Selamat datang di duniaku.
Manusia yang percaya, akan keberadaan alam lain dan dimensinya.
* * *
"Kau di sini?"
Warung kopi di samping SMA Bhakti Kencana 2, menyuguhkan gorengan panas setiap hari. Lengkap juga dengan nasi kuning, bagi perut keroncongan yang lupa sarapan.
"Hm, jam sekolah belum mulai. Jadi aku memilih untuk pergi ke sini sebentar. Mas makan apa?" Gadis itu bertanya dengan riang, duduk di samping pria berusia kisaran 27 tahun.
"Bi, nasi bungkus dan tempe mendoan dua. Kopi hitam satu, jadi berapa?" Pria itu berdiri sambil mengambil dompet kulit hitam di saku celana, mengambil uang selembar berwarna biru sesuai harga yang disebutkan si pemilik warung. "Kembaliannya simpen aja, buat entar-entar. Makasih Bi!" Pungkasnya sambil berlalu.
"Kenapa Mas gak jawab aku tadi?" Gadis tadi mengejarnya di samping kiri, dengan nada kesal bertanya kembali. "Aku kan udah jawab, sekalian bayar. Jadi, sekali dayung dua tiga pulau terlampaui." Jawab lelaki itu dengan tersenyum, dan nampaklah lesung pipi di sebelah kirinya. Gadis itu selalu terhipnotis, dengan senyum pria ini. Pipinya merona, rasa malu yang aneh.
Mereka berdua berjalan bersama melewati gerbang sekolah, sang Satpam menganggukkan kepala, beberapa anak gadis juga menyapanya. Begitu juga siswa-siswi lain yang mengenalnya, tapi nampaknya ada seseorang yang cemburu di sampingnya.
Lelaki tegap, dengan kemeja biru langit dan celana kain katun. Setelan sederhana seorang guru, tak terlalu mencolok, namun jika kau dekat dengannya. Aiza memiliki sebuah ketampanan, "...yang tidak bisa di bayangkan oleh wanita yang menganggapnya.. 'membosankan'." Orang yang berintro ringan itu, siapa lagi kalau bukan temannya.
Merangkul pundak Aiza dengan akrab, sampai masuk ke ruangan kantor guru. Mereka lalu duduk di mejanya masing-masing, tapi lelaki berambut gondrong dikuncir aneh itu justru menarik kursinya ke depan meja Aiza.
"Za, gua mau ngajak cewe kenalan. Tapi dia maunya gua bawa temen, lu ikut ya?" Pintanya sok manis, tersenyum ke arah Aiza, berharap sobatnya itu mengiyakan.
"Kan kamu bilang saya membosankan, jadi.. aku menolak."
"Za! Ini nih, makanya lu ngebosenin. Gua ajak cari jodoh, lu malah ogah-ogahan. Nanti makin banyak dedemit yang ngejer lu, Za."
"Makanya, itu mulut mu di jaga. Kalau jadi doa benerankan bahaya. Dah lah, aku mau masuk kelas. Dah lebih lima menit ini gegara nanggepin mu." Aiza berlalu, tapi lelaki itu tak akan menyerah setidaknya sebelum jam pulang sekolah berakhir untuk membujuk Pak Guru.
* * *
Di kantin pun rupanya dia masih usaha juga, lelaki berkuncir aneh itu di gandrungi anak abege. Baik cewe atau cowo, kadang dia juga bingung sendiri. Mungkin karena gaya berpakaiannya, yang hampir sama dengan Aiza. Bedanya, kalau pria itu terlihat macam bapak-bapak kolot. Dia terlihat lebih staylis, dengan rambut kuncir; jam tangan mewah (padahal mungkin KW); beberapa gelang di tangan kanan. Atau mungkin, janggut tipis dan tubuh atletis yang ia bentuk, setelah lulus kuliah bareng Aiza. Entahlah, yang jelas lelaki itu masih juga membujuk Aiza untuk setuju dengan permintaanya.
