Di sebuah kamar yang cukup luas, kedua insan itu masih terlibat obrolan serius. Mata mereka belum terpejam. Keduanya masih hanyut, membahas kisah mereka yang dulu. Di dalam hati terdalam, masih ada kekaguman Jihan terhadap lelaki di sampingnya. Tidak terkecuali, Arka. Ketabahannya menunggu, tidak diragukan lagi. "Han!""Iya, Mas." Jihan menoleh ke sisi kanannya. Lelaki itu sedang berbaring sambil menatap langit kamar."Aku ingin bercerita, tapi posisimu terlalu jauh. Apakah kau tidak ingin mendekat? Berbaringlah di sisiku!" ucap Arka dengan seringai senang."Mas!" Pipi Jihan seketika merah merona karena godaan suaminya. "Kenapa? Naya sudah tidur 'kan?" Lelaki bermata tajam itu membalikkan badan dan menghadap ke arah Jihan.Wanita di hadapannya tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut, karena memang benar putrinya sudah tidur. Arka mendekatkan dan menyandarkan kepala Jihan ke dadanya. Wanita itu hanya patuh dan mengikuti arahan Arka."Mas!" tegur Jihan."Hmm ...."Jihan mendongakkan
"Apa maksudmu, Mba? Aku tidak merayu siapapun, apa kau salah orang?" Raisya membelalak. "Tidak usah berlagak tidak tahu. Beberapa hari lalu, aku melihatmu berbicara dengan suamiku di depan rumahmu. Dan aku tidak menyangka suamiku ikut masuk ke rumah ini. Apalagi coba kalau bukan kau ajak ... ih, astaghfirullah ...."Raisya berpikir keras untuk mengingat-ingat. Setahunya tidak ada seorang pun yang dia ajak ke rumah. Mana mungkin? Namun kemudian, dia mulai mengingat sesuatu. "Pak Burhan?""Nah, kau mengetahui namanya. Kau pasti sudah lama mengincarnya 'kan?""Mba, aku tidak pernah merayu suamimu atau apapun yang kau tuduhkan. Beberapa hari yang lalu dia memang ke rumahku karena memperbaiki lampu rumah ini.""Apa? Kenapa kau memintanya, bukan meminta yang lain atau teknisi saja?""Sebenarnya, aku menanyainya alamat atau kontak teknisi, tapi suamimu yang menawarkan sendiri. Katanya, dia juga pengalaman memperbaiki lampu yang rusak. Jadi, aku persilakan. Tidak ada yang lain."Erma, wanit
[Mba, apakah yang ini lelaki yang anda cari?] Sebuah pesan masuk ke messenger-ku. Kubaca sekali lagi isi kalimat tersebut. Entah siapa gerangan orang tersebut, ia mengirimkan sebuah gambar hasil tangkapan layar di salah satu media sosial ke messenger-ku. Aku memicingkan mata, memerhatikan dengan seksama gambar tersebut.Seketika, batinku mengiyakan. Wajah lelaki di gambar tersebut sama dengan suamiku. Tapi, wanita di sampingnya dan seorang bayi yang ada di pangkuannya? Rasanya aku mengenali wajah wanita ini, tapi siapa? Aku masih berusaha terus mengingat siapa wanita ini. Bagai disambar petir, mata ini seakan merah padam. Dada ini terus menderu-deru. Aku khawatir kalau dugaanku benar."Tidak ... tidak mungkin ... Ini bukan Raisya! Dulu, yang kutahu, ia tidak berhijab seperti di foto ini. Semoga aku salah. Astaghfirullah!" Aku menahan deru di dada dengan telapak tangan. Jariku seakan kaku untuk mengetik, benar-benar tidak percaya.[Iya Mba, benar. Terima kasih, ya. Boleh aku minta
Saat aku membuka gawai di saku karena bingung mau buat apa, sebuah notifikasi beberapa kali berbunyi. Pesan masuk ke messenger. Aku tak sabar membukanya. Mata ini membulat hampir sempurna dengan apa yang kulihat. Beberapa foto mereka sedang asyik bermain di depan rumah, dan juga foto di mana mereka sedang menikmati kuliner di sebuah resto yang cukup mewah menurutku. Wanita ini, bagaimana dia bisa setega itu merebut suamiku tanpa merasa bersalah. Dia kan sangat tahu Mas Adnan, suamiku. Kami juga dulu sangat berteman baik.Hati ini begitu sakit, dikhianati oleh dua orang yang tidak asing bagiku. Dua tahun menunggunya ternyata hanyalah sia-sia belaka. Sepertinya, ia memang sengaja meninggalkan aku dan Naya. "Nak Jihan! Sudah lama datang?" Aku sedikit terkejut dengan sapaan bapak yang baru saja keluar dari kamar. Gawai kuletakkan kembali ke dalam tas. "Iya, Pak, lumayan!" Sambil menyalaminya. "Loh, belum ada apa-apa di atas meja? Tadi siapa yang bukain pintu? Kok gak sediain minuman
