Tiba-tiba saja Kak Inggit sudah berada di belakangku, kulihat beberapa paperbag di tangannya sepertinya dia sudah mengajak orang tuanya shoping, terlihat dari begitu gembiranya orang tua Kak Inggit yang baru saja tiba menyusulnya masuk ke dalam rumah, dengan tentengan berbagai paperbag bertuliskan barang-barang yang harganya ku taksir lumayan menguras kantong.
"Kakak habis belanja banyak kelihatannya, Kakak belikan juga kasur buat Ibuku?" tanpa menjawab pertanyaannya, aku malah balik bertanya sambil mendelik memperhatikan gayanya dari atas rambut sampai ujung kaki, yang berdandan wah seperti seorang selebriti cetar membahana.Kak Inggit melengos, bukannya menjawab pertanyaanku dia malah melangkah menuju kulkas lalu mengambil minuman dingin kemudian menenggaknya hingga tandas."Kak ...!""Apa sih, Dina? tidak usah mengeraskan suaramu padaku, aku tidak tuli!" Bentaknya tak mau kalah."Ya habis, kakak kutanya bukannya menjawab malah cuek seperti tak perduli. Apakah kakak membelikan kasur, untuk Ibu? secara itu penting buatku, kakak lihatkan kulit Ibu sudah penuh ruam, kasihan Ibu jadi tidak tenang tidurnya karena itu pasti gatal sekali, Kak." Papar ku yang sudah bosan dengan tindakan arogan kakak iparku itu."Ya memang aku tak perduli," desisnya sambil berlalu, lewat disampingku. "Sudah kubilang Ibu seperti itu bukan karena kasur yang ditidurinya, tapi karena Ibu itu jorok coba tanya sehari berapa kali dia mandi!"Aku mendengus mendengar jawabannya sungguh membuatku naik darah, emosiku sudah kembali naik ke ubun-ubun, rasanya sudah tak dapat ditolerir lagi sikap Kak Inggit yang meremehkan Ibuku.Kak Inggit pergi begitu saja, tak dihiraukan aku yang masih belum selesai bicara dengannya, kalau bisa dilihat secara kasat mata mungkin sudah keluar tanduk dari kepalaku ini, saking kesalnya aku dengan sikap acuh istri dari kakakku satu-satunya itu."Dina, Nduk sudah! Ibu tidak apa-apa kok, Nduk. Ini juga sudah mendingan lagian tadi kasurnya kan sudah kamu jemur lagi, Nduk. Seprainya sudah ibu ganti yang baru juga, lihat ini kulit ibu sudah tak terlalu gatal." Ibu mengasongkan tangan supaya aku melihatnya. Ku raih tangan renta itu, lalu kucium takzim, "Bisakah aku sekuat dan sesabar Ibu? kenapa Ibu begitu baik seperti ini walaupun mereka sudah bersikap seolah tak menghargaimu, Bu.""Jangan pernah membalas api dengan api, Nduk. Itu hanya akan menambah apinya menjadi semakin besar, tapi siramlah sedikit-sedikit dengan air walaupun tak bisa langsung memadamkan api yang berkobar, tapi lama-lama api itu akan padam juga, Din."Ibu memelukku lalu membelai surai hitamku lembut, kurasakan mata sudah tergenang tak kuasa melihat tubuh renta itu penuh derita, di usia senja yang seharusnya bertabur bahagia dengan datangnya ia seorang menantu yang sudah lama ditunggu.Adzan subuh terdengar mengalun merdu dari surau di sebrang jalan, membangunkan jiwa-jiwa yang tengah terlena dalam buaian mimpi. Kusibak selimut yang seolah membelai dan merayu supaya aku melanjutkan nyamannya tidur dalam lelapku.Ku bantu Ibu yang tengah mengaduk nasi goreng untuk sarapan pagi ini, keringat terlihat bercucuran dari dahinya. Sedangkan orang tua Kak Inggit sendiri tak pernah sekalipun kulihat mereka membantu mengerjakan pekerjaan rumah, atau bahkan sekedar membantu Ibu memasak makanan untuk mereka juga."Ibu istirahatlah, biar Dina yang teruskan.""Tidak usah, Din. Ini hanya tinggal sedikit lagi, kamu bersiap-siap saja sana, bukankah hari ini ada kuliah pagi."Aku mengangguk