Aku menatap kak Inggit geram, tanpa berperasaan dia menunjuk kasur busa yang sudah lapuk bekas pakai ibu puluhan tahun lalu, kasur yang sudah lama teronggok di gudang.
"Yang benar saja, Kak! Masa Kakak ingin aku dan ibu tidur di kasur lapuk yang sudah lama tak dipakai, kasur itu pasti sudah sangat kotor dan penuh debu karena lama berada di gudang ini, lagi pula kasur itu sudah tak layak pakai, Kak.""Memangnya kenapa, Dina? kamu kan bisa menjemur kasur itu sebelum dipakai, bisa dipakaikan seprai baru juga, begitu saja kok repot." Jawabnya tak perduli. "Lagipula kalau beli kasur baru sayang uangnya, Din. Mending pergunakan barang yang ada untuk menghemat pengeluaran.""Aku tidak mau, jika kakak bersikeras memintaku untuk memakai kasur itu lebih baik aku dan ibu kembali ke kamar kami semula, biar orang tua Kakak saja yang tidur dikamar belakang memakai kasur itu." Tukasku yang tak terima dengan keputusannya.Plak ...!Pipi ini terasa perih dan panas setelah satu tamparan mendarat dengan mulus di sana, aku yang tak sempat mengelak hanya bisa mengusap pelan pipi yang mungkin kini sudah memerah karena kerasnya tamparan dari Kak Inggit barusan."Jangan kurang ajar kamu ya, Din! Aku bisa melaporkanmu ke mas Gagas nanti. Mau kamu jadi gembel di luar sana, jika aku melaporkanmu ke suamiku dan aku minta dia untuk mengusirmu dari rumah ini?" bentaknya menunjuk keningku dengan jari telunjuknya."Silahkan Kakak laporkan saja, memangnya kesalahan apa yang sudah Dina lakukan? bukankah malah Kakak sendiri yang tidak menghargai keberadaan aku dan ibu di rumah ini? Kakak sudah sewenang-wenang terhadap kami, bahkan menjadikan kami babu gratisan di rumah kami sendiri. Apa Kakak tidak sadar jika rumah yang saat ini Kakak tempati adalah rumah ibu, rumah yang dibangun kakakku untuk ibunya." Balasku tak mau kalah.Geram sekali aku mendengar perkataan kakak iparku yang menurutku sudah keterlaluan, apa yang ada di pikirannya sampai dia tega memerintahkan aku untuk memakai kasur bekas yang sudah tak layak pakai. Bukankah Bang Gagas memberinya uang belanja yang tidak sedikit? kenapa hanya sekedar membeli kasur untuk tempat tidur aku dan ibu saja dia begitu perhitungan.Ya setelah menikah kakakku memberikan semua gajinya untuk dikelola Kak Inggit, setelah waktu itu mereka sedikit berdebat karena Kak Inggit ingin semua keuangan dipegang olehnya. Ia berdalih Ibu sudah terlalu tua untuk mengurus segala tek-tek bengek rumah tangga, jadi Kak Inggit beralasan agar tak merepotkan Ibu dikemudian hari, namun nyatanya dia malah semakin merepotkan dengan menjatah Ibu hanya lima puluh ribu sehari untuk keperluan belanja, dan itu pun mencakup ongkos ku juga untuk berangkat kuliah.Kakakku bekerja di pelayaran yang pulangnya ke rumah tidak pasti, kadang bisa tiga bulan sekali atau bahkan setengah tahun dia baru bisa pulang. Dia begitu percaya meninggalkan aku dan Ibu hidup bersama Kak Inggit istrinya, mungkin dia pikir istrinya itu adalah wanita yang baik dan penuh kasih, sehingga kakakku tak punya pikiran buruk sedikitpun pada istri yang baru dinikahinya itu.Dengan besar hati Ibu menyetujui apa yang Kak Inggit inginkan, Ibu meminta Bang Gagas untuk menuruti kemauan istrinya agar semua keuangan rumah tangga dipegang Kak Inggit, dan akhirnya dari sanalah awal penderitaan aku dan Ibu dimulai.Setelah