"Kamu butuh uang berapa untuk membeli kasur itu, Nak Dina? ini mungkin tidak banyak, tapi tolong pijitin bapak dulu ya badan bapak rasanya pegal-pegal sekali." Pak Wahyu menyodorkan dua lembar uang kertas berwarna merah dan satu lembar berwarna biru, tapi katanya aku harus memijit dulu tubuh lelaki paruh baya, yang berstatus bapak kandung kakak ipar ku itu.
"Maaf Dina tidak bisa melakukan itu, Pak. Saya bukan mahram Bapak, lagi pula saya bukan peminta-minta jadi tidak perlu Bapak memberikan uang itu kepada saya. Saya hanya meminta hak saya dan ibu kepada Kak Inggit karena abang saya mengamanahkan nafkah untuk kami dipegang oleh anak Bapak itu.""Healah sok-sokan menolak kamu tuh, Din. Sombong sekali! Toh apa yang diberikan Gagas kepada anak saya itu sepenuhnya hak Inggit, sudah bagus Inggit masih memberikanmu tempat tinggal dan makan dirumah ini secara cuma-cuma." Cibir pak Wahyu, matanya tak berkedip menatap ke arahku tajam, bagaikan elang yang tengah mengincar mangsanya.Sadar usahaku ini hanya membuang-buang waktu, aku pergi meninggalkan ruang keluarga. Daripada aku harus membuang-buang energi menghadapi keluarga toxic yang bisa membuat moodku ambyar seketika. Aku beranjak kembali ke kamar, lalu menjemur kasur seperti perintah Ibu tadi.Kulihat Ibu sudah bersiap-siap hendak pergi mengaji, Ibuku begitu cantik dan anggun. Wanita penyabar yang begitu penuh kasih, walaupun terhadap orang yang memperlakukannya kurang baik sekalipun."Din, ibu berangkat dulu, ya. Hati-hati di rumah, jangan selalu membantah apa yang kakak iparmu katakan, malu jika nanti terjadi keributan di depan orang tuanya!" Pesan ibu sebelum berangkat ke pengajian.Aku tak mengiyakan atau membantah perkataan Ibuku, ku ambil tangan Ibu lalu kucium takzim.Setelah Ibu berangkat, aku mengambil ponselku lalu berusaha menghubungi bang Gagas, semoga saja dia sedang tidak sibuk agar aku bisa membicarakan semua ulah ajaib istrinya itu.("Assalamualaikum, Dek. Ada apa, di rumah semua baik-baik saja, kan? kok tumben telpon?") rentetan pertanyaan dari abangku begitu sambungan telpon ku, diangkatnya.("Wa'alaikumussalam, Bang. Alhamdulillah kami di sini baik-baik semua, Abang sendiri bagaimana di sana sehat, Bang? Pekerjaan Abang lancar?")("Alhamdulillah lancar, Dek. Tapi sebenarnya abang sudah jenuh kerja jauh dari keluarga, InsyaAllah mungkin dalam waktu dekat abang akan pulang dan membuka usaha saja di sana,")("Alhamdulillah kalau begitu, Bang. Dina senang sekali mendengarnya, dengan Abang ada di rumah jadi Abang bisa mengenal lebih jauh seperti apa wanita yang Abang jadikan istri saat ini.")("Maksudnya bagaimana, Dek?") tanya bang Gagas terdengar penasaran.("Ah tidak, Bang, tidak apa-apa. Ya sudah kalau begitu Dina tutup dulu telponnya ya, Bang. Dina tunggu kedatangan Abang secepatnya ke rumah kita.")Setelah Bang Gagas menjawab salamku, langsung kumatikan sambungan telponnya. Aku tidak jadi mengatakan kebenaran tentang bagaimana sebenarnya perlakuan istrinya kepada kami, setelah ku pikir-pikir aku tak ingin memberatkan pikiran Bang Gagas dengan hal-hal seperti ini, biarlah nanti Abangku melihat kenyataannya sendiri tanpa harus aku yang membeberkannya.