mengiyakan, "Tapi Ibu kelihatan lelah, Bu. Ini juga lihatlah kulit Ibu malah tambah meradang begini, nanti kita kedokteran saja ya, Bu."Ibu hanya tersenyum menanggapi perkataanku seolah tak ada beban sama sekali dalam pundaknya, padahal aku sudah sangat khawatir jika penyakit kulit itu malah akan semakin menyebar ke seluruh tubuhnya."Sudah sana siap-siap, habis itu kita sarapan sama-sama, ya!""Tapi nanti kita periksa ke dokter setelah Dina pulang kuliah ya, Bu. Dina gak mau kalau sampai penyakit kulit itu bertambah parah, Bu.""Iya-iya, Cah ayu." Jawab ibu mengulum senyum padaku.Jam di dinding sudah menunjukan pukul tujuh lewat lima belas menit, waduh aku bisa terlambat nanti mana jam pertama kuliahku hari ini dosennya lumayan killer, bisa-bisa aku tak dikasihnya masuk kalau kesiangan.Bergegas aku beranjak menuju kamar mandi, jurus mandi kilat rasanya sangat tepat untukku saat ini, kupakai celana hitam semata kaki dengan atasan tunik warna biru tua, lalu kupakai pasmina dengan warna senada, kuraih tas dan juga laptop berisi tugas yang harus diserahkan hari ini, tak ingin terlambat bergegas aku menuju meja makan untuk sarapan bersama Ibuku."Mas, tolong kirimin uang lagi ya, Mas. Uang peganganku sudah menipis."Kudengar suara Kak Inggit tengah berbicara lewat sambungan telpon, terdengar dia meminta uang lagi untuk di transfr abangku padahal setahuku uang yang diberikan bang Gagas sebelum dia berangkat berlayar saja lumayan besar sekitar lima puluh juta, dan itupun seharusnya mencakup biaya kuliahku, tapi nyatanya Kak Inggit tak memberikan hakku sebagaimana mestinya."Iya tapi uangnya sudah semakin menipis, Mas. Mas kan tahu keperluan adikmu kuliah itu sangat banyak, dan lagi adikmu itu terlalu sok jadi orang, uang ongkos sama bekalnya saja tak mau jika dikasih secukupnya, terkadang dia minta lebih katanya untuk mentraktir teman-temannya, membuatku pusing tujuh keliling, Mas."Lanjutnya lagi yang secara tak sengaja kudengar, aku menghela napas kasar. Besar sekali kebohongan kakak iparku ini, kapan aku meminta ongkos dan bekal untuk pergi kuliah padanya, yang ada semua uang yang Bang Gagas berikan malah dipakai poya-poya olehnya, juga dipakai untuk menyenangkan keluarganya sendiri sedangkan aku dan Ibu tak sekalipun merasakan jatah yang seharusnya diberikan, selain hanya makanan yang kami makan itupun terkadang sisa makan Kak Inggit dan orang tuanya sendiri."Kapan aku meminta jatah lebih untuk mentraktir teman-temanku, Kak?"Kak Inggit membalikkan badannya, lalu menutup ponselnya dengan tangan mungkin agar Abangku tak mendengar pertanyaanku tadi pada istrinya."Husss ... jangan lancang mencuri dengar pembicaraanku, pergi sana bukankah kamu mau kuliah!" Dia menempelkan jari telunjuk di mulutnya, memberi isyarat supaya aku diam, pasti dia takut ketahuan tengah berbohong pada Abangku."Jangan mengadukan hal yang tidak pernah aku lakukan, Kak. Itu namanya kakak memfitnahku, sejak keuangan dipegang kakak mana pernah aku menerima bekal untuk kuliahku, buat uang bensin saja aku harus bisa menyisihkan uang sisa belanja, bahkan terkadang aku ditolong teman-teman untuk uang bensin sampai membuatku malu."Sengaja kukeraskan suaraku, agar Bang Gagas bisa mendengarnya lewat telpon yang masih tersambung, puas rasanya melihat wajah Kak Inggit yang kini sudah kusut masai mungkin dia tengah menahan emosinya yang siap meledak saat ini.("Halo, halo ....")Kudengar sayup-sayup suara Bang Gagas dari telpon yang masih di geng
