.
.
.
“Rasyid!”
Suara wanita di dalam sambungan video itu terdengar di telinga Jayden. Menyipitkan matanya, pria itu kemudian melepas headsetnya dan mematikan sambungan video itu dari jarak jauh. Sekilas, ada rasa sedih menelisik di dalam hatinya. Wanita itu, setelah mendengar kehadiran kekasihnya, langsung saja menyebut namanya begitu saja. Sepertinya, Mawar masih belum bisa melupakan Rasyid sepenuhnya. Batinnya dalam hati.
Menghela nafasnya, Jayden kemudian melemparkan headset itu ke sembarang tempat dan menatap Rasyid dengan sangat tajam. Pria dihadapannya itu begitu rendah, tetapi mengapa Mawar bisa menyukai pria brengsek seperti itu? Jayden kembali membatin dengan perasaan tidak jelas. Bagaimanapun, ia tidak bisa memaksa perasaan Mawar.
Sebelumnya, sepertinya Mawar mulai menyukainya. Tetapi hal itu bisa saja karena sebuah rasa suka karena hanya mereka yang ada di Pulau terpencil itu. Dan ketika ada bayangan Rasyid diantara mereka
. . . Setelah mendengar gemuruh gerombolan gangster keluar dari kediaman itu dengan mobil-mobil mereka, Suseno benar-benar merasa sangat khawatir. Tadi pagi, ia ingat, setelah mendarat dari pesawat pribadi yang mengantar mereka, Jayden bergegas menuju ke dalam kediamannya dan menyuruhnya menunggu diluar area itu. Suseno heran dengan apa yang akan terjadi sebelum akhirnya ia beberapa menit yang lalu melihat arakan mobil dengan pria-pria bertato sedang menuju ke dalam wilayah dimana Jayden berada. Hanya melihat wajah garang mereka, Suseno merasa sangat ngeri. Apalagi, sekilas ia juga melihat mereka membawa senjata. Dalam hati, Suseno bisa memastikan bahwa tujuan gerombolan itu kesana pasti bukanlah hal yang baik. Sayangnya, Jayden, sahabatnya itu begitu misterius. Suseno tidak diberitahu apa-apa sehingga ia hanya bisa menunggu disana menanti apa yang akan terjadi. Seperti dugaannya, setelah beberapa menit ia menunggu, ia lalu mendengar suara tem
. . . Beberapa jam telah berlalu, Pulau Henai saat ini telah diselimuti oleh kegelapan malam. Namun Mawar yang saat ini masih berada di beranda rumah, belum juga mau untuk masuk. Ia mau menunggu Jayden pulang dan melihat sendiri bahwa ia telah selamat. “Nyonya. Udara semakin dingin. Ayo masuklah.” Bibi Hans mencoba merayu sang Nyonya. Tetapi Mawar sudah kesekian kali menolaknya. Di beranda rumah pantai itu, Mawar terlihat terus mengerjakan tugas-tugasnya. Ia berharap bahwa ketika Jayden pulang, suaminya itu akan melihatnya belajar dengan keras. Sambil tertidur di atas meja disana, wanita itu terus saja menunggu hingga malam menjadi semakin larut. “Nyonya. Mari masuklah. Tuan akan sangat marah jika anda tidak menurut seperti ini.” Bibi Hans mencoba menjelaskan kepada sang Nyonya yang masih menatap pintu pagar disana. “Bi. Cobalah hubungi Suseno. Apakah Jayden akan pulang? Aku masih merasa khawatir.” Kata Mawar kemudian yang lang
. . . Beberapa hari telah berlalu, Mawar semakin hari semakin disibukkan dengan seluruh pelajarannya. Sayangnya, perkembangan itu sama sekali tidak membuatnya bahagia karena Jayden belum juga pulang. Sudah seminggu ia menunggu, tetapi rasa-rasanya pria brengsek itu tidak memahami kerinduannya. Menghentakkan kakinya dengan jengkel, Mawar tidak mau menurut lagi pada pria busuk yang telah mengabaikannya itu. Sialan! Mawar mengumpat di dalam hatinya. Sudah seminggu ia mencoba menghubungi Jayden melalui bibi Hans, tetapi pria itu tidak pernah mau menjawab panggilannya. Ih, Mawar merasa begitu khawatir sekaligus kesal disaat yang bersamaan. Hingga, tidak ada pilihan lainnya, ia kemudian harus membuat sebuah drama dibantu oleh bibi Hans. “Bi, cepat hubungi Jayden sekarang juga.” Kata Mawar memberikan perintah kepada bIbi Hans yang sudah bersiap dengan ponselnya. “Baik Nyonya.” Beberapa menit telah berlalu, bibi Hans berusaha m