"Za, ayolah Za. Itung-itung main, nambah relasi gitu." Mereka berdua duduk di meja kantin, agak pojok dari keramaian untuk menghindari amuk masa yang sering tiba-tiba datang mengagumi lelaki berkuncir.
"Wir, kau itu bukan jamannya lagi putus nyambung melulu. Dan bukan jamannya lagi macem bocah, yang harus aku temenin."
"Za, beneran. Ini bukan buat kepentingan gua doang, tapi juga buat kepentingan lu. Lu mau selamanya perjaka, diintilin sam--!" Aiza menutup mulut Wira cepat, mata sayu yang dulu kini berubah tajam. Ia memperingatkan sobatnya itu untuk tak melanjutkan ucapannya. Setelah Wira mengangguk paham, Aiza menarik tangannya kembali.
Mereka melanjutkan makan baso dan kupat tahu. Hening mendadak menjadi jeda di antara upacara makan siang, yang seharusnya masih seramai kantin dengan bocah playgrup abege di sekitar mereka. Tapi kelakuan Aiza seperti ini, yang selalu menjadi ladang ranjau kecemasan Wira. Sobatnya ini sejak zaman kuliah dulu, memang menjadi aneh setelah peristiwa gang gagak dan penampakan di kosan Aiza, terkhusus kejadian pada sahabat mereka.
"Za.." Wira membuka suara, sudah tidak tahan dia dengan kebisuan ambigu ini.
"Gak Wir." Jawab si janggung tegas.
"Za.."
"Enggak Wira."
"Za.. gua mau minta sambel di samping lu, dari tadi gerak-gerak mulu."
"Oh. Nih." Diulurkannya mangkuk berisi cairan cabai pedas itu kearah Wira. Satu, dua, tiga sendok cabai mendarat di mangkuk baso miliknya. Aiza terbengong, yang dilihat bereaksi mengangkat alisnya sok jagoan.
* * *
Esok harinya tepat saat yang harusnya Aiza dan Wira bertemu, dengan cewe kencan buta mereka. Wira jatuh sakit karena diare, berhubung Aiza menolak juga, dia menjadikan itu alasan untuk membatalkan kencan buta mereka. Sementara itu, si gondrong mengirimi spam chat. Bahwa ini terjadi karenanya, dan ia harus bertanggung jawab. Aiza tersenyum simpul, kelakuan Wira memang tidak pernah berubah.
Hari ini langit cerah, awan beriringan terbawa angin menuju Timur. Kemeja putih gadingnya terasa sejuk, setelah seharian ini ia duduk di samping jembatan menggunakan motor matik miliknya. Gadis itu hanya berdiri di sana, memandang pemandangan gunung yang jauh dan arus sungai yang berada di bawah jembatan. Waktu menunjukkan pukul sepuluh pagi, ketika lagi-lagi pesan Wira menemani kebisuan Aiza.[]
Berhenti mencari, berhentilah bertanya.Saat aku datang, kalian pasti berlari.* * *Semester baru, apa lagi yang akan di kerjakan oleh Genk 3 MATa_ selain kuliah? Tentu saja menikmati hidup.Hampir setiap semester, jurusan perkuliahan mereka mengadakan kuliah lapangan. Baik itu gunung atau laut, lembah atau bukit. Dengan visi dan misi yang sama, 'mempelajari alam raya'.Kampus kecil di sisi kaki gunung, dengan pusat kota sederhana, di kelilingi hutan dan tempat wisata di mana-mana. Menjadi salah satu destinasi yang masih kurang, untuk mereka mempelajari semesta. Oleh karena itu pihak jurusan, dan kampus memperbolehkan mereka untuk mengadakan kuliah lapangan ke bagian zona maritim terdekat. Pantai selatan.Semua mahasiswa jurusan ini sangat antusias, bukan saja karena tempat yang mereka tuju adalah laut. Tapi juga karena seluruh angkatan dari tiga kelas berbeda, melakukan kuliah lapangan di saat bersamaan. Kurang dari 90