Berjalan tergopoh, kuhampiri Ibuku yang terlihat kelelahan. Rasanya dada ini begitu sesak melihat Ibuku diperlakukan tak pantas oleh menantunya sendiri.Brak ...!"Aaa ... Dina apa yang kamu lakukan? lancang sekali kamu membuang barang-barangku seperti itu, awas saja jika barang-barang yang baru saja ku beli ini rusak!" Teriak kak Inggit melengking, begitu ku rebut paperbag-paperbag yang Ibu bawa dan melemparnya ke sembarang arah.Aku sudah tak bisa lagi menahan kesabaranku yang setipis kulit ari ini, rasanya makin hari perlakuan Kak Inggit makin menjadi. Memperlakukan Ibu tak ubahnya babu yang tak patut dihargai, dan buatku perlakuannya ini tak bisa di maafkan lagi."Masa bodoh dengan barang-barang itu, kenapa Kakak meminta Ibu membawakan barang-barang belanjaan mu, Kak? apa Kakak tidak lihat Ibu sedang tidak baik-baik saja!" Balasku tak mau kalah."Sudah Din, jangan ribut-ribut malu di dengar tetangga!""Biarkan saja, Bu. Kak Inggit sudah keterlaluan saat ini, kenapa dia harus mempe
Mendengar ancaman Ibu, tak ada lagi yang bisa kulakukan selain menuruti perintah beliau. "Kak, maafkan sikapku tadi."Kak Inggit memutar bola mata malas mendengar permintaan maaf dariku, orang tuanya pun sama tak menanggapi ketulusanku mereka kini malah sibuk dengan makanan yang tengah mereka santap dimeja makan.Tak ada sapaan atau basa-basi menawari Ibuku makan, padahal makanan yang ada di meja makan itu masih banyak dan beragam masakannya, sepertinya Kak Inggit memesannya secara online tadi."Kakak mau kan memaafkan aku?" ku lirik Ibu yang kini berada di sampingku, beliau mengangguk memberikan suntikan semangat agar aku tak kembali naik darah menghadapi kelakuan keluarga kakak iparku ini."Kak ....""Kami akan memaafkan mu tapi kamu harus menuruti apa yang aku perintahkan!" Bapaknya Kak Inggit yang menyahuti perkataanku dengan seringai aneh penuh misteri keluar dari bibirnya. "Bukankah begitu, Git?"Kak Inggit menganggukkan kepalanya sambil terus menikmati makanan di piringnya, tanp
Rasa perih menjalar di pipi sebelah kiriku, mungkin saat ini jika bisa kulihat wajahku sudah memerah menahan amarah. Kenapa lelaki tua itu bisa sampai menampar wajahku, apa dia tak berpikir dengan kata-katanya tadi yang menyulut ku untuk melakukan perlawanan padanya, tapi nyatanya dia sendiri tak terima aku katai seperti itu, padahal apa yang ku katakan tentang anaknya itulah yang sebenarnya.Terasa ada sedikit cairan hangat dari sudut bibir, ternyata dampak dari kerasnya tamparan itu membuat bibirku sedikit sobek pantas saja terasa perih saat kuraba dengan ujung jemari."Astagfirullah, Nduk, kamu kenapa?" Ibu tergopoh-gopoh datang dari kamar pasti karena beliau mendengar keributan yang terjadi antara aku dan Pak Wahyu."Apa yang sudah Bapak lakukan terhadap anak saya? kenapa pipi Dina sampai memar dan bibirnya terluka seperti ini?" tanya Ibu tak terima."Anakmu ini sudah lancang mengata-ngatai Inggit anakku, makanya didiklah anakmu dengan baik agar dia bisa menghormati orang tua!" Jaw
Tanpa membantah aku pun memencet nomor yang tertera dengan nama Abangku di ponsel yang kupegang, namun saat ku hubungi hanya operator yang menjawab jika saat ini Abangku tengah berada dalam panggilan lain, itu berarti saat ini ponselnya sedang dipakai Abangku menelpon dengan orang lain. Biarlah kucoba lagi nanti pikirku."Nomor bang Gagas sedang sibuk, Bu. Kelihatannya abang tengah teleponan dengan orang lain." Ucapku.Ibu mengangguk lemah. "Coba nanti kamu telpon lagi jika sudah agak lama ya, Din!""Baik, Bu." Jawabku singkat.Astagfirullah detak jam di dinding menyadarkan aku jika aku belum sholat dzuhur, karena drama dari keluarga dagelan itu aku sampai lupa menunaikan kewajibanku sebagai seorang muslimah."Dina sholat dulu ya, Bu. Ibu sudah sholat dzuhur?"Ibuku mengangguk, tanpa menoleh pun tanpa suara yang keluar untuk menyahuti pertanyaanku. Hatiku merasa terbebani jika melihat Ibu seperti itu seolah kekuatanku melemah, Ibu adalah semangatku selama ini dan jika beliau berduka m
