.
.
.
Malam hari begitu dingin di Pulau Henai. Saat ini, Mawar dengan memakai dress sifonnya tampak memandangi langit berbintang di atasnya. Sambil matanya mengamati lautan lepas, ia juga bisa melihat cahaya laut yang berpendar berwarna merah keungu-an ditepian pantai disana. Bagai lampu LED yang berkilauan, cahaya itu menerangi sepanjang pantai itu. Sungguh, cantik sekali. Batinnya dalam hati.
Awalnya, Mawar tidak begitu mengetahui detail pantai itu pada malam hari. Tetapi, semakin lama dia disana, semakin ia bisa melihat detail keindahan yang ditunjukkan oleh pulau itu bagian demi bagian.
“Kenapa kau melamun sendirian? Hm?” Tiba-tiba suara baritone seorang pria mengejutkannya hingga ia sedikit tersentak.
“Astaga, kau rupanya.” Mawar menoleh, lalu mengembalikan posisinya seperti semula, memandang tepian lautan dihadapannya.
“Kalau bukan aku, memang kau mengharapkan siapa lagi? Rasyid?” Suara itu semakin mendekat
. . . “Tunggu aku sebentar.” Meletakkan alat makannya kembali, Jayden untuk sementara waktu mengurungkan niatnya untuk makan. Lalu beranjak dari meja itu, ia menuju ke ruang belajar miliknya yang ada dilantai dua. Setelah sampai disana, ia membuka laptopnya dan mengakses beberapa article yang ia baca dengan begitu cepat. Membuat isterinya itu menulis tidaklah sulit, hanya saja, ia perlu membangkitkan semangat Mawar kembali. Sepertinya, isterinya itu tidak hanya bermasalah dengan ke-istimewaannya, tetapi rasa percaya diri yang sangat menurun. Untuk itu, Jayden kemudian memilih beberapa kertas berwarna menarik dan juga pena dengan ukuran tinta yang cukup tebal. Setelah itu, ia terlihat menyiapkan beberapa hadiah yang akan menarik perhatian dari gadis malas itu. Seperti memiliki seorang balita, Jayden mengumpulkan barang-barang itu dan menaruhnya di dalam sebuah box ber-ukuran besar dan membawanya turun ke meja makan yang ada dilan
. . . Sementara itu, di pusat kota S, Rasyid saat ini tengah selesai mengerjakan semua tugas-tugas yang sebelumnya sempat tertunda karena mencari keberadaan Mawar. Meskipun pria itu masih khawatir, tetapi ia tetap harus memakai logikanya untuk bekerja diperusahaan yang selama ini sudah membesarkan namanya itu. “Pak, ayo kita pulang.” Suara sekretaris dari pria itu terdengar begitu lembut dan menggoda. “Tidak Sinta. Pulanglah sendiri ke rumahmu.” Sahut Rasyid sembari masih berkutat dengan pekerjaannya. Entah mengapa sejak menghilangnya Mawar, Rasyid menjadi tidak tertarik untuk bermain dengan sekretarisnya itu karena pikirannya masih dipenuhi dengan Mawar. “Apakah anda yakin Pak?” Sinta kemudian mengedipkan matanya dan menyibak rambut panjangnya hanya untuk menggoda sang bos yang biasanya langsung saja menubruknya. “Aku bilang tidak Sinta! Sana Pergi!” Rasyid begitu jengkel. Tidak hanya Lisa, tetapi sekarang Sinta juga menggodan
. . . “Thanks Jay…” Suara Mawar terdengar dengan lembut ditelinga pria itu. Namun sayangnya pria itu masih sibuk membereskan peralatan laptopnya dan tidak mendengarkan ucapan terima kasih darinya. “Eh, Jay… kau lapar tidak?” Wanita itu kembali bertanya, tetapi kali ini ia mendekatkan dirinya kepada pria yang masih tidak meresponnya. “Kau tidak lapar ya. Atau kau mau kubantu?” Mawar kemudian berusaha membantu melipat kabel didepannya, tetapi Jayden langsung menyahut kabel itu begitu saja. Sepertinya, kali ini Jayden benar-benar kesal kepada isterinya itu. “Jay… Ayolah. Kenapa kau seperi ini? Apa aku salah?” Tanya Mawar kemudian yang malah mendapat kedipan lampu hijau dari Jali si robot yang ada dibawahnya. Melihat robot pembersih bulat itu, Mawar menghela nafasnya. Rupanya tidak hanya bibi Hans, tetapi Jali si robot juga membela tuannya. Menundukkan kepalanya ke bawah, Mawar yang sedang diabaikan oleh suaminya itu
. . . “Ih. Brengsek!” Di depan beranda rumah pantai itu, Mawar terdengar mengumpat sembari mengusap mimisannya dengan tisyu kering. Ditemani oleh robot J, Mawar kemudian duduk di kursi dan membersihkan hidungnya dari sisa-sisa darah yang tadi sempat keluar. “Kau Ke-na-pa?” Tanya robot J sembari merangkak ke atas kursi dan ikut duduk disamping Mawar yang sedang geram itu. “Tidak apa-apa Jay. Aku hanya kesal saja.” Jawab Mawar kemudian mengingat apa yang barusaja dilihatnya. Suaminya itu benar-benar sangat brengsek! Barusaja dirinya akan memberikan sepiring sandwich buatannya, tetapi ia terlebih dahulu telah dikejutkan oleh kehadiran suaminya yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan tidak mengenakan pakaian sehelaipun! Sialan! Mawar benar-benar sangat terkejut sehingga tadi ia bahkan hampir tidak bisa menggerakkan satu jaripun. Masih segar dalam ingatannya, Mawar dapat melihat jelas tubuh pria tampan itu begitu kekar dengan
