Share

Bab 3

"Wah enaknya sekarang kamu sudah tidak perlu lagi mengontrak rumah, Nak." Terdengar ucapan bu Arum ibunya Kak Inggit. Begitu sampai di rumah kami. Matanya menoleh ke kiri dan kanan memperhatikan seisi ruangan rumah.

"Iya dong, Bu. Mas Gagas kan memberikan rumah ini untuk aku, istri kesayangannya." Sahut Kak Inggit membual.

Aku hanya mencebik mendengar apa yang iparku katakan, enak saja dia mengaku-ngaku kalau rumah ini untuknya, dia sama sekali tidak menghargai aku juga ibuku sebagai tuan rumah yang sebenarnya.

"Ayok Bu, kita ngobrol-ngobrol di ruang keluarga, Inggit sudah kangen sama Ibu dan Bapak."

Kak Inggit pergi begitu saja, diikuti oleh orang tuanya begitu mereka selesai makan. Mereka bahkan meninggalkan meja makan dalam keadaan yang berantakan, tak ada basa-basi sama sekali untuk membantu ibuku membereskan barang-barang sisa makan barusan. Tanganku terkepal, rasanya sabar ku yang setipis tisu dibagi delapan ini sudah luluh lantak tak tersisa, namun lagi-lagi ibu menggenggam jemariku dengan menggelengkan kepalanya seraya tersenyum hangat memberikan suntikan semangat padaku.

"Yok bantu ibu, membereskan meja makannya!"

"Pantas saja anaknya seperti itu, orang tuanya saja malah membiarkan anaknya berlaku seenak jidat, dasar tak ada akhlak!" Ketusku.

"Hus jangan bicara begitu, tidak enak jika mereka mendengarnya, Nduk. Walau bagaimanapun mereka tetaplah tamu yang harus kita muliakan di rumah ini."

Dengan wajah merenggut, terpaksa aku menuruti ibu untuk kemudian membereskan meja makan, lalu mencuci piring-piring bekas makan barusan.

"Sekali-kali tegur Kak Inggit, Bu, biar dia tak terus-terusan menyepelekan kita. Dia pikir kita ini babu apa di rumah ini!"

Ocehku setelah semua pekerjaan membereskan dapur selesai.

"Lagian ini tuh rumah kita, bang Gagas membangun rumah ini dari jerih payahnya untuk bernaung ibu di hari tua. Seenaknya saja kak Inggit mengaku-ngaku, memangnya kapan bang Gagas memberikan rumah ini padanya, heh dasar pembohong!"

"Sudah to, Nduk. Jangan terus-terusan menggerutu, sabar tidak baik loh marah-marah terus nanti ayune hilang." Rayu Ibu. Begitulah Ibuku terkadang aku begitu heran dengan beliau, bisa sesabar dan sebaik itu jadi manusia. Ah memang Ibuku yang terbaik, itulah kenapa aku selalu merasa tak tega jika Ibu harus mendapatkan perlakuan yang seenaknya dari menantunya sendiri, padahal kurang baik apa Ibu memperlakukannya selama ini.

Sudah satu minggu orang tua kak Inggit menginap dirumahku, tapi belum ada tanda-tanda mereka mau kembali pulang ke kampungnya juga, apakah mereka tidak berpikir jika tuan rumah merasa tidak nyaman dengan kehadiran mereka, kok rasa-rasanya jika kuperhatikan mereka malah semakin menikmati tinggal dirumahku ini.

"Bu, kenapa kulit Ibu merah-merah begini? setahu Dina kemarin-kemarin tidak ada, Bu."

Kulihat banyak bintik-bintik merah pada kulit Ibu dan sepertinya itu terasa gatal dan mengganggu, buktinya Ibu terlihat tidak nyaman dan terus menggaruk kulitnya yang seperti ruam pada anak bayi. "Entahlah, Din. Mungkin ini karena alergi Ibu kambuh,"

"Tidak mungkin karena alergi, Bu, Ibu kan tidak memakan makanan yang membuat alergi Ibu meradang. Ini pasti karena kasur lapuk itu, sudah Dina bilang kasur itu lama teronggok di gudang sudah tidak layak untuk dipakai lagi, Bu. Walaupun kita alasi pakai seprai bersih, tetap saja di dalamnya pasti banyak kuman penyakit bersarang yang bisa menimbulkan penyakit untuk kulit kita."

"Sudah to, Nduk. Nanti juga sembuh sendiri, biar ibu taburi pakai bedak anti gatal saja, nanti tolong di jemur lagi ya Nduk, kasurnya! Ibu ada pengajian di rumah bu Rt siang ini."

Aku hanya mengangguk sebagai jawaban, lalu beranjak pergi keluar kamar, aku berniat untuk meminta uang kepada Kak Inggit untuk sekedar membelikan Ibu kasur baru walaupun ukurannya kecil tidak apa-apa, karena toh sejak pindah di kamar belakang aku tidak tidur di kasur, selain ukurannya kecil aku juga tak mau tidur di kasur yang sudah puluhan tahun tak dipakai, Ibuku saja yang tak mengindahkan perkataanku, sampai akhirnya beliau sekarang terkena penyakit kulit akibat tidur di kasur lapuk itu.

"Kak, minta uang dong untuk membeli kasur baru buat, ibu. Yang kecil juga tidak apa-apa, kasihan kulit ibu banyak bintik-bintik merah yang bikin badan ibu gatal-gatal."

Kak Inggit yang terlihat tengah menikmati buah bersama Bu Arum hanya mendelik, lalu melanjutkan kembali menikmati buah segar dalam pangkuannya seolah meremehkan perkataanku barusan.

"Kak, kakak dengar, kan?" sentak ku kesal.

"Heh Dina, buat apa sih kamu itu beli-beli kasur baru segala? kan sudah kubilang sayang uangnya! Kulit ibu gatal-gatal pasti bukan karena kasur itu, palingan juga itu karena ibu jorok, jadi kulitnya gatal-gatal seperti itu."

"Jangan asal bicara, Kak. Selama ini ibu tak pernah terkena penyakit kulit seperti sekarang, itu terjadi sejak ibu tidur di kasur lapuk dari gudang itu."

"Alasan saja kamu, Din! Buktinya kamu baik-baik saja, bukannya kamu juga tidur berdua ibu selama ini, pasti kamu berbohong agar mendapatkan uang untuk poya-poya bersama teman-teman kuliahmu kan?" tuduh kak Inggit sungguh tak masuk akal.

Astagfirullah terbuat dari apa hati wanita ini, bisa-bisanya dia menuduhku seenak dengkulnya, dia pikir jika aku memang berniat korupsi uang untuk membeli kasur, apakah cukup untuk dipakai poya-poya? sempit sekali pemikirannya, itulah jika seorang manusia yang rakus terhadap harta yang bukan haknya, dalam pikirannya pasti akan selalu timbul prasangka negatif terhadap orang lain.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status