"Itukan bang Gagas ...?" gumamku."Gagas ...? kamu sudah pulang, Nak? kok tidak memberi tahu ibu kalau kamu pulang hari ini, kalau tahu pasti tadi ibu masakin makanan kesukaanmu, Gas." Ibu tergopoh-gopoh menghampiri bang Gagas, senyum lebar terpatri dari bibir ibu, wajahnya berbinar bahagia mendapati anak sulung lelakinya sudah kembali ke rumah dalam keadaan sehat walapiat.Namun tak kusangka Bang Gagas menepis halus rentangan tangan Ibu yang hendak memeluknya untuk sekedar menyalurkan rasa rindu seorang ibu pada anak lelakinya. Ibu berhenti lalu menurunkan tangannya tak jadi memeluk anak lelaki kesayangan yang tadi begitu di rinduinya.Seketika tak ada kata keluar dari keduanya, suasana mendadak hening hanya sesekali terdengar isakan Kak Inggit yang kini tengah duduk bersimpuh dilantai, dengan bahu bergetar terisak dalam tangisnya. Kini Ibu dan Bang Gagas hanya terdiam sesekali saling bertemu pandang, seolah mencari jawaban dari apa yang menjadi pertanyaan di pikiran masing-masing."
"Kenapa Abang bisa sebodoh ini, mau-maunya dibohongi oleh para benalu itu. Lihatlah kulit mereka apakah ada yang mengeluh jika tengah sakit atau terkena penyakit gatal semacam iritasi dan sebagainya? buka matamu, Bang! Lihatlah Ibu, Abang bahkan tak menanyakan sama sekali sakit apa Ibu sampai harus berobat ke dokter, lihat kulit Ibu, Bang! Itu akibat kami harus—""Sudahlah, Mas. Tidak usah diperpanjang lagi, biarkan saja aku dan orang tuaku yang mengalah. Kami akan kembali tinggal di rumah kami, Mas."Kak Inggit secepatnya memotong perkataanku sebelum aku tuntas memaparkan kejadian sebenarnya kepada Bang Gagas, dia kembali bersandiwara agar lebih bisa meraih simpatik Abangku, agar dia dipandang sebagai malaikat oleh suaminya. Cuih ... dasar wanita ular bermuka dua, tak kusangka aku akan mempunyai ipar yang begitu jahat seperti Kak Inggit. Sayang sekali Abangku lelaki yang tadinya begitu baik dan begitu hormat kepada Ibu juga keluarga, bisa langsung berubah hanya karena fitnah jahat ya
"Sabar ya, Din! Doakan saja Bang Gagas segera dibukakan kembali mata hatinya." Ucap Aisyah sahabatku satu-satunya.Ya setelah keluar dari rumah, aku di minta Aisyah untuk tinggal bersamanya, kebetulan Aisyah tinggal sendiri di rumah peninggalan almarhum kedua orang tuanya.Aku hanya bisa mengangguk lemah, tak kuasa melihat wajah sendu Ibu pasti beliau begitu sakit hati dengan perlakuan Abangku, namun kasih sayangnya sebagai seorang ibu mengalahkan rasa marah dan benci dalam hatinya.Ibu akhirnya ikut bersamaku, lagipula aku pun tak akan tega meninggalkan Ibu di rumah itu bersama orang-orang yang tidak menyukainya, bisa-bisa Ibu hanya akan dijadikan pelayan di rumahnya sendiri nanti. Apalagi setelah melihat perangai Bang Gagas yang begitu keterlaluan, hanya mendengarkan dari sebelah pihak saja tanpa mau mencari tahu dulu kebenarannya seperti apa.Seminggu sudah aku tinggal bersama Aisyah, rasanya sungkan lama-lama menumpang. Walaupun Aisyah tak pernah mempermasalahkannya, namun aku tet