*******Sekitar pukul lima sore aku baru sampai rumah, karena tadi aku ada jadwal kuliah siang, begitu sampai diambang pintu tercium bau harum masakan yang tengah dimasak Ibu, benar saja setelah kulihat Ibu sedang berkutat dengan sayuran dan juga bumbu-bumbu di dapur seorang diri, sedangkan kakak ipar juga orang tuanya tidak terlihat batang hidungnya sama sekali."Bu, kemana yang lain kenapa Ibu mengerjakan semuanya sendiri?""Tadi kakak mu mengajak mereka keluar sebentar, katanya ada yang mau di beli. Sudah makan, Nduk? ayok duduklah kamu pasti lelah, biar ibu siapkan makanan buat kamu ya, Nak." Ucap Ibuku mengalihkan pembicaraan."Bu, tadi bang Gagas bilang ke Dina di telpon katanya mau berhenti kerja, terus mau buka usaha saja di sini, Bu." Ucapku sambil menggeser kursi yang terletak di sebelah meja makan.Karena begitu lapar, aku langsung saja mengambil nasi serta lauk yang sudah Ibu siapkan, rasanya lemas kaki ini terasa gemetar sampai ke tulang-tulang.Aku tak pernah membawa uang saku saat kuliah semenjak keuangan dipegang kak Inggit, heran aku kenapa kakak iparku itu pelitnya sampai ke ubun-ubun, padahal di dalam uang yang dia pegang ada hak aku dan Ibu, Abangku memberikan semua untuk dia kelola bukan untuk dikuasai seorang diri. Ah tapi yang namanya hati sudah termakan rasa serakah, jadilah hak orang pun diembat tak perduli itu punya siapa yang penting dirinya senang dan makmur."Apa Gagas sudah bilang sama istrinya tentang rencananya itu, Din?""Belum, Bu. Jangan diberitahu dulu katanya biar jadi surprise untuk kak Inggit nanti." Kilahku. Aku tak lagi banyak cakap, ku habiskan segera nasi yang tinggal beberapa sendok di piring lalu mencucinya."Bu mungkin aku juga akan mencari pekerjaan sampingan untuk tambah-tambah biaya kuliah, Bu. Semenjak keuangan dipegang kak Inggit, aku sulit untuk meminta jatah bekal kuliahku padanya, kak Inggit selalu beralasan agar aku berhemat, padahal ibu tahu sendiri keperluanku banyak saat ini, belum lagi untuk bensin. Kalau aku tidak kerja rasa-rasanya akan berat untuk kedepannya nanti, Bu.""Jangan to, Nduk. Nanti kulaihmu bisa terganggu kalau waktumu terbagi juga dengan pekerjaan, biar nanti ibu bicara dengan Inggit ya, Nduk. Tapi ibu harap kamu sabar janga terbawa emosi jika sedang berbicara dengan kakak iparmu!""Bagaimana aku tidak emosi, Bu. Kan ibu tahu sendiri, seperti apa perangai kak Inggit,""Memangnya seperti apa perangaiku, Din?"Tiba-tiba saja Kak Inggit sudah berada di belakangku, kulihat beberapa paperbag di tangannya sepertinya dia sudah mengajak orang tuanya shoping, terlihat dari begitu gembiranya orang tua Kak Inggit yang baru saja tiba menyusulnya masuk ke dalam rumah, dengan tentengan berbagai paperbag bertuliskan barang-barang yang harganya ku taksir lumayan menguras kantong."Kakak habis belanja banyak kelihatannya, Kakak belikan juga kasur buat Ibuku?" tanpa menjawab pertanyaannya, aku malah balik bertanya sambil mendelik memperhatikan gayanya dari atas rambut sampai ujung kaki, yang berdandan wah seperti seorang selebriti cetar membahana.Kak Inggit melengos, bukannya menjawab pertanyaanku dia malah melangkah menuju kulkas lalu mengambil minuman dingin kemudian menenggaknya hingga tandas."Kak ...!""Apa sih, Dina? tidak usah mengeraskan suaramu padaku, aku tidak tuli!" Bentaknya tak mau kalah."Ya habis, kakak kutanya bukannya menjawab malah cuek seperti tak perduli. Apakah kakak membelikan kasur