Ombak yang indah,Matahari yang menyengat terik, sertaFajar dan Senja yang tak bisa bersatu.* * *Taklif menarik napas dalam, ini adalah momen yang baik untuknya menemukan kekasih hati. Cewe yang sudah menarik hatinya, sejak akhir semester lalu. Ketika mereka berbincang di waktu yang paling menegangkan.Cewe itu berkulit putih, berambut panjang, dengan mata bulat coklat yang indah. Senyum gigi gingsulnya nampak manis. Taklif tidak bisa lupa dengan pertolongan sederhana, yang diberikan cewe itu padanya. Rasa cemas yang sering mengganggunya, membuat ia melupakan alat tulisnya, sementara waktu ujian masuk sudah di ujung tanduk. Dan sosok cewe impiannya itu, hadir di saat Taklif sedang membutuhkannya.Kali ini Taklif harus bisa menemukannya sekali lagi, karena terakhir kali ia tidak dapat bertemu-- terhalang waktu libur semester. Mata berbingkai itu mencari, sosok tambatan hati."Lif! Lu udah nemu?" Wira menepuk pundak Tak
Di kedalaman laut, sebuah misteri tentang dunia tak dapat kita prediksi.* * *Aiza dan Wira memesan dua gelas kopi hitam. Jam pulang sekolah telah usai, mereka berdua beristirahat sejenak, mumpung ini menuju malam Minggu kembali. Tapi kali ini Wira tak meminta Aiza, untuk menemaninya kencan buta. Seharian ini lelaki berkuncir itu, justru tak banyak bicara. Ia menyapa dan menjawab sekedarnya, Aiza yakin sesuatu tengah dipikirkan lelaki itu.Batangan nikotin dihisap Aiza perlahan, Wira melirik ke arahnya dan tertawa ringan. Ponsel di tangannya di scroll terus menerus, sesekali memberi tanda hati pada media yang ia sukai."Lu jadi ngerokok?" Ujar Wira yang masih fokus pada benda tipis itu, mengambil kopi hitam menenggaknya sedikit demi sedikit."Hm?! Yah, gak tau juga sejak kapan." Kepulan asap kembali mengisi udara, zat beracun itu selalu menjadi hal lazim di muka umum. "Kau sendiri, kenapa gak banyak ngomong seperti biasa? Tumbe
Hidup mu adalah rangkaian pilihan yang kau ambil.* * *Senja mulai turun tiga perempat bumi. Wira dan Aiza kembali ke kantor, merapikan tas mereka sebelum pulang. Beberapa guru masih di dalam merapikan tugas siswa, sementara yang lain menyapa mereka berdua.Si pria berkuncir ijin pamit duluan, Senin nanti dia harus mengajarkan alat musik seruling pada anak-anak. Niat hati membeli peralatan musik ke toko langganannya. Aiza tak percaya seorang Wira, bisa menunda malam Minggunya hanya untuk membeli beberapa seruling. Firasatnya mengatakan ada yang tidak beres dengan lelaki itu, sepulang mereka membahas mengenai Taklif tadi. Tanpa perdebatan panjang, Aiza mempersilahkan lelaki itu melanjutkan perjalannya menggunakan motor vintage sport, keluaran Yamaha model XSR-155.Aiza menyusulnya di belakang dengan motor matik berwarna silver. Keluaran pabrik yang sama, Yamaha FreeGo S Version. Seorang gadis SMA tersenyum ke arahnya, Aiza melambaikan tangan
Dimana dan bagaimana kereta kita berhenti, masih menjadi misteri bagi rel kehidupan ini.* * *Malam yang sedikit terasa panjang, setelah keanehan Taklif tadi. Sobatku itu tak mengatakan apapun, ketika matanya terbuka ia nampak seperti orang linglung.Wira memarahi Taklif dan menjelaskan, kejadian dari awal sampai akhir. Si kacamata tersenyum merangkul kami berdua, berterimakasih telah menolongnya dan membantunya selama ini. Terkhusus pada si gondrong, Taklif merangkulnya erat meminta agar Wira melupakan semua kesalahpahaman diantara mereka.Udara laut selatan yang mulai terasa dingin, membuat tubuh kami menggigil. Kantong-kantong hadiah yang terpaksa dibuang, dipungut kembali dengan perasaan konyol. Tapi sungguh aku dan Wira tak pernah menduga, itu adalah hari dan malam terakhir kami bersama Taklif.Semua mahasiswa pagi hari sekitar pukul 8 pagi, disibukan dengan menghilangnya Taklif. Pemuda itu meninggalkan kamar ketika subuh hari,
