Dimana dan bagaimana kereta kita berhenti, masih menjadi misteri bagi rel kehidupan ini.
* * *
Malam yang sedikit terasa panjang, setelah keanehan Taklif tadi. Sobatku itu tak mengatakan apapun, ketika matanya terbuka ia nampak seperti orang linglung.
Wira memarahi Taklif dan menjelaskan, kejadian dari awal sampai akhir. Si kacamata tersenyum merangkul kami berdua, berterimakasih telah menolongnya dan membantunya selama ini. Terkhusus pada si gondrong, Taklif merangkulnya erat meminta agar Wira melupakan semua kesalahpahaman diantara mereka.
Udara laut selatan yang mulai terasa dingin, membuat tubuh kami menggigil. Kantong-kantong hadiah yang terpaksa dibuang, dipungut kembali dengan perasaan konyol. Tapi sungguh aku dan Wira tak pernah menduga, itu adalah hari dan malam terakhir kami bersama Taklif.
Semua mahasiswa pagi hari sekitar pukul 8 pagi, disibukan dengan menghilangnya Taklif. Pemuda itu meninggalkan kamar ketika subuh hari,
Menang jadi arang, kalah jadi abu.Begitulah pembalasan dendam.* * *Senin pagi Wira menghubungiku, dia meminta bantuan untuk membawakan 35 set seruling di rumahnya. Pekikan kesal terpaksa terlontar, malam tadi tak banyak tidur hingga pukul setengah empat mata baru dapat terpejam sesaat.Kepala sedikit pening ketika berhasil kujambangi, rumah kontrakan di sekitar Jalan Pembangunan. Si kuncir tersenyum menyambut, dengan dua kantong pelastik hitam."Kau bercanda, kan?""Hehe, gimana? Segerkan pagi-pagi jalan ke rumah gua, haha!" Kutarik kunciran rambutnya, ia mengaduh meminta maaf."Kau benar-benar brengsek! Semalam gak tidur, baru subuh tadi tidur dua jam dan lu bangunin gua cuma buat ngajak ngopi!? Sialan!" Maaf kalau sedang emosi mulutku memang suka sarkas."Sorry bro.. Senin pagi gua suka kesepian. Baru setengah tujuh, yuk berangkat. Lumayan beramal di subuh hari, hehe.""Tai! Aku gak ada jadwal, lagian
Lihatlah kebenaran melalui dua mata manusia. Tak ada yang lebih jujur di sana. * * * Satu semester ini aku melarikan diri, ke kampung halaman untuk menenangkan diri. Dengan alasan skripsi akan dirampungkan di sana. Dosen pembimbing menyetujui keinginanku, kami akan bertemu lewat surel. Di sinilah aku sekarang, rumah berkusen tua namun menyimpan kenangan yang menghangatkan hati. Terkhusus mengapa aku ingin mata ini menghilang. Enah, panggilan sayangku pada ibu. Menyambut dengan senyum yang selalu manis, bahkan di usia 60 tahun. Sementara Bapak duduk di pelataran kursi rotan, menyambut dengan anggukan. Aku memeluk Enah dengan kangen yang amat, setelah cukup lama tak pulang karena sibuk dengan kuliah dan organisasi. Lalu menghampiri Bapak, mencium tangannya, memeluk tubuh gagah yang selalu membimbingku dengan ketegaran hatinya. "Alhamdulillah, kamu pulang juga. Kenapa toh Za? Apa ada yang di perlukan, sampai harus pulang?" En
Trauma tropisme: pertumbuhan sebagai reaksi terhadap luka. * * * Hanya psikopat yang tak akan berempati dan simpati, bahkan merasa kehilangan. Ketika teman bahkan sahabat sendiri, mati setelah berdebat dengan lu dan perasaan lu santai aja! Gak! Taklif adalah teman sekaligus sahabat, bahkan sudah gua anggap seperti saudara sendiri. Begitu tau dia mati pagi itu, mana mungkin gua bisa hidup tenang. Kelakuan, omongan, kebiasaan, bahkan kebersaam kita untuk yang terakhir kali. Semua gak bisa gua lupain, ini dosa yang harus gua tanggung sendiri. Gua yakin Aiza juga merasakan hal yang sama, makanya dia ngomong ngaco hanya agar gua gak merasa bersalah. Sialnya lagi dia harus berurusan, sama tuh' burung gagak pembawa petaka. Gua yakin ini pasti gara-gara itu semua! Berharap jazad Taklif ditemukan, ikut bagian tim SARS terjun ke lapangan. Tapi pihak kampus dan polisi pantai, ngehalangin gua untuk ikut nyari Taklif. Gua harus nyari