Kak Inggit membalikkan badannya, lalu menutup ponselnya dengan tangan mungkin agar Abangku tak mendengar pertanyaanku tadi pada istrinya."Husss ... jangan lancang mencuri dengar pembicaraanku, pergi sana bukankah kamu mau kuliah!" Dia menempelkan jari telunjuk di mulutnya, memberi isyarat supaya aku diam, pasti dia takut ketahuan tengah berbohong pada Abangku."Jangan mengadukan hal yang tidak pernah aku lakukan, Kak. Itu namanya kakak memfitnahku, sejak keuangan dipegang kakak mana pernah aku menerima bekal untuk kuliahku, buat uang bensin saja aku harus bisa menyisihkan uang sisa belanja, bahkan terkadang aku ditolong teman-teman untuk uang bensin sampai membuatku malu."Sengaja kukeraskan suaraku, agar Bang Gagas bisa mendengarnya lewat telpon yang masih tersambung, puas rasanya melihat wajah Kak Inggit yang kini sudah kusut masai mungkin dia tengah menahan emosinya yang siap meledak saat ini.("Halo, halo ....")Kudengar sayup-sayup suara Bang Gagas dari telpon yang masih di geng
Berjalan tergopoh, kuhampiri Ibuku yang terlihat kelelahan. Rasanya dada ini begitu sesak melihat Ibuku diperlakukan tak pantas oleh menantunya sendiri.Brak ...!"Aaa ... Dina apa yang kamu lakukan? lancang sekali kamu membuang barang-barangku seperti itu, awas saja jika barang-barang yang baru saja ku beli ini rusak!" Teriak kak Inggit melengking, begitu ku rebut paperbag-paperbag yang Ibu bawa dan melemparnya ke sembarang arah.Aku sudah tak bisa lagi menahan kesabaranku yang setipis kulit ari ini, rasanya makin hari perlakuan Kak Inggit makin menjadi. Memperlakukan Ibu tak ubahnya babu yang tak patut dihargai, dan buatku perlakuannya ini tak bisa di maafkan lagi."Masa bodoh dengan barang-barang itu, kenapa Kakak meminta Ibu membawakan barang-barang belanjaan mu, Kak? apa Kakak tidak lihat Ibu sedang tidak baik-baik saja!" Balasku tak mau kalah."Sudah Din, jangan ribut-ribut malu di dengar tetangga!""Biarkan saja, Bu. Kak Inggit sudah keterlaluan saat ini, kenapa dia harus mempe
Mendengar ancaman Ibu, tak ada lagi yang bisa kulakukan selain menuruti perintah beliau. "Kak, maafkan sikapku tadi."Kak Inggit memutar bola mata malas mendengar permintaan maaf dariku, orang tuanya pun sama tak menanggapi ketulusanku mereka kini malah sibuk dengan makanan yang tengah mereka santap dimeja makan.Tak ada sapaan atau basa-basi menawari Ibuku makan, padahal makanan yang ada di meja makan itu masih banyak dan beragam masakannya, sepertinya Kak Inggit memesannya secara online tadi."Kakak mau kan memaafkan aku?" ku lirik Ibu yang kini berada di sampingku, beliau mengangguk memberikan suntikan semangat agar aku tak kembali naik darah menghadapi kelakuan keluarga kakak iparku ini."Kak ....""Kami akan memaafkan mu tapi kamu harus menuruti apa yang aku perintahkan!" Bapaknya Kak Inggit yang menyahuti perkataanku dengan seringai aneh penuh misteri keluar dari bibirnya. "Bukankah begitu, Git?"Kak Inggit menganggukkan kepalanya sambil terus menikmati makanan di piringnya, tanp
Rasa perih menjalar di pipi sebelah kiriku, mungkin saat ini jika bisa kulihat wajahku sudah memerah menahan amarah. Kenapa lelaki tua itu bisa sampai menampar wajahku, apa dia tak berpikir dengan kata-katanya tadi yang menyulut ku untuk melakukan perlawanan padanya, tapi nyatanya dia sendiri tak terima aku katai seperti itu, padahal apa yang ku katakan tentang anaknya itulah yang sebenarnya.Terasa ada sedikit cairan hangat dari sudut bibir, ternyata dampak dari kerasnya tamparan itu membuat bibirku sedikit sobek pantas saja terasa perih saat kuraba dengan ujung jemari."Astagfirullah, Nduk, kamu kenapa?" Ibu tergopoh-gopoh datang dari kamar pasti karena beliau mendengar keributan yang terjadi antara aku dan Pak Wahyu."Apa yang sudah Bapak lakukan terhadap anak saya? kenapa pipi Dina sampai memar dan bibirnya terluka seperti ini?" tanya Ibu tak terima."Anakmu ini sudah lancang mengata-ngatai Inggit anakku, makanya didiklah anakmu dengan baik agar dia bisa menghormati orang tua!" Jaw
