"Bu, mulai malam ini ibu dan Dina pindah tidurnya dikamar belakang ya, orang tuaku mau menginap soalnya!"
Kak Inggit menjulurkan kepalanya melongok kedalam kamar yang ibu dan aku tempati. Wanita yang baru dinikahi selama satu bulan oleh abangku itu meminta kami mengosongkan kamar yang sudah sejak dulu ibu tempati, sejak rumah ini baru dibangun bang Gagas untuk hunian kami."Loh kan di atas masih ada kamar, Kak. Kok malah minta kami pindah ke belakang, di belakang kamarnya sempit mana muat untuk aku dan ibu. Lagi pula tak ada kasurnya di sana.""Ya dibersihkan dong, Din! Jangan manja kamu jadi perempuan, jangan mau enaknya saja! Nanti kasurnya aku kasih, yang penting bereskan dulu barang-barang mu dan ibu, jangan lupa juga bereskan kamarnya sekalian ya, Din! Aku gak mau jika ibu dan bapakku nanti kurang nyaman tidurnya."Kak Inggit pergi kembali masuk ke kamarnya, setelah meminta kami pindah dari kamar yang kami tempati. Dia bahkan tidak memikirkan bagaimana perasaan ibuku sebagai mertuanya, apa dia lupa kalau rumah ini dibangun sebelum dia masuk kedalam keluarga kami, tapi seenaknya saja sekarang dia menjadi nyonya yang sok berkuasa dirumah abangku yang sebenarnya dibangun untuk ibu dimasa tuanya.Aku berdiri dari dudukku, berniat untuk mengejar Kak inggit yang seenaknya saja pergi setelah memberikan perintah yang menurutku sangat merugikan untukku dan ibu, bukankah di lantai atas pun masih tersedia satu kamar kosong yang tadinya adalah kamarku, dan setelah ia masuk ke rumah ini kamar ku itu dirampasnya pula, dengan alasan untuk menyimpan semua barang-barang barandednya yang katanya akan rusak jika tak ditaruh di tempat khusus.Walaupun dengan berat hati, akhirnya aku mengalah untuk ketentraman keluarga kami. Namun sekarang ia berulah lagi dengan memindahkan kembali aku dan ibu dari kamar yang kami tempati saat ini, terlebih lagi dia meminta kami untuk pindah ke kamar belakang yang dulu sempat dibuat bang Gagas untuk kamar asisten rumah tangga, namun ibu tidak ingin memakai asisten rumahtangga karena katanya beliau saja masih sanggup mengurus rumah dan keluarganya sendiri."Sudahlah, Din, turuti saja permintaan Inggit! Ibu tak ingin nanti malah jadi masalah, toh mungkin hanya untuk sementara saat orang tuanya berkunjung saja, nanti setelah orang tuanya pulang kita pindah lagi ke kamar semula," ucap ibu menenangkanku. Ibu mencegahku untuk mengejar Kak inggit karena tak ingin ada keributan antara kami.Memang setelah Bang Gagas kembali bekerja setelah masa cuti menikahnya selesai, perangai asli kakak iparku itu baru terlihat, dia yang tadinya begitu lembut dan santun terhadap ibuku mulai berani memerintah, bahkan meminta ibuku melayaninya seperti ibuku itu adalah babu di rumah kami sendiri.Aku sudah sering menegurnya untuk tak berbuat seperti itu pada ibuku, namun akhirnya hanya terjadi keributan diantara kami, karena menurut Kak Inggit aku hanyalah anak kecil yang tak sepantasnya membantah apa yang dikatakannya.Entahlah Abangku itu menemukan istrinya ini dimana, kenapa dia tak berusaha mengenal dahulu lebih jauh karakter serta sifatnya. Atau memang mungkin Kak Inggit yang terlalu pintar bersandiwara di depan abangku, ia yang terlihat lembut dan penuh kasih jika di depan suaminya nyatanya perlakuannya sangat menyebalkan, terkesan tidak menghargai dan tidak mempunyai sopan santun sama sekali, bahkan terhadap Ibu yang notabene adalah mertuanya