Share

Bab 2

Aku menatap kak Inggit geram, tanpa berperasaan dia menunjuk kasur busa yang sudah lapuk bekas pakai ibu puluhan tahun lalu, kasur yang sudah lama teronggok di gudang.

"Yang benar saja, Kak! Masa Kakak ingin aku dan ibu tidur di kasur lapuk yang sudah lama tak dipakai, kasur itu pasti sudah sangat kotor dan penuh debu karena lama berada di gudang ini, lagi pula kasur itu sudah tak layak pakai, Kak."

"Memangnya kenapa, Dina? kamu kan bisa menjemur kasur itu sebelum dipakai, bisa dipakaikan seprai baru juga, begitu saja kok repot." Jawabnya tak perduli. "Lagipula kalau beli kasur baru sayang uangnya, Din. Mending pergunakan barang yang ada untuk menghemat pengeluaran."

"Aku tidak mau, jika kakak bersikeras memintaku untuk memakai kasur itu lebih baik aku dan ibu kembali ke kamar kami semula, biar orang tua Kakak saja yang tidur dikamar belakang memakai kasur itu." Tukasku yang tak terima dengan keputusannya.

Plak ...!

Pipi ini terasa perih dan panas setelah satu tamparan mendarat dengan mulus di sana, aku yang tak sempat mengelak hanya bisa mengusap pelan pipi yang mungkin kini sudah memerah karena kerasnya tamparan dari Kak Inggit barusan.

"Jangan kurang ajar kamu ya, Din! Aku bisa melaporkanmu ke mas Gagas nanti. Mau kamu jadi gembel di luar sana, jika aku melaporkanmu ke suamiku dan aku minta dia untuk mengusirmu dari rumah ini?" bentaknya menunjuk keningku dengan jari telunjuknya.

"Silahkan Kakak laporkan saja, memangnya kesalahan apa yang sudah Dina lakukan? bukankah malah Kakak sendiri yang tidak menghargai keberadaan aku dan ibu di rumah ini? Kakak sudah sewenang-wenang terhadap kami, bahkan menjadikan kami babu gratisan di rumah kami sendiri. Apa Kakak tidak sadar jika rumah yang saat ini Kakak tempati adalah rumah ibu, rumah yang dibangun kakakku untuk ibunya." Balasku tak mau kalah.

Geram sekali aku mendengar perkataan kakak iparku yang menurutku sudah keterlaluan, apa yang ada di pikirannya sampai dia tega memerintahkan aku untuk memakai kasur bekas yang sudah tak layak pakai. Bukankah Bang Gagas memberinya uang belanja yang tidak sedikit? kenapa hanya sekedar membeli kasur untuk tempat tidur aku dan ibu saja dia begitu perhitungan.

Ya setelah menikah kakakku memberikan semua gajinya untuk dikelola Kak Inggit, setelah waktu itu mereka sedikit berdebat karena Kak Inggit ingin semua keuangan dipegang olehnya. Ia berdalih Ibu sudah terlalu tua untuk mengurus segala tek-tek bengek rumah tangga, jadi Kak Inggit beralasan agar tak merepotkan Ibu dikemudian hari, namun nyatanya dia malah semakin merepotkan dengan menjatah Ibu hanya lima puluh ribu sehari untuk keperluan belanja, dan itu pun mencakup ongkos ku juga untuk berangkat kuliah.

Kakakku bekerja di pelayaran yang pulangnya ke rumah tidak pasti, kadang bisa tiga bulan sekali atau bahkan setengah tahun dia baru bisa pulang. Dia begitu percaya meninggalkan aku dan Ibu hidup bersama Kak Inggit istrinya, mungkin dia pikir istrinya itu adalah wanita yang baik dan penuh kasih, sehingga kakakku tak punya pikiran buruk sedikitpun pada istri yang baru dinikahinya itu.

Dengan besar hati Ibu menyetujui apa yang Kak Inggit inginkan, Ibu meminta Bang Gagas untuk menuruti kemauan istrinya agar semua keuangan rumah tangga dipegang Kak Inggit, dan akhirnya dari sanalah awal penderitaan aku dan Ibu dimulai.

Setelah Bang Gagas kembali bekerja, Kak Inggit mulai menunjukan perangai buruknya, ia tak segan memerintah Ibu untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah, tanpa mau membantunya seperti awal-awal menikah ketika Bang Gagas masih belum berangkat kembali berlayar.

Terkadang aku membantu Ibu mengerjakan semuanya, tapi saat aku ada jadwal kuliah terpaksa aku meninggalkan pekerjaan itu untuk dikerjakan Ibu sendiri, begitu tak tega rasanya melihat tubuh tua itu masih harus mengerjakan semua pekerjaan rumah seorang diri, terlebih lagi setelah kedatangan Kak Inggit ke rumah kami, seolah semua pekerjaan itu tak pernah ada habisnya.

********

"Ayok tidur sini, Din. Sudah malam besok kamu kan ada kuliah pagi, nanti matamu ada lingkaran hitamnya kalau tidak tidur. Apa anak gadis ibu ini tidak malu dilihat teman-temannya karena bermata panda?" seloroh ibu, sambil menepuk pinggir kasur yang sudah terbungkus rapi dengan seprai baru.

Aku bergeming di tempatku duduk, masih kesal rasanya dengan sikap Ibu yang seolah takut dengan Kak Inggit. Ibu menghentikan perdebatan kami tadi dan membawa sendiri kasur lapuk itu dari gudang. Beliau menjemurnya sambil di pukul-pukulan menggunakan sapu lidi khusus, yang sering dipakai untuk membersihkan tempat tidur.

Dan kini kasur itu sudah rapi terbungkus seprai baru yang wangi pengharum pakaian, namun tetap saja aku merasa tak nyaman, rasanya badanku gatal semua jika mengingat kasur itu begitu kotor tadi dan mungkin bisa saja membawa penyakit kedalam tubuh yang menidurinya.

"Aku mau mengadukan kelakuan Kak Inggit sama bang Gagas nanti, Bu. Dia sudah sangat keterlaluan, kalau dia memintaku sendiri yang pindah aku tak masalah, tapi ini dia begitu tidak sopan dengan memindahkan Ibu juga hanya agar orang tuanya nyaman, kenapa tidak orang tuanya saja yang diminta tidur di kamar belakang atau kalau mereka tidak mau, pakai saja kamar dilantai atas, toh isinya hanya tas-tas yang tak berguna,"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status