Bang Gagas kembali bekerja, Kak Inggit mulai menunjukan perangai buruknya, ia tak segan memerintah Ibu untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah, tanpa mau membantunya seperti awal-awal menikah ketika Bang Gagas masih belum berangkat kembali berlayar.Terkadang aku membantu Ibu mengerjakan semuanya, tapi saat aku ada jadwal kuliah terpaksa aku meninggalkan pekerjaan itu untuk dikerjakan Ibu sendiri, begitu tak tega rasanya melihat tubuh tua itu masih harus mengerjakan semua pekerjaan rumah seorang diri, terlebih lagi setelah kedatangan Kak Inggit ke rumah kami, seolah semua pekerjaan itu tak pernah ada habisnya.********"Ayok tidur sini, Din. Sudah malam besok kamu kan ada kuliah pagi, nanti matamu ada lingkaran hitamnya kalau tidak tidur. Apa anak gadis ibu ini tidak malu dilihat teman-temannya karena bermata panda?" seloroh ibu, sambil menepuk pinggir kasur yang sudah terbungkus rapi dengan seprai baru.Aku bergeming di tempatku duduk, masih kesal rasanya dengan sikap Ibu yang seolah takut dengan Kak Inggit. Ibu menghentikan perdebatan kami tadi dan membawa sendiri kasur lapuk itu dari gudang. Beliau menjemurnya sambil di pukul-pukulan menggunakan sapu lidi khusus, yang sering dipakai untuk membersihkan tempat tidur.Dan kini kasur itu sudah rapi terbungkus seprai baru yang wangi pengharum pakaian, namun tetap saja aku merasa tak nyaman, rasanya badanku gatal semua jika mengingat kasur itu begitu kotor tadi dan mungkin bisa saja membawa penyakit kedalam tubuh yang menidurinya."Aku mau mengadukan kelakuan Kak Inggit sama bang Gagas nanti, Bu. Dia sudah sangat keterlaluan, kalau dia memintaku sendiri yang pindah aku tak masalah, tapi ini dia begitu tidak sopan dengan memindahkan Ibu juga hanya agar orang tuanya nyaman, kenapa tidak orang tuanya saja yang diminta tidur di kamar belakang atau kalau mereka tidak mau, pakai saja kamar dilantai atas, toh isinya hanya tas-tas yang tak berguna,""Wah enaknya sekarang kamu sudah tidak perlu lagi mengontrak rumah, Nak." Terdengar ucapan bu Arum ibunya Kak Inggit. Begitu sampai di rumah kami. Matanya menoleh ke kiri dan kanan memperhatikan seisi ruangan rumah."Iya dong, Bu. Mas Gagas kan memberikan rumah ini untuk aku, istri kesayangannya." Sahut Kak Inggit membual.Aku hanya mencebik mendengar apa yang iparku katakan, enak saja dia mengaku-ngaku kalau rumah ini untuknya, dia sama sekali tidak menghargai aku juga ibuku sebagai tuan rumah yang sebenarnya. "Ayok Bu, kita ngobrol-ngobrol di ruang keluarga, Inggit sudah kangen sama Ibu dan Bapak."Kak Inggit pergi begitu saja, diikuti oleh orang tuanya begitu mereka selesai makan. Mereka bahkan meninggalkan meja makan dalam keadaan yang berantakan, tak ada basa-basi sama sekali untuk membantu ibuku membereskan barang-barang sisa makan barusan. Tanganku terkepal, rasanya sabar ku yang setipis tisu dibagi delapan ini sudah luluh lantak tak tersisa, namun lagi-lagi ibu menggenggam j