sendiri."Ayok Din kita mulai bereskan barang-barangnya, jangan sampai nanti kakak iparmu kembali berteriak-teriak, tidak enak didengar orang!" Perintah Ibuku, kemudian beliau mengambil tas koper dari atas lemari dan mulai memasukan barang-barang kami kedalam tas besar itu, seolah kami akan pindah saja dari rumah ini."Kenapa sih Ibu harus selalu menuruti apa yang kak Inggit perintahkan? Ibu ini kan ibu dari suaminya, sudah seharusnya dia menghormati Ibu seperti dia menghormati orang tuanya sendiri, Bu." Sungutku kesal, tak urung jua tangan ini cekatan membantu Ibu membereskan baju-baju kami kedalam koper."Sudahlah, Din. Jangan diambil hati, mungkin kakak iparmu belum terbiasa hidup bersama kita, Din."Selalu saja Ibu berkata seperti itu setiap kali aku protes dengan sikap lemah lembutnya, walaupun kakak iparku sudah berbuat diluar batas padanya. Aku tak mengerti terbuat dari apa hati ibuku sampai bisa sesabar itu, walaupun diperlakukan seenaknya dirumah sendiri oleh seorang menantu yang notabene baru saja masuk menjadi bagian dari keluarga kami.Setelah beberapa saat berkutat dengan debu-debu, akhirnya beres juga aku dan Ibu membenahi kamar yang akan menjadi tempat istirahat kami untuk beberapa hari ke depan, semoga saja orang tua Kak Inggit tidak lama menginap di rumah kami agar aku dan ibu bisa secepatnya kembali tidur di kamar kami seperti semula.Bukan aku tak senang jika keluarga kakak iparku itu berkunjung, tapi jika harus mengorbankan aku dan ibu rasanya tidak etis saja, terlebih kami diperlakukan seperti itu di rumah kami sendiri."Dina, ikut kakak! Kamu ambil kasur untuk tidurmu dan ibu nanti!" Perintahnya ketika aku baru saja keluar dari kamar belakang.Aku mengangguk sambil mengekori Kak Inggit di belakangnya. "Loh Kak, ini kan gudang, apa kasur barunya kakak simpan di gudang?" tanyaku penuh selidik."Itu kasurnya, ambilah untuk disimpan di kamar barumu dan ibu," tunjuk kak Inggit ke sebuah kasur yang teronggok di pojok gudang yang terlihat kotor penuh debu. Ku tajamkan penglihatanku, merasa tak percaya dengan barang apa yang ditunjukan oleh kakak iparku ini, sebuah kasur busa lapuk yang sudah teronggok di gudang ini selama puluhan tahun bekas ibu dulu yang sudah tak terpakai lagi.Aku menatap kak Inggit geram, tanpa berperasaan dia menunjuk kasur busa yang sudah lapuk bekas pakai ibu puluhan tahun lalu, kasur yang sudah lama teronggok di gudang. "Yang benar saja, Kak! Masa Kakak ingin aku dan ibu tidur di kasur lapuk yang sudah lama tak dipakai, kasur itu pasti sudah sangat kotor dan penuh debu karena lama berada di gudang ini, lagi pula kasur itu sudah tak layak pakai, Kak.""Memangnya kenapa, Dina? kamu kan bisa menjemur kasur itu sebelum dipakai, bisa dipakaikan seprai baru juga, begitu saja kok repot." Jawabnya tak perduli. "Lagipula kalau beli kasur baru sayang uangnya, Din. Mending pergunakan barang yang ada untuk menghemat pengeluaran.""Aku tidak mau, jika kakak bersikeras memintaku untuk memakai kasur itu lebih baik aku dan ibu kembali ke kamar kami semula, biar orang tua Kakak saja yang tidur dikamar belakang memakai kasur itu." Tukasku yang tak terima dengan keputusannya.Plak ...!Pipi ini terasa perih dan panas setelah satu tamparan mendarat denga
