Bu Siti tak menyangka jika menantunya yang begitu lembut, Yang selama ini memperlakukannya dengan penuh kasih dan juga penuh hormat selayaknya kepada ibu kandungnya sendiri, nyatanya hanya kamuflase belaka untuk menutupi sifat aslinya dari sang suami. Seperti apa kehidupan keluarga Bu Siti setelah kedatangan Inggit, menantu yang disangkanya akan menjadi pelengkap keluarga mereka? akankah seperti yang dibayangkannya selama ini, atau malah sebaliknya?
View More"Din, aku akan menceraikan Aisyah setelah pengobatannya selesai, tolong tunggu aku sebentar lagi Din, ku mohon!""Apa maksudmu, Mas ...?"Tanya Aisyah menatap kearah kami, dua orang yang kini berada di depannya. Aku yang tidak mau kembali mendapatkan kesalahpahaman dari Aisyah, secepatnya menghampiri sahabatku kemudian mengusap bahunya lembut."Selesaikanlah masalah kalian, maaf aku tidak ingin ikut campur dan kembali terseret di dalamnya, Aish!"Tanpa menunggu jawaban Aisyah, aku segera kembali ke ruang tamu meninggalkan pasangan suami istri itu agar menyelesaikan berdua masalah mereka, aku tidak ingin lagi jika harus sampai terseret kedalam masalah besar diantara keduanya. "Kemana, Nak Aisyah sama suaminya, Nduk? apakah mereka sudah pulang?""Belum, Bu. Mereka ada di taman belakang." Jawabku sambil tetap menimang Jingga yang masih saja terdengar rewel."Jingga kenapa to, Nduk? nenek dengarkan dari tadi kok kamu tuh rewel terus, Nduk." Ucap ibuku terdengar khawatir.Ibu menghampiri
"Assalamualaikum," Alhamdulillah ada orang yang bertamu ketika kami sedang membahas masalah kantor itu, dan ternyata Uti juga Mas Zaidan yang datang. MasyaAllah pemuda yang katanya kakak laki-lakinya putri itu begitu bersahaja dengan penampilannya yang sederhana dan terlihat alim, sampai-sampai tak sengaja aku malah terus menatap wajahnya yang penuh karisma.Tepukan halus dipundakku membuayarkan lamumanku, kini kutatap mereka yang malah menatapku penuh curiga."Wa'alaikumussalam, eh Uti ayok masuk!" Sahutku sambil memberikan segaris senyum simpul untuk sahabatku putri, untuk sekedar menghilangkan kecanggungan yang sempat terasa.Kami berpelukan, lalu duduk di sofa dekat Bang Gagas sedangkan Mas zaidan hanya mengatupkan lengannya di dada kemudian duduk di samping Mas Yaseer, yang kini menatapnya lekat penuh misteri."Maaf, Din aku baru tahu kalau kakak iparmu baru saja dipanggil yang Maha Kuasa, maaf karena kami baru sempat melayat ke sini." Ucap Uti penuh penyesalan."Tidak apa-apa,
"Wa'alaikumussalam, mari silahkan mas—" mulutku tiba-tiba terdiam, ketika tahu siapa yang berdiri diambang pintu untuk bertamu kerumahku saat ini.Laki-laki yang bertamu kerumahku itu tersenyum-senyum penuh arti wajah tengilnya benar-benar membuatku gerah, ingin kuusir saja rasanya tapi aku takut jika bang Gagags apalahi ibu tahu aku melakukan itu bisa-bisa mereka murka dan menceramahiku panjang lebar."Jangan terkesima dengan ketampananku, bukankah kita sudah sering kali bertemu. Apakah karena wajah imut nan mempesona ku ini, sehingga kamu pasti akan selalu dan selalu terkesima dengan ketampananku, Dek." Ucap laki-laki tengil sahabat Abangku itu.Aku memutar bola mata malas mendengar ocehannya yang tidak bermutu itu. "Untuk apa kamu kemari? bang Gagas tidak ada di rumah jadi pulang saja sana, nanti saja janjian lagi tapi kalau bisa ketemuannya di luar saja jangan di rumah ini." Ketusku kesal. Alih-alih marah atau kesal mendengar jawabanku, Mas Yaseer malah terkekeh. Wajah tengil itu