"Kamu butuh uang berapa untuk membeli kasur itu, Nak Dina? ini mungkin tidak banyak, tapi tolong pijitin bapak dulu ya badan bapak rasanya pegal-pegal sekali." Pak Wahyu menyodorkan dua lembar uang kertas berwarna merah dan satu lembar berwarna biru, tapi katanya aku harus memijit dulu tubuh lelaki paruh baya, yang berstatus bapak kandung kakak ipar ku itu."Maaf Dina tidak bisa melakukan itu, Pak. Saya bukan mahram Bapak, lagi pula saya bukan peminta-minta jadi tidak perlu Bapak memberikan uang itu kepada saya. Saya hanya meminta hak saya dan ibu kepada Kak Inggit karena abang saya mengamanahkan nafkah untuk kami dipegang oleh anak Bapak itu.""Healah sok-sokan menolak kamu tuh, Din. Sombong sekali! Toh apa yang diberikan Gagas kepada anak saya itu sepenuhnya hak Inggit, sudah bagus Inggit masih memberikanmu tempat tinggal dan makan dirumah ini secara cuma-cuma." Cibir pak Wahyu, matanya tak berkedip menatap ke arahku tajam, bagaikan elang yang tengah mengincar mangsanya.Sadar usaha
Tiba-tiba saja Kak Inggit sudah berada di belakangku, kulihat beberapa paperbag di tangannya sepertinya dia sudah mengajak orang tuanya shoping, terlihat dari begitu gembiranya orang tua Kak Inggit yang baru saja tiba menyusulnya masuk ke dalam rumah, dengan tentengan berbagai paperbag bertuliskan barang-barang yang harganya ku taksir lumayan menguras kantong."Kakak habis belanja banyak kelihatannya, Kakak belikan juga kasur buat Ibuku?" tanpa menjawab pertanyaannya, aku malah balik bertanya sambil mendelik memperhatikan gayanya dari atas rambut sampai ujung kaki, yang berdandan wah seperti seorang selebriti cetar membahana.Kak Inggit melengos, bukannya menjawab pertanyaanku dia malah melangkah menuju kulkas lalu mengambil minuman dingin kemudian menenggaknya hingga tandas."Kak ...!""Apa sih, Dina? tidak usah mengeraskan suaramu padaku, aku tidak tuli!" Bentaknya tak mau kalah."Ya habis, kakak kutanya bukannya menjawab malah cuek seperti tak perduli. Apakah kakak membelikan kasur
Kak Inggit membalikkan badannya, lalu menutup ponselnya dengan tangan mungkin agar Abangku tak mendengar pertanyaanku tadi pada istrinya."Husss ... jangan lancang mencuri dengar pembicaraanku, pergi sana bukankah kamu mau kuliah!" Dia menempelkan jari telunjuk di mulutnya, memberi isyarat supaya aku diam, pasti dia takut ketahuan tengah berbohong pada Abangku."Jangan mengadukan hal yang tidak pernah aku lakukan, Kak. Itu namanya kakak memfitnahku, sejak keuangan dipegang kakak mana pernah aku menerima bekal untuk kuliahku, buat uang bensin saja aku harus bisa menyisihkan uang sisa belanja, bahkan terkadang aku ditolong teman-teman untuk uang bensin sampai membuatku malu."Sengaja kukeraskan suaraku, agar Bang Gagas bisa mendengarnya lewat telpon yang masih tersambung, puas rasanya melihat wajah Kak Inggit yang kini sudah kusut masai mungkin dia tengah menahan emosinya yang siap meledak saat ini.("Halo, halo ....")Kudengar sayup-sayup suara Bang Gagas dari telpon yang masih di geng
Berjalan tergopoh, kuhampiri Ibuku yang terlihat kelelahan. Rasanya dada ini begitu sesak melihat Ibuku diperlakukan tak pantas oleh menantunya sendiri.Brak ...!"Aaa ... Dina apa yang kamu lakukan? lancang sekali kamu membuang barang-barangku seperti itu, awas saja jika barang-barang yang baru saja ku beli ini rusak!" Teriak kak Inggit melengking, begitu ku rebut paperbag-paperbag yang Ibu bawa dan melemparnya ke sembarang arah.Aku sudah tak bisa lagi menahan kesabaranku yang setipis kulit ari ini, rasanya makin hari perlakuan Kak Inggit makin menjadi. Memperlakukan Ibu tak ubahnya babu yang tak patut dihargai, dan buatku perlakuannya ini tak bisa di maafkan lagi."Masa bodoh dengan barang-barang itu, kenapa Kakak meminta Ibu membawakan barang-barang belanjaan mu, Kak? apa Kakak tidak lihat Ibu sedang tidak baik-baik saja!" Balasku tak mau kalah."Sudah Din, jangan ribut-ribut malu di dengar tetangga!""Biarkan saja, Bu. Kak Inggit sudah keterlaluan saat ini, kenapa dia harus mempe
