Share

Bab 6

Kak Inggit membalikkan badannya, lalu menutup ponselnya dengan tangan mungkin agar Abangku tak mendengar pertanyaanku tadi pada istrinya.

"Husss ... jangan lancang mencuri dengar pembicaraanku, pergi sana bukankah kamu mau kuliah!" Dia menempelkan jari telunjuk di mulutnya, memberi isyarat supaya aku diam, pasti dia takut ketahuan tengah berbohong pada Abangku.

"Jangan mengadukan hal yang tidak pernah aku lakukan, Kak. Itu namanya kakak memfitnahku, sejak keuangan dipegang kakak mana pernah aku menerima bekal untuk kuliahku, buat uang bensin saja aku harus bisa menyisihkan uang sisa belanja, bahkan terkadang aku ditolong teman-teman untuk uang bensin sampai membuatku malu."

Sengaja kukeraskan suaraku, agar Bang Gagas bisa mendengarnya lewat telpon yang masih tersambung, puas rasanya melihat wajah Kak Inggit yang kini sudah kusut masai mungkin dia tengah menahan emosinya yang siap meledak saat ini.

("Halo, halo ....")

Kudengar sayup-sayup suara Bang Gagas dari telpon yang masih di genggam erat Kak Inggit, bukannya mengangkat kembali telponnya, kakak iparku itu malah menatap wajahku dengan tatapan benci penuh amarah.

Masa bodoh lah tak kuperdulikan lagi matanya yang terlihat melotot seperti hendak loncat dari kelopaknya. Aku senyum sinis sambil berlalu menghampiri Ibu di dapur.

"Bu, Dina berangkat dulu ya. Maaf tak sempat sarapan biar Dina bawa saja ke kampus, Bu. Nanti dimakan di sana saja sudah telat soalnya," kuraih Tupperware lalu mengisinya dengan apa yang sudah tersedia dimeja makan, untukku masakan Ibu adalah makanan paling bergizi dan paling nikmat walau hanya sekedar nasi goreng saja.

"Apa cukup bekalmu segitu, Nduk? bagaimana kalau nanti kamu masih lapar, ayok tambahin bekalmu biar gak kelaparan saat belajar nanti,"

Ibu menyodorkan kembali nasi goreng dalam wadah yang terlihat masih mengepulkan uap panas, baunya tercium sangat nikmat ingin sebenarnya langsung menyendokan makanan itu kedalam mulut, kalau tak ingat jam kuliahku sudah sangat mepet.

"Sudah cukup segini saja, Bu. Maaf Dina tak bisa menemani Ibu sarapan ya, Bu. Dina berangkat dulu, assalamualaikum."

Tanpa menunggu jawaban Ibu, kuraih tangannya lalu kusalami takzim. Bergegas aku keluar rumah dan menaiki kuda besi kesayanganku dengan secepat kilat ku lajukan kendaraanku membelah jalanan kota, yang msudah terlihat padat oleh hiruk pikuk kendaraan berlalu lalang.

******

("Dina apa yang sudah kamu katakan tadi pada kakak iparmu, kenapa sampai dia menangis saat abang meneruskan menelponnya?")

Pesan dari Bang Gagas begitu kubuka ponsel setelah mata kuliah pertama selesai, ada juga beberapa panggilan tak terjawab darinya. 'Pasti nenek sihir itu sudah mengadukan hal yang tidak-tidak pada kakakku,' batinku kesal.

Langsung kuhubungi Bang Gagas untuk bertanya sekaligus menjelaskan keadaan yang sebenarnya, aku tak ingin ada kesalahpahaman dalam pikiran kakak laki-laki ku satu-satunya itu.

("Din, tolong kamu hormati Inggit! Walau bagaimanapun dia adalah istriku, kakak iparmu. Jangan selalu membuatnya lelah dengan semua tingkah manja dan juga sifat arogan mu, abang menguliahkan mu agar kamu menjadi wanita yang bisa mandiri, berakhlak dengan karir yang cemerlang suatu hari nanti. Bukan malah bisanya poya-poya dan menghamburkan uang saja, sesekali bantulah Ibu di rumah, istriku pun butuh istirahat sewaktu-waktu, karena dia ku nikahi untuk ku bahagiakan bukan menjadikannya babu gratisan di rumah kita!") Cerocos Bang Gagas panjang lebar, terdengar begitu emosi ketika sambungan telpon dariku baru saja dia angkat.

("Tapi, Bang—")

Baru saja aku mau menjelaskan tentang hal yang sebenarnya terjadi, Bang Gagas langsung mematikan sepihak sambungan telponnya.

Kucoba lagi berulangkali menghubunginya, namun hanya jawaban operator yang kudengar. Sial memang nenek sihir itu sudah menyebarkan aura negatifnya terhadap Bang Gagas. Ini tak bisa dibiarkan, jika tidak kutegur mungkin masalahnya akan semakin berlarut-larut.

Begitu perkuliahan selesai, aku bergegas menuju parkiran untuk kemudian langsung pulang ke rumah, tak sabar rasanya mulut ini ingin mengomel di depan nenek sihir mata duitan itu. Mantra apa sebenarnya yang dia tebar hingga Abangku bertekuk lutut seperti itu, baru kali ini seumur hidupku mendengar Bang Gagas menegurku sekasar itu.

Setelah memarkirkan motor di garasi, aku langsung masuk lewat pintu belakang, suasananya begitu hening di rumah ini seperti tak berpenghuni saja. 'Kemana ibu, apakah beliau sedang tidur?' pikirku sambil bergerak menuju kamar dan menyimpan barang-barang ku di sana.

"Haduh lelah sekali ya, Pak, Bu. Tapi walaupun lelah tetap hati ini senang karena akhirnya kita bisa membeli perhiasan yang waktu itu kita idamkan,"

Kudengar suara nenek lampir berbicara dengan orang tuanya, suara sepatu terdengar mendekat kearah ruang tamu. Sedikit kujulurkan kepalaku untuk melihat apa yang sudah mereka lakukan, nampak olehku saat ini si nenek lampir alias kak Inggit kakak iparku tengah merebahkan badannya diatas sofa ruang tamu, kedua kakinya di naikkan ke atas meja seperti orang yang tak pernah di didik sopan santun oleh kedua orang tuanya.

"Bu ... Ibu ...! Cepat bawa kemari belanjaannya kami sudah tak sabar ingin memakai perhiasan yang kami beli barusan." Teriak kak Inggit melengking sambil mendelik kearah orang yang jalan terseok-seok, dengan beberapa paperbag memenuhi genggaman tangannya. "Ibu ini kenapa sih lelet banget seperti orang kurang makan saja!"

Tanganku terkepal kuat saat aku mendengar hardikan yang dilontarkan Kak Inggit pada wanita yang sudah melahirkan ku, seolah-olah Ibuku adalah babu dirumahnya sendiri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status