"Wah enaknya sekarang kamu sudah tidak perlu lagi mengontrak rumah, Nak." Terdengar ucapan bu Arum ibunya Kak Inggit. Begitu sampai di rumah kami. Matanya menoleh ke kiri dan kanan memperhatikan seisi ruangan rumah."Iya dong, Bu. Mas Gagas kan memberikan rumah ini untuk aku, istri kesayangannya." Sahut Kak Inggit membual.Aku hanya mencebik mendengar apa yang iparku katakan, enak saja dia mengaku-ngaku kalau rumah ini untuknya, dia sama sekali tidak menghargai aku juga ibuku sebagai tuan rumah yang sebenarnya. "Ayok Bu, kita ngobrol-ngobrol di ruang keluarga, Inggit sudah kangen sama Ibu dan Bapak."Kak Inggit pergi begitu saja, diikuti oleh orang tuanya begitu mereka selesai makan. Mereka bahkan meninggalkan meja makan dalam keadaan yang berantakan, tak ada basa-basi sama sekali untuk membantu ibuku membereskan barang-barang sisa makan barusan. Tanganku terkepal, rasanya sabar ku yang setipis tisu dibagi delapan ini sudah luluh lantak tak tersisa, namun lagi-lagi ibu menggenggam j
"Kamu butuh uang berapa untuk membeli kasur itu, Nak Dina? ini mungkin tidak banyak, tapi tolong pijitin bapak dulu ya badan bapak rasanya pegal-pegal sekali." Pak Wahyu menyodorkan dua lembar uang kertas berwarna merah dan satu lembar berwarna biru, tapi katanya aku harus memijit dulu tubuh lelaki paruh baya, yang berstatus bapak kandung kakak ipar ku itu."Maaf Dina tidak bisa melakukan itu, Pak. Saya bukan mahram Bapak, lagi pula saya bukan peminta-minta jadi tidak perlu Bapak memberikan uang itu kepada saya. Saya hanya meminta hak saya dan ibu kepada Kak Inggit karena abang saya mengamanahkan nafkah untuk kami dipegang oleh anak Bapak itu.""Healah sok-sokan menolak kamu tuh, Din. Sombong sekali! Toh apa yang diberikan Gagas kepada anak saya itu sepenuhnya hak Inggit, sudah bagus Inggit masih memberikanmu tempat tinggal dan makan dirumah ini secara cuma-cuma." Cibir pak Wahyu, matanya tak berkedip menatap ke arahku tajam, bagaikan elang yang tengah mengincar mangsanya.Sadar usaha
Tiba-tiba saja Kak Inggit sudah berada di belakangku, kulihat beberapa paperbag di tangannya sepertinya dia sudah mengajak orang tuanya shoping, terlihat dari begitu gembiranya orang tua Kak Inggit yang baru saja tiba menyusulnya masuk ke dalam rumah, dengan tentengan berbagai paperbag bertuliskan barang-barang yang harganya ku taksir lumayan menguras kantong."Kakak habis belanja banyak kelihatannya, Kakak belikan juga kasur buat Ibuku?" tanpa menjawab pertanyaannya, aku malah balik bertanya sambil mendelik memperhatikan gayanya dari atas rambut sampai ujung kaki, yang berdandan wah seperti seorang selebriti cetar membahana.Kak Inggit melengos, bukannya menjawab pertanyaanku dia malah melangkah menuju kulkas lalu mengambil minuman dingin kemudian menenggaknya hingga tandas."Kak ...!""Apa sih, Dina? tidak usah mengeraskan suaramu padaku, aku tidak tuli!" Bentaknya tak mau kalah."Ya habis, kakak kutanya bukannya menjawab malah cuek seperti tak perduli. Apakah kakak membelikan kasur
Kak Inggit membalikkan badannya, lalu menutup ponselnya dengan tangan mungkin agar Abangku tak mendengar pertanyaanku tadi pada istrinya."Husss ... jangan lancang mencuri dengar pembicaraanku, pergi sana bukankah kamu mau kuliah!" Dia menempelkan jari telunjuk di mulutnya, memberi isyarat supaya aku diam, pasti dia takut ketahuan tengah berbohong pada Abangku."Jangan mengadukan hal yang tidak pernah aku lakukan, Kak. Itu namanya kakak memfitnahku, sejak keuangan dipegang kakak mana pernah aku menerima bekal untuk kuliahku, buat uang bensin saja aku harus bisa menyisihkan uang sisa belanja, bahkan terkadang aku ditolong teman-teman untuk uang bensin sampai membuatku malu."Sengaja kukeraskan suaraku, agar Bang Gagas bisa mendengarnya lewat telpon yang masih tersambung, puas rasanya melihat wajah Kak Inggit yang kini sudah kusut masai mungkin dia tengah menahan emosinya yang siap meledak saat ini.("Halo, halo ....")Kudengar sayup-sayup suara Bang Gagas dari telpon yang masih di geng
