Aneh ya, kenapa orang selalu lebih berharga ketika sudah tak ada lagi di dunia ini.
* * *
Lagi-lagi Aiza tak bisa tertidur, malam ini bulan purnama melingkar sempurna di atas sana. Alam raya mendadak ramai berpesta, energi-energi dari dunia sana nampak tengah bersemangat. Buktinya Aiza merasa lemas seharian ini, ia sudah menelepon Wa Ega dan Kang Dimas untuk membantunya memproteksi diri. Tapi sepertinya ada yang salah di lingkungan tempat Aiza tinggal sekarang. Padahal dia sudah jaga-jaga agar hal ini tak terjadi lagi.
Tring tring tring!
Nama Wira bertengger di layar ponsel, waktu yang kurang tepat untuk mendapat gangguan dari makhluk macam dia. Tatepi daripada sendirian dan di datangi kaum dedemit, Wira dedemit sepertinya lebih bersahabat.
"Apa?" Jawab Aiza tak berselera.
"Jirrr judes banget dah si Akang." Wira selalu menanggapi santai badmood Aiza. Ibarat kata
Aku tau kau berbeda bagi dunia, tapi kau adalah satu di dunia kami yang memang ada.* * *Pergi ke menemui Wa Ega seharusnya tak perlu banyak drama, tapi siapa sangka menemukan rumahnya akan terasa sesulit ini. Sudah hampir dua jam Aiza berputar-putar di Bundaran Suci, tapi entah kenapa dia selalu kembali ke jalan yang sama atau tersesat dan memaksa putar balik.Pada akhirnya Aiza memilih merapatkan diri sebentar, di penjual dewegan hijau. Mungkin karena lelah ia jadi teringat bayang-bayang Taklif, juga Wira yang masih saja seterkenal sekarang. Ya cowo gondrong itu memang memiliki kepribadian mudah bergaul, walau sesekali Aiza juga merasakan Wira hanya ingin bersama dia dan Taklif. Khususnya si kacamata empat yang pasti akan selalu ditarik paksa Wira, kemanapun ia ingin pergi. Aiza kadang merasa iri juga, di antara mereka bertiga. Hubungan Wira dan Taklif seperti saudara kembar saja, tidak terpisahkan. Bahkan teman-teman sudah tak ane
Dia bersinar di kegelapan, sementara yang lain di waktu fajar.Manusia memang terkadang curang.Merenggut kedua waktu alam.* * *Jembatan pendek yang menghubungkan dua batas yang terpisah arus sungai Cimanuk. Membawa arus air deras di bawah dua kaki mereka, menuju senja di ufuk Barat. Keduanya tak bicara hanya memandang langit yang mulai berubah warna, ini saatnya sang raja meninggalkan bumi sejenak.Salah satu diantaranya telah resah sejak tadi, jantung yang tak henti memompa darah lebih cepat dari biasanya. Angin malam yang makin kencang, keratan tangan pada pegangan jembatan makin mengencang. Sementara seseorang di sampingnya hanya menatap tanpa ekspresi, udara makin kian menusuk kulit."Kenapa gak pergi?" Tanya lelaki berambut gondrong, dengan ekspresi tak ada gairah hidup. Sementara orang di sampingnya makin bergetar hebat."Karena kau masih di sini.""
Emosi tak akan membuat solusi, biarkan waktu yang membuat perjalanan panjang tentang kehilangan dan pertemuan.* * *Setelah mendapatkan ceramah habis-habisan dari bapak kost, keduanya sepakat untuk berdamai. Bahkan sekarang malah menikmati mie rebus dengan telur, katanya sebagai perayaan perdamaian mereka."Lu sendiri, kenapa malah ke jembatan?" Tanpa ba bi bu, Wira bertanya di tengah suapan mie yang sedang mereka santap. Padahal sejak tadi fokus mereka hanya pada mie dan televisi."Mimpi.""Yang jelas.""Gua mimpiin Taklif semalam." Wira yang sejak tadi mengamati ekspresi Aiza lagi-lagi tertunduk, sebelum akhirnya ia juga mengatakan mendapatkan mimpi yang sama.Dalam mimpinya mereka duduk bertiga, di tepi pantai Laut Selatan. Mereka berdua tak mengatakan apapun kepada si kacamata itu, justru Taklif yang banyak bercerita di sana. Sampai ucapannya memb
Kau percaya, bahwa tak semua yang tak terlihat adalah buruk.* * *Aiza menguap sepanjang jalan menuju sekolah, memutuskan pergi menggunakan angkutan umum. Bahaya kalau sampai dia mengantuk dan terjadi kecelakaan, tapi namanya juga Aiza. Dimana pun dia berada, selalu saja ada yang mengintili.Kali ini bocah berwajah pucat dengan aksen Nederland, matanya melihat seorang pria tinggi dengan kumis rapi berdiri mengamati. Pakaian mewah kalangan ningrat Belanda dulu, iseng-iseng Aiza mengambil lollipop di dalam tasnya. Membuka lalu menyerahkannya pada bocah Nederland tadi."Kau bisa memakannya?" Aiza meminta ijin pada papanya, lelaki tinggi di sana mengangguk berterimakasih yang diambil semangat bocah tadi lalu kembali ke papanya. Sisanya Aiza memakan permen lollipop tadi, lalu naik angkutan umum.Orang di dalam angkutan beberapa memerhatikan tingkahnya tadi di luar, dan merasa takut untuk duduk di