Tanpa membantah aku pun memencet nomor yang tertera dengan nama Abangku di ponsel yang kupegang, namun saat ku hubungi hanya operator yang menjawab jika saat ini Abangku tengah berada dalam panggilan lain, itu berarti saat ini ponselnya sedang dipakai Abangku menelpon dengan orang lain. Biarlah kucoba lagi nanti pikirku."Nomor bang Gagas sedang sibuk, Bu. Kelihatannya abang tengah teleponan dengan orang lain." Ucapku.Ibu mengangguk lemah. "Coba nanti kamu telpon lagi jika sudah agak lama ya, Din!""Baik, Bu." Jawabku singkat.Astagfirullah detak jam di dinding menyadarkan aku jika aku belum sholat dzuhur, karena drama dari keluarga dagelan itu aku sampai lupa menunaikan kewajibanku sebagai seorang muslimah."Dina sholat dulu ya, Bu. Ibu sudah sholat dzuhur?"Ibuku mengangguk, tanpa menoleh pun tanpa suara yang keluar untuk menyahuti pertanyaanku. Hatiku merasa terbebani jika melihat Ibu seperti itu seolah kekuatanku melemah, Ibu adalah semangatku selama ini dan jika beliau berduka m
"Itukan bang Gagas ...?" gumamku."Gagas ...? kamu sudah pulang, Nak? kok tidak memberi tahu ibu kalau kamu pulang hari ini, kalau tahu pasti tadi ibu masakin makanan kesukaanmu, Gas." Ibu tergopoh-gopoh menghampiri bang Gagas, senyum lebar terpatri dari bibir ibu, wajahnya berbinar bahagia mendapati anak sulung lelakinya sudah kembali ke rumah dalam keadaan sehat walapiat.Namun tak kusangka Bang Gagas menepis halus rentangan tangan Ibu yang hendak memeluknya untuk sekedar menyalurkan rasa rindu seorang ibu pada anak lelakinya. Ibu berhenti lalu menurunkan tangannya tak jadi memeluk anak lelaki kesayangan yang tadi begitu di rinduinya.Seketika tak ada kata keluar dari keduanya, suasana mendadak hening hanya sesekali terdengar isakan Kak Inggit yang kini tengah duduk bersimpuh dilantai, dengan bahu bergetar terisak dalam tangisnya. Kini Ibu dan Bang Gagas hanya terdiam sesekali saling bertemu pandang, seolah mencari jawaban dari apa yang menjadi pertanyaan di pikiran masing-masing."
"Kenapa Abang bisa sebodoh ini, mau-maunya dibohongi oleh para benalu itu. Lihatlah kulit mereka apakah ada yang mengeluh jika tengah sakit atau terkena penyakit gatal semacam iritasi dan sebagainya? buka matamu, Bang! Lihatlah Ibu, Abang bahkan tak menanyakan sama sekali sakit apa Ibu sampai harus berobat ke dokter, lihat kulit Ibu, Bang! Itu akibat kami harus—""Sudahlah, Mas. Tidak usah diperpanjang lagi, biarkan saja aku dan orang tuaku yang mengalah. Kami akan kembali tinggal di rumah kami, Mas."Kak Inggit secepatnya memotong perkataanku sebelum aku tuntas memaparkan kejadian sebenarnya kepada Bang Gagas, dia kembali bersandiwara agar lebih bisa meraih simpatik Abangku, agar dia dipandang sebagai malaikat oleh suaminya. Cuih ... dasar wanita ular bermuka dua, tak kusangka aku akan mempunyai ipar yang begitu jahat seperti Kak Inggit. Sayang sekali Abangku lelaki yang tadinya begitu baik dan begitu hormat kepada Ibu juga keluarga, bisa langsung berubah hanya karena fitnah jahat ya