Mendengar ancaman Ibu, tak ada lagi yang bisa kulakukan selain menuruti perintah beliau. "Kak, maafkan sikapku tadi."Kak Inggit memutar bola mata malas mendengar permintaan maaf dariku, orang tuanya pun sama tak menanggapi ketulusanku mereka kini malah sibuk dengan makanan yang tengah mereka santap dimeja makan.Tak ada sapaan atau basa-basi menawari Ibuku makan, padahal makanan yang ada di meja makan itu masih banyak dan beragam masakannya, sepertinya Kak Inggit memesannya secara online tadi."Kakak mau kan memaafkan aku?" ku lirik Ibu yang kini berada di sampingku, beliau mengangguk memberikan suntikan semangat agar aku tak kembali naik darah menghadapi kelakuan keluarga kakak iparku ini."Kak ....""Kami akan memaafkan mu tapi kamu harus menuruti apa yang aku perintahkan!" Bapaknya Kak Inggit yang menyahuti perkataanku dengan seringai aneh penuh misteri keluar dari bibirnya. "Bukankah begitu, Git?"Kak Inggit menganggukkan kepalanya sambil terus menikmati makanan di piringnya, tanp
Rasa perih menjalar di pipi sebelah kiriku, mungkin saat ini jika bisa kulihat wajahku sudah memerah menahan amarah. Kenapa lelaki tua itu bisa sampai menampar wajahku, apa dia tak berpikir dengan kata-katanya tadi yang menyulut ku untuk melakukan perlawanan padanya, tapi nyatanya dia sendiri tak terima aku katai seperti itu, padahal apa yang ku katakan tentang anaknya itulah yang sebenarnya.Terasa ada sedikit cairan hangat dari sudut bibir, ternyata dampak dari kerasnya tamparan itu membuat bibirku sedikit sobek pantas saja terasa perih saat kuraba dengan ujung jemari."Astagfirullah, Nduk, kamu kenapa?" Ibu tergopoh-gopoh datang dari kamar pasti karena beliau mendengar keributan yang terjadi antara aku dan Pak Wahyu."Apa yang sudah Bapak lakukan terhadap anak saya? kenapa pipi Dina sampai memar dan bibirnya terluka seperti ini?" tanya Ibu tak terima."Anakmu ini sudah lancang mengata-ngatai Inggit anakku, makanya didiklah anakmu dengan baik agar dia bisa menghormati orang tua!" Jaw
Tanpa membantah aku pun memencet nomor yang tertera dengan nama Abangku di ponsel yang kupegang, namun saat ku hubungi hanya operator yang menjawab jika saat ini Abangku tengah berada dalam panggilan lain, itu berarti saat ini ponselnya sedang dipakai Abangku menelpon dengan orang lain. Biarlah kucoba lagi nanti pikirku."Nomor bang Gagas sedang sibuk, Bu. Kelihatannya abang tengah teleponan dengan orang lain." Ucapku.Ibu mengangguk lemah. "Coba nanti kamu telpon lagi jika sudah agak lama ya, Din!""Baik, Bu." Jawabku singkat.Astagfirullah detak jam di dinding menyadarkan aku jika aku belum sholat dzuhur, karena drama dari keluarga dagelan itu aku sampai lupa menunaikan kewajibanku sebagai seorang muslimah."Dina sholat dulu ya, Bu. Ibu sudah sholat dzuhur?"Ibuku mengangguk, tanpa menoleh pun tanpa suara yang keluar untuk menyahuti pertanyaanku. Hatiku merasa terbebani jika melihat Ibu seperti itu seolah kekuatanku melemah, Ibu adalah semangatku selama ini dan jika beliau berduka m