. . . Pagi telah menjelang di pusat kota. Semua orang tampak sangat sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Tidak terkecuali Rasyid yang saat ini telah datang ke butik pernikahannya untuk menggali banyak informasi dari ibu-ibu yang merasa melihat Mawar. Dengan tangan yang gemetaran, pria itu terus menunggu petugas butik dan orang itu yang sebentar lagi katanya akan datang. Ya, semalam Rasyid telah datang kesana juga, tetapi ibu itu terlanjur pulang. Sehingga ia hanya bisa menunggu sampai pagi menjelang hanya untuk mendapatkan detail informasi mengenai keberadaan calon isterinya. Secercah rasa putus asa begitu nampak pada sorot matanya. Badannya mengeluarkan keringat dingin karena ia kurang beristirahat selama beberapa minggu ini. Mawar saat ini benar-benar menyita perhatiannya. Ia tidak bisa bekerja, tidak bisa makan dengan baik, dan juga tidak bisa tidur meskipun dia sudah meminum beberapa pil penenang sekaligus. Bagai seorang biksu, bahkan Rasyid
. . . Sementara itu, di Pulau Henai. Mawar masih saja bemalas-malasan di balik selimut tebal yang membungkusnya. “Hem… Nyaman…” Gumamnya dengan kaki yang masih memeluk guling besar disampingnya. Rasanya semalam dirinya tidur di atas lantai yang keras. Tetapi pagi ini, Mawar merasakan alas tidurnya itu begitu empuk dengan selimut bulu selembut sutera. Apakah dia bermimpi? Batinnya dalam hati. Menggerak-gerakkan kakinya, Mawar yang mulai tersadar lalu membuka kedua matanya dengan lebar. Tunggu. Mengapa dirinya saat ini telah berada di atas ranjang?! Mawar kemudian mengernyitkan keningnya untuk mengingat-ngingat hal yang terjadi semalam. Benar. Seingatnya, semalam pria brengsek itu menyuruhnya untuk tidur di atas lantai. Dan setelahnya, Mawar tidak ingat lagi. Mungkin saja, semalam ia begitu lelah hingga ia tidak merasakan Jayden mengangkatnya. “Hihi…” Mawar terkikih mengetahui bahwa pria itu tidak sejahat itu. Tentu saja, Jayden
. . . Beberapa jam telah berlalu, saat ini di pusat kota S, Rasyid telah berada di sebuah clan gangster yang dipimpinnya. Disana, ada beberapa mata elang di Negara itu dimana selama ini dirinya bisa mendapatkan semua informasi dengan mudah asalkan dia memiliki sebuah petunjuk. “Bagaimana? Apa kau tahu nomor plat itu?” Rasyid tampak memberikan secarik kertas kecil pada salah satu gangster bertato disana. “JL-01?” Melihat nomor itu, orang itu berpikir dengan serius sebelum akhirnya ia berujar kembali. “Sebentar Bos, aku akan hubungi yang lainnya.” Bagi gangster itu, plat JL-01 sepertinya asing bagi mereka. Sepertinya, nomor itu bukanlah kepunyaan dari orang-orang kaya yang ada dibawah kendali mereka. Ya, selama ini, para gangster yang terpencar itu memiliki organisasi khusus dimana mereka akan mengelola setoran pajak keamanan bagi siapa saja yang memiliki usaha di tempat itu. Tentu saja, jaringan mereka bersifat illegal. Tetapi meskipun
. . . Dengan semua informasi yang didapatnya, Rasyid kemudian memanggil seluruh anak buahnya. Beberapa diantara mereka membawa tongkat, balok, dan juga bahkan yang lainnya membawa senapan bersama dengan mereka. Rasyid tentu tidak akan datang dengan tangan hampa. Ditengah-tengah persiapannya, tiba-tiba sebuah suara datang dari ponselnya lagi. Bergegas Rasyid mengangkatnya karena mengira bahwa itu adalah telepon yang sangat penting. “Halo… Siapa?” Rasyid mengernyitkan alisnya karena yang didengarnya adalah suara wanita yang dikenalnya. “Sayang… Kak Rasyid. Apakah kau akan datang ke kosku hari ini?” Itu adalah suara Lisa yang sedang merayunya. “Kak… aku merindukanmu… Sudah lama kita tidak bertemu.” Wanita itu menambahkan lagi tanpa menunggu jawaban dari pria yang dihubunginya. “Kak… Apa yang kau mau makan hari ini? Aku akan menyiapkannya…” Suara wanita itu terus saja bergema di telinganya. Rasyid rasanya sudah tidak tahan lagi hin