Menang jadi arang, kalah jadi abu.Begitulah pembalasan dendam.* * *Senin pagi Wira menghubungiku, dia meminta bantuan untuk membawakan 35 set seruling di rumahnya. Pekikan kesal terpaksa terlontar, malam tadi tak banyak tidur hingga pukul setengah empat mata baru dapat terpejam sesaat.Kepala sedikit pening ketika berhasil kujambangi, rumah kontrakan di sekitar Jalan Pembangunan. Si kuncir tersenyum menyambut, dengan dua kantong pelastik hitam."Kau bercanda, kan?""Hehe, gimana? Segerkan pagi-pagi jalan ke rumah gua, haha!" Kutarik kunciran rambutnya, ia mengaduh meminta maaf."Kau benar-benar brengsek! Semalam gak tidur, baru subuh tadi tidur dua jam dan lu bangunin gua cuma buat ngajak ngopi!? Sialan!" Maaf kalau sedang emosi mulutku memang suka sarkas."Sorry bro.. Senin pagi gua suka kesepian. Baru setengah tujuh, yuk berangkat. Lumayan beramal di subuh hari, hehe.""Tai! Aku gak ada jadwal, lagian
Lihatlah kebenaran melalui dua mata manusia. Tak ada yang lebih jujur di sana. * * * Satu semester ini aku melarikan diri, ke kampung halaman untuk menenangkan diri. Dengan alasan skripsi akan dirampungkan di sana. Dosen pembimbing menyetujui keinginanku, kami akan bertemu lewat surel. Di sinilah aku sekarang, rumah berkusen tua namun menyimpan kenangan yang menghangatkan hati. Terkhusus mengapa aku ingin mata ini menghilang. Enah, panggilan sayangku pada ibu. Menyambut dengan senyum yang selalu manis, bahkan di usia 60 tahun. Sementara Bapak duduk di pelataran kursi rotan, menyambut dengan anggukan. Aku memeluk Enah dengan kangen yang amat, setelah cukup lama tak pulang karena sibuk dengan kuliah dan organisasi. Lalu menghampiri Bapak, mencium tangannya, memeluk tubuh gagah yang selalu membimbingku dengan ketegaran hatinya. "Alhamdulillah, kamu pulang juga. Kenapa toh Za? Apa ada yang di perlukan, sampai harus pulang?" En
Trauma tropisme: pertumbuhan sebagai reaksi terhadap luka. * * * Hanya psikopat yang tak akan berempati dan simpati, bahkan merasa kehilangan. Ketika teman bahkan sahabat sendiri, mati setelah berdebat dengan lu dan perasaan lu santai aja! Gak! Taklif adalah teman sekaligus sahabat, bahkan sudah gua anggap seperti saudara sendiri. Begitu tau dia mati pagi itu, mana mungkin gua bisa hidup tenang. Kelakuan, omongan, kebiasaan, bahkan kebersaam kita untuk yang terakhir kali. Semua gak bisa gua lupain, ini dosa yang harus gua tanggung sendiri. Gua yakin Aiza juga merasakan hal yang sama, makanya dia ngomong ngaco hanya agar gua gak merasa bersalah. Sialnya lagi dia harus berurusan, sama tuh' burung gagak pembawa petaka. Gua yakin ini pasti gara-gara itu semua! Berharap jazad Taklif ditemukan, ikut bagian tim SARS terjun ke lapangan. Tapi pihak kampus dan polisi pantai, ngehalangin gua untuk ikut nyari Taklif. Gua harus nyari