Share

Kasur Lapuk Untuk Ibu
Kasur Lapuk Untuk Ibu
Penulis: Fatimah humaira

Bab 1

"Bu, mulai malam ini ibu dan Dina pindah tidurnya dikamar belakang ya, orang tuaku mau menginap soalnya!"

Kak Inggit menjulurkan kepalanya melongok kedalam kamar yang ibu dan aku tempati. Wanita yang baru dinikahi selama satu bulan oleh abangku itu meminta kami mengosongkan kamar yang sudah sejak dulu ibu tempati, sejak rumah ini baru dibangun bang Gagas untuk hunian kami.

"Loh kan di atas masih ada kamar, Kak. Kok malah minta kami pindah ke belakang, di belakang kamarnya sempit mana muat untuk aku dan ibu. Lagi pula tak ada kasurnya di sana."

"Ya dibersihkan dong, Din! Jangan manja kamu jadi perempuan, jangan mau enaknya saja! Nanti kasurnya aku kasih, yang penting bereskan dulu barang-barang mu dan ibu, jangan lupa juga bereskan kamarnya sekalian ya, Din! Aku gak mau jika ibu dan bapakku nanti kurang nyaman tidurnya."

Kak Inggit pergi kembali masuk ke kamarnya, setelah meminta kami pindah dari kamar yang kami tempati. Dia bahkan tidak memikirkan bagaimana perasaan ibuku sebagai mertuanya, apa dia lupa kalau rumah ini dibangun sebelum dia masuk kedalam keluarga kami, tapi seenaknya saja sekarang dia menjadi nyonya yang sok berkuasa dirumah abangku yang sebenarnya dibangun untuk ibu dimasa tuanya.

Aku berdiri dari dudukku, berniat untuk mengejar Kak inggit yang seenaknya saja pergi setelah memberikan perintah yang menurutku sangat merugikan untukku dan ibu, bukankah di lantai atas pun masih tersedia satu kamar kosong yang tadinya adalah kamarku, dan setelah ia masuk ke rumah ini kamar ku itu dirampasnya pula, dengan alasan untuk menyimpan semua barang-barang barandednya yang katanya akan rusak jika tak ditaruh di tempat khusus.

Walaupun dengan berat hati, akhirnya aku mengalah untuk ketentraman keluarga kami. Namun sekarang ia berulah lagi dengan memindahkan kembali aku dan ibu dari kamar yang kami tempati saat ini, terlebih lagi dia meminta kami untuk pindah ke kamar belakang yang dulu sempat dibuat bang Gagas untuk kamar asisten rumah tangga, namun ibu tidak ingin memakai asisten rumahtangga karena katanya beliau saja masih sanggup mengurus rumah dan keluarganya sendiri.

"Sudahlah, Din, turuti saja permintaan Inggit! Ibu tak ingin nanti malah jadi masalah, toh mungkin hanya untuk sementara saat orang tuanya berkunjung saja, nanti setelah orang tuanya pulang kita pindah lagi ke kamar semula," ucap ibu menenangkanku. Ibu mencegahku untuk mengejar Kak inggit karena tak ingin ada keributan antara kami.

Memang setelah Bang Gagas kembali bekerja setelah masa cuti menikahnya selesai, perangai asli kakak iparku itu baru terlihat, dia yang tadinya begitu lembut dan santun terhadap ibuku mulai berani memerintah, bahkan meminta ibuku melayaninya seperti ibuku itu adalah babu di rumah kami sendiri.

Aku sudah sering menegurnya untuk tak berbuat seperti itu pada ibuku, namun akhirnya hanya terjadi keributan diantara kami, karena menurut Kak Inggit aku hanyalah anak kecil yang tak sepantasnya membantah apa yang dikatakannya.

Entahlah Abangku itu menemukan istrinya ini dimana, kenapa dia tak berusaha mengenal dahulu lebih jauh karakter serta sifatnya. Atau memang mungkin Kak Inggit yang terlalu pintar bersandiwara di depan abangku, ia yang terlihat lembut dan penuh kasih jika di depan suaminya nyatanya perlakuannya sangat menyebalkan, terkesan tidak menghargai dan tidak mempunyai sopan santun sama sekali, bahkan terhadap Ibu yang notabene adalah mertuanya sendiri.

"Ayok Din kita mulai bereskan barang-barangnya, jangan sampai nanti kakak iparmu kembali berteriak-teriak, tidak enak didengar orang!" Perintah Ibuku, kemudian beliau mengambil tas koper dari atas lemari dan mulai memasukan barang-barang kami kedalam tas besar itu, seolah kami akan pindah saja dari rumah ini.

"Kenapa sih Ibu harus selalu menuruti apa yang kak Inggit perintahkan? Ibu ini kan ibu dari suaminya, sudah seharusnya dia menghormati Ibu seperti dia menghormati orang tuanya sendiri, Bu." Sungutku kesal, tak urung jua tangan ini cekatan membantu Ibu membereskan baju-baju kami kedalam koper.

"Sudahlah, Din. Jangan diambil hati, mungkin kakak iparmu belum terbiasa hidup bersama kita, Din."

Selalu saja Ibu berkata seperti itu setiap kali aku protes dengan sikap lemah lembutnya, walaupun kakak iparku sudah berbuat diluar batas padanya. Aku tak mengerti terbuat dari apa hati ibuku sampai bisa sesabar itu, walaupun diperlakukan seenaknya dirumah sendiri oleh seorang menantu yang notabene baru saja masuk menjadi bagian dari keluarga kami.

Setelah beberapa saat berkutat dengan debu-debu, akhirnya beres juga aku dan Ibu membenahi kamar yang akan menjadi tempat istirahat kami untuk beberapa hari ke depan, semoga saja orang tua Kak Inggit tidak lama menginap di rumah kami agar aku dan ibu bisa secepatnya kembali tidur di kamar kami seperti semula.

Bukan aku tak senang jika keluarga kakak iparku itu berkunjung, tapi jika harus mengorbankan aku dan ibu rasanya tidak etis saja, terlebih kami diperlakukan seperti itu di rumah kami sendiri.

"Dina, ikut kakak! Kamu ambil kasur untuk tidurmu dan ibu nanti!" Perintahnya ketika aku baru saja keluar dari kamar belakang.

Aku mengangguk sambil mengekori Kak Inggit di belakangnya. "Loh Kak, ini kan gudang, apa kasur barunya kakak simpan di gudang?" tanyaku penuh selidik.

"Itu kasurnya, ambilah untuk disimpan di kamar barumu dan ibu," tunjuk kak Inggit ke sebuah kasur yang teronggok di pojok gudang yang terlihat kotor penuh debu. Ku tajamkan penglihatanku, merasa tak percaya dengan barang apa yang ditunjukan oleh kakak iparku ini, sebuah kasur busa lapuk yang sudah teronggok di gudang ini selama puluhan tahun bekas ibu dulu yang sudah tak terpakai lagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status