Pernah tersesat? Hehe, bisa jadi kami sedang mengajakmu berkunjung. * * * Aiza bercerita sedikit tentang perjalanannya menuju Pesantren Balong. Ia sempat kesasar dua jam makanya baru datang pas waktu duhur tiba, untung saja dia ketemu Mang Rahmat yang langsung menolongnya. "Oh, kau ketemu Mang Rahmat? Alhamdulillah, baguslah." Ujar Kang Dimas, sambil mengambil air dan beberapa cemilan. "Tapi beliau gak ngejelasin apa-apa, tapi aku yakin pasti.. ada yang tidak beres dengan ku." Aiza menunduk mengingat, juga masih canggum saja. "Ya Allah Za, kau tak usah sungkan. Aku tau betul apa masalahmu, bahkan adik mu Wulan pun kami tau." "Hah? Kok bisa?" "Siapa lagi sumbernya.." "Bapak." Tebakan tepat yang dijawab anggukan Kang Dimas. "Kakak ku itu cemas sekali dengan kalian, tapi dia gak mungkin ka
Dia telah kembali, tapi misteri masih mengikuti kemanapun aku pergi.* * *Aiza dan Wira tiba di lokasi, ketika sampai hari masih menunjukkan pukul tiga lebih dini hari. Itu karena Wira memilih meminjam mobil ke salah satu saudaranya, hal lain karena Aiza sudah macam orang gila yang tak bisa diajak kompromi. Well, sampai di lokasi mereka lekas mengetuk kantor tim SARS yang saat itu tak terlalu ramai. Hanya sekitar tiga orang yang berjaga, keluarga almarhum juga belum datang karena perjalanan jauh dan diperkirakan akan tiba siang nanti.Wira bertemu pria kisaran 40 tahunan, yang menelepon dan memberitahukan kabar kepadanya tadi. Lalu mulai menceritakan kronologis kejadian penemuan tubuh Taklif. Beberapa dari mereka juga sedikit terheran, kenapa tubuhnya baru bisa ditemukan sekarang."Ini juga karena beberapa kapal besar penjaring ikan sampai ketengah laut, begitu mereka menarik ke atas ada tangan yang menggantung.
Bertumbuh dalam damai dan cinta Allah. * * * Kantin sudah hampir kosong, ketika Aiza memesan es limun dan roti bakar. Ia makan di pojokan seperti biasa, Wira memandang pria tinggi itu sedikit iba. Sementara di sampingnya seorang wanita mengintili. Dengan wajah senang Wira mengantar wanita tadi memesan beberapa menu, lalu pergi ke meja yang sama di mana Aiza duduk. Lelaki bermata lelah itu berhenti mengunyah, ketika matanya bertemu dengan wanita yang duduk di depannya sekarang. Dengan sedikit canggum ia tersenyum ramah menyapa, dan si kuncir memperkenalkannya pada Aiza. Namanya Eiliyah seorang guru baru pengampu Bahasa Inggris, dia baru masuk awal bulan lalu menggantikan Mister Arnold yang pulang ke Jerman. Lelaki bule itu kangen rumah katanya dan memilih kembali ke negeri asalnya. Aiza tidak peduli dengan penjelasan Wira, hanya mengangguk dan melanjutkan makan siang. Walau kesal meras
Mataku melihatnya, tapi ketika ku katakan pada mereka. Aku bukan lagi, aku yang dikenal.* * *Masih jelas di ingatan ketika umurku masih empat tahun. Di samping rumah kami ada seorang paman yang hidup sendirian, usianya baru tiga puluh tahun. Ia sangat baik, sering membagi kami hasil kebunnya, bahkan sesekali juga berkunjung ke rumah. Namanya Paman Bushra. Perawakannya tidak terlalu tinggi, tapi ia memiliki otot yang kuat, senyuman ramah dengan mata yang akan membentuk garis ketika ia tertawa. Dia suka sekali menggulung lengan bajunya, hingga aku bisa bergelantungan di lengannya.Suatu hari aku pernah bertanya, kenapa paman Bushra tidak menikah? Tapi dia hanya menjawab singkat, "seseorang menunggu ku." Karena masih kecil jadi tidak terlalu paham maksudnya, mungkin dia menunggu seseorang itu sampai sekarang. Hingga suatu hari ketika sedang bermain di taman pada sore hari, paman itu tersenyum melihatku sedangkan ia duduk di kursi warna