Berjalan tergopoh, kuhampiri Ibuku yang terlihat kelelahan. Rasanya dada ini begitu sesak melihat Ibuku diperlakukan tak pantas oleh menantunya sendiri.Brak ...!"Aaa ... Dina apa yang kamu lakukan? lancang sekali kamu membuang barang-barangku seperti itu, awas saja jika barang-barang yang baru saja ku beli ini rusak!" Teriak kak Inggit melengking, begitu ku rebut paperbag-paperbag yang Ibu bawa dan melemparnya ke sembarang arah.Aku sudah tak bisa lagi menahan kesabaranku yang setipis kulit ari ini, rasanya makin hari perlakuan Kak Inggit makin menjadi. Memperlakukan Ibu tak ubahnya babu yang tak patut dihargai, dan buatku perlakuannya ini tak bisa di maafkan lagi."Masa bodoh dengan barang-barang itu, kenapa Kakak meminta Ibu membawakan barang-barang belanjaan mu, Kak? apa Kakak tidak lihat Ibu sedang tidak baik-baik saja!" Balasku tak mau kalah."Sudah Din, jangan ribut-ribut malu di dengar tetangga!""Biarkan saja, Bu. Kak Inggit sudah keterlaluan saat ini, kenapa dia harus mempe
Mendengar ancaman Ibu, tak ada lagi yang bisa kulakukan selain menuruti perintah beliau. "Kak, maafkan sikapku tadi."Kak Inggit memutar bola mata malas mendengar permintaan maaf dariku, orang tuanya pun sama tak menanggapi ketulusanku mereka kini malah sibuk dengan makanan yang tengah mereka santap dimeja makan.Tak ada sapaan atau basa-basi menawari Ibuku makan, padahal makanan yang ada di meja makan itu masih banyak dan beragam masakannya, sepertinya Kak Inggit memesannya secara online tadi."Kakak mau kan memaafkan aku?" ku lirik Ibu yang kini berada di sampingku, beliau mengangguk memberikan suntikan semangat agar aku tak kembali naik darah menghadapi kelakuan keluarga kakak iparku ini."Kak ....""Kami akan memaafkan mu tapi kamu harus menuruti apa yang aku perintahkan!" Bapaknya Kak Inggit yang menyahuti perkataanku dengan seringai aneh penuh misteri keluar dari bibirnya. "Bukankah begitu, Git?"Kak Inggit menganggukkan kepalanya sambil terus menikmati makanan di piringnya, tanp
Rasa perih menjalar di pipi sebelah kiriku, mungkin saat ini jika bisa kulihat wajahku sudah memerah menahan amarah. Kenapa lelaki tua itu bisa sampai menampar wajahku, apa dia tak berpikir dengan kata-katanya tadi yang menyulut ku untuk melakukan perlawanan padanya, tapi nyatanya dia sendiri tak terima aku katai seperti itu, padahal apa yang ku katakan tentang anaknya itulah yang sebenarnya.Terasa ada sedikit cairan hangat dari sudut bibir, ternyata dampak dari kerasnya tamparan itu membuat bibirku sedikit sobek pantas saja terasa perih saat kuraba dengan ujung jemari."Astagfirullah, Nduk, kamu kenapa?" Ibu tergopoh-gopoh datang dari kamar pasti karena beliau mendengar keributan yang terjadi antara aku dan Pak Wahyu."Apa yang sudah Bapak lakukan terhadap anak saya? kenapa pipi Dina sampai memar dan bibirnya terluka seperti ini?" tanya Ibu tak terima."Anakmu ini sudah lancang mengata-ngatai Inggit anakku, makanya didiklah anakmu dengan baik agar dia bisa menghormati orang tua!" Jaw