Waktu tengah malam hingga subuh adalah dunia kami. Tapi manusia senang sekali mengganggu ketenangan ini. Lalu, sekarang mengapa kami yang dihukum?! * * * Setelah bapak mengatakan demikian, subuh hari aku merasa tubuh tak bisa di gerakan. Rasanya ada sesuatu yang membuatku tak bisa bangun, namun untuk membuka mata saja rasanya takut. Membaca dalam hati pun rasanya sulit, mungkin inilah yang dinamakan ketindihan lagi. Padahal sudah lama peristiwa ini tak pernah terjadi. Setidaknya setelah peristiwa penutupan mata ke enam di lakukan. Tubuhku benar-benar berat, telinga bahkan mendadak sangat peka. Kudengar suara gerakan hingga seperti berbisik di telinga, "kenapa tidak bangun.." kalimat itu terdengar jelas. Sementara dada terasa sesak, mau tidak mau kali ini kucoba melawan. Membaca doa-doa dalam hati sekuat tenaga, membuka mata dan tak ada apapun di atas tubuh. Ringan, itu yang dirasa hin
Waktu itu kita masih di batas kota, melihat matahari tenggelam menutup cakrawala. Hanya untuk menyadari, bahwa kita ada untuk meramaikan suasana. * * * Lelaki berambut gondrong itu lagi-lagi mangkir, absen perkuliahannya sudah macam tempat duduk sepi penonton, bolong-bolong. Di kosan pun dia tak muncul, beberapa anak kos bilang si gondrong itu pergi menggunakan motor sejak subuh tadi. Tetapi siapa yang menyangka, bahwa ia ikut solat subuh di Mesjid Agung Alun-Alun kota. Jangan tanya kenapa, sudah pasti ada hubungannya dengan sobatnya. Ya Wira mungkin sarkas dan kadang pecicilan, tapi dia juga orang yang sangat peduli dan melankolis. Terkhusus jika orang itu menjadi sangat spesial dalam hidupnya. Jika kau pikir cemen betul, cowo gagal move on. Hey, manusia punya titik rapuhnya masing-masing. Tidak semua orang sekuat dirimu, dan tidak juga semua orang semelankolis Wira saat ini. Tapi memang begitulah
Aneh ya, kenapa orang selalu lebih berharga ketika sudah tak ada lagi di dunia ini. * * * Lagi-lagi Aiza tak bisa tertidur, malam ini bulan purnama melingkar sempurna di atas sana. Alam raya mendadak ramai berpesta, energi-energi dari dunia sana nampak tengah bersemangat. Buktinya Aiza merasa lemas seharian ini, ia sudah menelepon Wa Ega dan Kang Dimas untuk membantunya memproteksi diri. Tapi sepertinya ada yang salah di lingkungan tempat Aiza tinggal sekarang. Padahal dia sudah jaga-jaga agar hal ini tak terjadi lagi. Tring tring tring! Nama Wira bertengger di layar ponsel, waktu yang kurang tepat untuk mendapat gangguan dari makhluk macam dia. Tatepi daripada sendirian dan di datangi kaum dedemit, Wira dedemit sepertinya lebih bersahabat. "Apa?" Jawab Aiza tak berselera. "Jirrr judes banget dah si Akang." Wira selalu menanggapi santai badmood Aiza. Ibarat kata
Aku tau kau berbeda bagi dunia, tapi kau adalah satu di dunia kami yang memang ada.* * *Pergi ke menemui Wa Ega seharusnya tak perlu banyak drama, tapi siapa sangka menemukan rumahnya akan terasa sesulit ini. Sudah hampir dua jam Aiza berputar-putar di Bundaran Suci, tapi entah kenapa dia selalu kembali ke jalan yang sama atau tersesat dan memaksa putar balik.Pada akhirnya Aiza memilih merapatkan diri sebentar, di penjual dewegan hijau. Mungkin karena lelah ia jadi teringat bayang-bayang Taklif, juga Wira yang masih saja seterkenal sekarang. Ya cowo gondrong itu memang memiliki kepribadian mudah bergaul, walau sesekali Aiza juga merasakan Wira hanya ingin bersama dia dan Taklif. Khususnya si kacamata empat yang pasti akan selalu ditarik paksa Wira, kemanapun ia ingin pergi. Aiza kadang merasa iri juga, di antara mereka bertiga. Hubungan Wira dan Taklif seperti saudara kembar saja, tidak terpisahkan. Bahkan teman-teman sudah tak ane
Dia bersinar di kegelapan, sementara yang lain di waktu fajar.Manusia memang terkadang curang.Merenggut kedua waktu alam.* * *Jembatan pendek yang menghubungkan dua batas yang terpisah arus sungai Cimanuk. Membawa arus air deras di bawah dua kaki mereka, menuju senja di ufuk Barat. Keduanya tak bicara hanya memandang langit yang mulai berubah warna, ini saatnya sang raja meninggalkan bumi sejenak.Salah satu diantaranya telah resah sejak tadi, jantung yang tak henti memompa darah lebih cepat dari biasanya. Angin malam yang makin kencang, keratan tangan pada pegangan jembatan makin mengencang. Sementara seseorang di sampingnya hanya menatap tanpa ekspresi, udara makin kian menusuk kulit."Kenapa gak pergi?" Tanya lelaki berambut gondrong, dengan ekspresi tak ada gairah hidup. Sementara orang di sampingnya makin bergetar hebat."Karena kau masih di sini.""