permintaan pengasuhnya untuk kembali, Mursiyem sangat merasa bersalah tentang apa yang sudah menimpa keluarganya, dia menyalahkan diri sendiri, merasa bahwa kamatian sang bapak adalah dia sebagai penyebabnya, merasa bahwa dirinya adalah aib dan tidak pantas untuk kembali. Mursiyem menahan segala kepedihan hatinya dan melawan rasa rindu kepada ibu dan juga saudara-saudaranya, dia terus berjalan menuju tempat dimana andong pak Jarno diparkir kan. Dia berusaha tidak menoleh ataupun menghiraukan sangat pengasuh, karena dia tahu begitu dia menoleh, benteng pertahanannya akan runtuh. "Ndoro tunggu, mbok bahkan belum tahu siapa nama putri cantik ini, biarkan sebentar saja mbok menggendongnya, seperti mbok menggendong ndoro ayu ketika masih kecil dulu"Langkah kaki Mursiyem berhenti, hatinya sedikit melunak. Dia meli
Suara gamelan terdengar bertalu-talu, tawa riang canda para warga yang begitu antusias untuk datang ke acara pesta tersebut bagai air cuka yang disiram langsung ke luka Mursiyem yang menganga. Langkahnya seakan ada yang menuntun, dia berjalan begitu saja mengikuti segerombolan orang-orang yang akan menuju ke pesta itu dengan terus bercerita betapa beruntungnya anak dan istri Admodjo, bisa memiliki suami dan juga bapak yang tampan, kaya dan sangat penyayang. Bahkan untuk merayakan kelahiran anak pertamanya saja, keluarga itu menggelar pesta tiga hari tiga malam dengan jamuan yang melimpah ruah. Gigi Mursiyem mengatup rapat menahan emosi yang sudah diatas ubun-ubun. Pandangan didepannya sungguh merupakan penghinaan terbesar yang pernah dia rasakan seumur hidupnya. Pesta meriah dengan para sinden yang menari berlenggak-lenggok mengikuti suara gamelan, makanan berjejer dengan berbagai menu disediakan untuk para tamu, tawa ceria menghiasi wajah-wajah para tu dan jugatuan rumah. Semua ini
Admodjo merasa hidupnya sangat sempurna, dia memiliki harta dan juga keluarga yang bahagia. Ternyata perjodohan yang diatur oleh bapaknya tidak seburuk yang dia bayangkan dulu, dia sama sekali tidak menyesali pilihan orangtuanya, justru dia bersyukur atas itu. Walaupun terus terang ada sedikit rasa bersalah ketika dia harus meninggalkan Mursiyem dalam keadaan yang tidak dia inginkan, Admodjo tahu bahwa dia telah merusak sepenuhnya masa depan Mursiyem dan juga kebahagiaan keluarga perempuan itu, tapi bukankah itu bukan keinginannya? Bukankah dirinya sudah menyuruh Mursiyem untuk menggugurkan anak itu? Bukankah niat awal mereka hanya bersenang-senang? Apakah sepenuhnya dia bersalah? Ah, tentu saja tidak, karena selalu ada harga untuk setiap kesenangan yang kita nikmati, bukankah dulu Mursiyem juga sudah meneguk kesenangan bersama dirinya, mungkin saja iti harga yang harus perempuan itu bayar, walaupun menurut Admodjo terlalu mahal dan berat, namun sekali lagi, itu bukan kesalahannya. Di
Admodjo sedang memangku putri kecilnya sambil memberi makan ikan-ikan hias pada kolam kecil yang sengaja dibangun atas permintaan putri kecilnya tersebut, yang sangat suka melihat ikan-ikan kecil itu berenang seakan sedang menari. Admodjo dengan telaten mendengarkan sang putri bercerita tentang hari-harinya yang menyenangkan, juga tentang teman barunya yang cukup pendiam, lalu tentang makanan apa yang dia tak suka, namun kata sang ibu itu bangus untuk kesehatannya. Juga tentang betapa bersyukurnya dia karena telah terlahir dikeluarga ini, keluarga yang penuh dengan cinta, dan juga orang-orang yang menyenangkan. Admodjo terus mendengarkannya dengan penuh minat dan rasa syukur. Dia begitu mencintai putrinya itu, dan itu adalah kali pertama dia benar-benar mencintai seseorang tanpa syarat dan tetapi. Putrinya itu kini tumbuh menjadi anak yang saangat cantik parasnya, tingkah lakunya pun manis dengan tata krama yang begitu halus, mencerminkan bahwa dia adalah keturunan seorang priyayi, d
Admodjo sangat antusias menyiapkan pesta ulangtahun anaknya yang akan dilaksanakan minggu depan. Admodjo memerintahkan para pembantunya untuk menyiapkan segala kebutuhan yang diperlukan. Dia ingin mwnjamu para tamu dengan sebaik mungkin. Admodjo mengundang semua kenalannya, mulai para pegawai yang bekerja dengan dirinya, sampai dengan para petinggi belanda yang cukup berpengaruh dalam memperlancar bisnisnya. Semakin mendekati hari H, semua tampak sibuk, para pekerja laki-laki ditugasi untuk menata halama sekaligua mendekornya hingga tampka lebih pantas untuk sebuah pesta. Sedangkan para pekerja wanita telah sibuk membuat kue yang akan dihidangkan nanti. Menik dan ibunya pun tak kalah antusias, mereka telah mendapatkan gaun pesta terbaik yang dirancang oleh perancang langganan para nonik belanda. Gaun yang terlihat begitu mewah dan juga anggung ketika sudah digunakan olehnya, begitu serasi dengan wajah ayu juga kulit kuning yang begitu terawat sedari kecil. "Ibu, coba lihat ini"K