"Ma-maaf kan Inggit, Bu! Inggit sudah banyak salah sama kalian. Ma-mas Ga-gas ...." Belum selesai perkataannya, tiba-tiba saja kak Inggit terlihat kejang seolah untuk menghirup udara saja begitu sulit baginya."Ya Allah, Nak! Inggit, sudah jangan terlalu banyak bicara dulu, Nak. Din, tolong panggilkan dokter, Nduk!" Ibu terlihat begitu panik, saat melihat kondisi Kak Inggit yang semakin mengkhawatirkan.Saat aku akan beranjak, ternyata Bang Gagas sudah mendahului, dia tergopoh-gopoh pergi keluar lalu terdengar memanggil-manggil dokter dengan suara lantangnya. MasyaAllah, sungguh Allah yang maha membolak balikan hati manusia, Abangku yang sejak dari rumah bermuka masam tak enak di pandang, karena merasa enggan dan juga terpaksa untuk menjenguk kak Inggit di rumah sakit, nyatanya setelah melihat sendiri keadaan wanita yang pernah menjadi sebagian dari hidupnya dalam keadaan tergolek lemah tak berdaya, dengan kondisi tubuh yang 180°jauh berbeda dengan Kak Inggit yang dulu, nyatanya mamp
Hmmmm ....Aku menghela nafas kasar, mendengar penuturan Aisyah barusan. Ternyata dalang dari semua ini adalah bibinya Aisyah, yang memang dia tidak suka padaku juga ibu. Entah apa alasannya, mungkin karena waktu itu kami menumpang hidup di rumah keponakannya mungkin mereka mengira jika aku dan ibu hanya memanfaatkan kebaikan Aisyah, atau malah ada pikiran lain dihati mereka aku pun tidak tahu itu."Kenapa kamu tidak menanyakannya padaku, Aish? kamu kan bisa bertanya baik-baik tentang apa yang terjadi dalam foto itu, tidak harus menelan bulat-bulat apa yang dikatakan orang, padahal kamu sendiri belum tahu kebenarannya."Aisyah masih tergugu dalam tangisnya, dia hanya bisa menunduk seolah tidak berani menatap kearahku. "Maafkan aku , Din. Aku salah, karena sudah termakan hasutan paman dan bibi yang berkata buruk tentangmu." Ucap Aisyah akhirnya.Kupeluk sahabatku itu erat, mengelus punggungnya hanya sekedar memberikan semangat juga kekuatan agar ia bisa kembali ceria seperti Aisyah ya
"Bagaimana, sudah janjiannya dengan suamiku? apa yang kamu minta darinya, menceraikan aku lalu secepatnya menikahimu?" todong Aisyah, ketika baru saja aku sampai didepannya."Ayok masuk dulu, Aish kita bicarakan di dalam. Jangan di sini tidak enak dilihat orang!" Aku menggamit jemari Aisyah, berusaha mengajaknya masuk kedalam rumah. Namun dengan kasar dia menepis genggaman tanganku, matanya nyalang menatap kearahku tajam."Kenapa? kamu malu jika sampai orang-orang dilingkungan ini tahu jika kamu ini adalah wanita murahan? wanita pelakor berkedok seorang sahabat!" Teriaknya emosi, sambil menunjuk-nunjuk wajahku dengan jari telunjuknya."Pelankan suaramu, Aisyah! Apa yang kamu tuduhkan padaku itu tidak benar, itu fitnah. Bagaimana mungkin aku sampai merebut suamimu, Aish kamu pasti tahu kan aku seperti apa, itu bukanlah gayaku, Aish!""Dasar wanita munafik ...! Berapa bayaran yang kamu mau untuk meninggalkan suamiku, hah? seratus, duaratus atau mungkin limaratus juta? sebutkan saja, aku