Gadis kecil berambut kuncir itu mengikuti ajakanku tanpa menolak. Usianya hampir sama dengan Naya. Ingin sekali kutanyakan Papanya kerja apa, tetapi kuurungkan karena anak seperti ini tak mungkin mengerti apa yang orang dewasa lakukan. Aku terus berjalan sambil menuntunnya. "Tante, Dita lupain boneka di lumah Yani." Dita menoleh padaku diikuti dengan langkah kakiku untuk berhenti."Biar Tante aja yang ambilin. Kamu masuklah dulu!" Aku membukakan pintu pagar rumah dan menutupnya kembali. Setelah mendapatkan boneka tersebut, aku beranjak pulang, tak sabar ingin menanyakan perihal suamiku. Boneka ini akan membuat mereka mengatakan di mana Mas Adnan berada. Aku harap mereka tidak menyembunyikan sesuatu dariku. Sebuah mobil melintas di depan kedai Bu Sumi. Seketika, wajah seorang wanita tertangkap oleh kedua netraku tepat di depan rumah Bu Sari saat aku keluar. "Sepertinya, tadi wajah mama. Ke mana dia pergi? Dan wanita di sampingnya, bukankah Lisa? Padahal seharian tadi aku menungguny
Setelah meletakkan piring bekas makanku dan Naya ke westafel, aku kembali ke kamar. Selera makanku tiba-tiba hilang begitu saja. Duduk terlalu lama bersama mereka akan membuatku semakin tidak berselera."Nak Jihan, tunggu sebentar!" Ibu berlari menghampiriku. "Iya, Bu. Kenapa?""Maksud Nak Jihan sudah tahu itu, apa?""Tahu apa ya, Bu?" tanyaku sekedar mengulang kembali ingatan di otak."Barusan Nak Jihan bilang sudah tahu, tahu apa? Trus, bilang kami menyembunyikan sesuatu, maksudmu kami sembunyikan apa?"Aku tak tahu kenapa dia tiba-tiba terlihat sangat gelisah seperti ini. Sehingga dia berlari untuk menghampiriku dan hanya ingin tahu apa yang telah aku ketahui."Oh, itu .... Anak kecil bernama Dita apakah ada hubungannya dengan Mas Adnan?" tanyaku ke Ibu dengan nada sedikit menyelidik.Seketika ibu mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ia tidak ingin aku mengetahui gelagatnya yang mencurigakan. Mungkin dia tidak menyangka bagaimana aku tahu nama anak kecil itu. Namun semakin dia
Setelah berjalan beberapa menit mengitari daerah kediaman mertuaku, aku memutuskan kembali ke rumah.Matahari sudah mulai terik menyinari. Keringat mengucur deras di punggung."Mba Jihan ... Assalamualaikum!" Aku menoleh ke sumber suara yang menyapa."Waalaikumsalam, Bu Sumi ....""Abis jalan pagi?""Iya, nih. Lumayan keringatan!""Aku pikir udah pulang!""Belum. Sebentar lagi, kami pulang. Mungkin sekitar jam sembilan.""Oh, gitu! Dita, putri Mba Jihan di mana, kok aku gak lihat?""Dita bukan putri saya, Bu. Putri saya, namanya Naya." Aku memutuskan untuk jujur saja daripada ikut berbohong dan akibatnya aku akan kena imbas dari kepura-puraan keluarga suamiku juga. "Loh, Mba Jihan gimana, sih! Kok, saya jadi bingung. Trus, Dita itu anak siapa?""Aku juga gak ngerti, Bu. Aku baru tahu kemarin dari Bu Sumi sendiri kalau ada anakku di rumah Bu Sari.""Tapi, aku dengar sendiri dari Mba Lisa, katanya Dita anak Mas Adnan. Itu berarti anak Mba Jihan juga.""Anak kami, namanya Naya. Aku jug
POV Lisa"Lisa! Apakah Mba Jihan sudah tahu kalau Mas Adnan sudah nikah?""Gak mungkin lah, Mak. Kenapa Mama terlihat sangat khawatir seperti ini? Aku yakin seratus persen dia gak tau. Kalau dia tau, pasti Mas Adnan akan dimintai untuk cerai. Atau setidaknya dia ke sini untuk mengurus surat cerainya, tapi tidak 'kan. Dia hanya datang menanyakan kabar suaminya."Ibu mengangguk, mungkin mulai mengerti dengan penjelasanku. Aku mendekatinya kemudian menjelaskan kembali lebih detail agar ia makin tidak salah paham. Sekitar dua jam kami bercerita dan membahas yang lain entah apapun itu.Meskipun sudah beberapa kali aku jelaskan, ia masih terlihat khawatir. "Mereka sudah pulang belum, Lis?""Kayaknya belum, Mak. Tadi dia berjalan ke luar rumah saat Lisa keluar dari kamar.""Oh, gitu! Sebaiknya, kamu hubungi Mas Adnan agar tidak menitipkan anak kecil itu untuk saat ini ke rumah. Ntar, Mba Jihan curiga lagi." Ibu mendesakku agar segera memberitahu Mas Adnan."Iya, ntar Lisa beritahu Mas Adnan