"Bukannya ini anak kakak iparmu, Din? Kok mau-maunya sih kamu mengurus bayi dari orang berpenyakit kotor itu, jangan-jangan anak ini juga penyakitan lagi." tak ada angin tak ada hujan, Bu Lela tetangga sebrang rumah tiba-tiba menyapa pagiku dan Jingga dengan mulut nyinyirnya."Apa maksud perkataan ibu pada anak saya, siapa yang ibu bilang anak penyakitan?" Jawabku meradang tak terima dengan perkataannya."Jangan pura-pura bodoh, Dina! Bukankah si Inggit itu terkena penyakit HIV, bisa saja kan penyakit itu juga menular pada Kakak laki-lakimu dan juga anaknya ini. Eh dengar-dengar dia ini juga bukan anaknya kakak mu, kan?" Kekeh Bu Lela terdengar mengejek."Jaga bicara ibu, Ya jangan asal jeplak saja tu mulut, Jingga anak saya ini bersih dari segala penyakit, termasuk abang saya Gagas. Lagipula apa urusannya dengan ibu jika Jingga ini anak abang saya atau bukan, kan kami juga tidak merepotkan, Ibu, tidak juga meminta makan dari Bu Lela." Cerocosku tidak mau kalah.Lagian jadi orang kok
"Apakah kalian sedang mengghibahkan, aku?" tegur seseorang dari belakang."Aisyah ...?" ucapku begitu menengok ke arah belakang, dimana suara teguran itu berasal."Iya ini aku, kenapa kamu terkejut? apakah karena ketahuan tengah menggunjingku, Dina!" Sahut Aisyah sinis."Tidak seperti itu, Aish. Tadi aku bertanya kepada Dina, kenapa akhir-akhir ini kalian tidak seperti dulu yang selalu bersama-bersama, padahal yang kutahu kamu dan Dina itu sudah seperti saudari kandung." Ucap Putri meluruskan.Aisyah memutar bola mata malas mendengar pembelaan yang Uti lontarkan, seolah apa yang baru saja didengarnya hanyalah omong kosong belaka. "Apakabar, Din? mana ibu, dan abangmu?" tiba-tiba saja, Mas Bimo datang menghampiri, lalu menanyakan keberadaan keluargaku.Sontak saja aku langsung melirik Aisyah, takut malah salah paham nya bertambah parah padaku. Masalahnya saja belum sempat aku luruskan, belum sempat juga untuk mengklarifikasi apa yang Aisyah tuduhkan padaku. Kini malah laki-laki ini da
Sejak hari itu aku selalu kepikiran dengan perkataan Aisyah yang menyebutku sebagai seorang pelakor, aku tak terima karena itu tidaklah benar adanya. Namun bagaimana aku harus menjelaskannya karena untuk berbicara dengannya saja sekarang ini sangatlah sulit. Jangankan untuk mengobrol, sekarang Aisyah malah semakin menjaga jarak, dia seolah jijik berdekatan denganku saat ini. Entah darimana dia bisa punya pemikiran picik seperti itu, menganggap ku seorang pelakor tanpa ada bukti, atau pun menanyakannya terlebih dahulu kebenarannya padaku.******Setelah banyak drama ku lalui, akhirnya sampailah aku dititik dimana merasa bangga atas pencapaian ku dalam mencari ilmu, kurang lebih satu minggu lagi acara wisudaku di gelar, ibu begitu antusias menyambutnya, begitu pula dengan Bang Gagas yang masih saja terus merayuku untuk membantunya dikantor. Namun aku masih belum bersedia karena masih ingin membantu ibu di rumah dengan usaha kuenya, walaupun kini sudah ada tiga pekerja yang membantun
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.