. . . Ah, memandang meja dengan taplak berwarna putih dan juga seluruh perlengkapan barbeque yang telah tertata rapi, Mawar menghela nafasnya dengan sangat lega. Jayden pasti sangat suka dengan kejutan makan malam mereka. Batinnya dalam hati sebelum akhirnya ia melihat seperti sebuah kerlap-kerlip berada di bawah pohon palem yang berada cukup jauh darinya. Tunggu. Apakah itu adalah kapal nelayan? Batin Mawar di dalam hatinya dengan cukup penasaran. Biasanya, di pantai dekat rumahnya, tidak ada satu kapal nelayanpun karena disana bukan pantai untuk menangkap ikan. Tetapi, yang ia lihat dari kejauhan, sepertinya adalah benar sebuah kapal nelayan. Menerka-nerka siapa mereka, Mawar kemudian melangkahkan kakinya kesana. Perlahan-lahan, Mawar mengambil jalan lain dan mengendap-endap supaya orang-orang dikapal itu tidak mengetahuinya. Kali ini Mawar berani untuk mendatangi orang-orang itu diam-diam, karena mereka bukanlah orang suku. Jika dilihat dar
. . . “Bos. Apakah anda terluka?” Tanya Kasim Sambil melihat-lihat beberapa memar ditubuh tua bosnya itu. “Brengsek kau Kasim! Kenapa kau tidak membantuku? Hah?” Bos Li dengan geram langsung menyemprot Kasim dengan amarahnya. Pesuruh sialan itu malah melindungi dirinya sendiri dan membiarkannya dibantai oleh gadis gila disana. Tentu saja, ini adalah kedua kalinya ada orang yang berani melakukan itu kepadanya. Yang pertama adalah isterinya, dan yang kedua adalah gadis muda dihadapannya. Entah mengapa, melihat wanita beringas itu, Bos Li tidak bisa melawan. Bukan karena dirinya tua, tetapi ada sesuatu didalam diri gadis itu yang berhasil menundukkannya. Mungkin saja, itu yang dirasakan oleh bocah tengik itu juga. Batinnya. Kembali memandang gadis gila itu, Bos Li kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya. “Siapapun namamu. Ini untukmu. Tinggalkan Jayden dan semua uang itu menjadi milikmu.” Kata Bos Li seakan enggan menatap wanita
. . . Minggu telah berganti minggu, sudah genap satu bulan Jayden meninggalkan pulau Henai dan tidak pernah kembali kesana. Bibi Hans yang mengetahui hal itu merasa sangat janggal tetapi ia juga tidak bisa berbuat apa-apa karena dirinya hanya seorang kepala pelayan. Beberapa kali ia memang sempat menghubungi kediaman Blue Ocean Hill, tetapi dia selalu mendapat cerita bahwa Tuan-nya itu sangat amat sibuk di ruang kerjanya. Padahal sebetulnya, Jayden tidak perlu melakukan semua hal itu. Biasanya, ia selalu mengecek perusahaannya dari email atau dokumen yang dibawa Suseno ke pulau Henai. Tetapi sekarang, sang Tuan malah mengerjakannya di pusat kota seakan ia sedang menghindari sesuatu di Pulau Henai. Apakah sebenarnya Tuan dan Nyonya-nya itu sedang bertengkar? Batinnya dalam hati sembari melihat Mawar yang terus belajar dengan para guru disana. Mawar, sang Nyonya, sekarang tidak pernah menanyakan tentang sang Tuan lagi. Seingatnya, terakhir kali
. . . Malam harinya di pusat kota, Jayden masih saja sibuk dengan dokumen-dokumen miliknya. Beberapa kali, ia mendapatkan panggilan dari Suseno tetapi ia selalu menolaknya. Kali ini, Jayden benar-benar hanya ingin menyibukkan diri saja supaya ia tidak kembali marah dengan wanita di Pulau Henai itu. Sudah cukup Mawar mengacaukan dunianya. Saat ia sedang duduk di kursi kerja miliknya, tiba-tiba saja Suseno menghampirinya. Bukankah dia sudah menolak panggilan dari asistennya itu? Tetapi mengapa asistennya itu malah datang ke ruangannya?! Batin Jayden dengan sedikit rasa jengkel dihatinya. Dengan berat hati, ia lalu bertanya kepada sahabatnya itu. “Ada apa lagi? Jangan ingatkan aku lagi pada pulau Henai. Apa kau mengerti?!” Jayden menutup berkas terakhirnya lalu ia beranjak dari sana. “Oh. Tidak Jay. Aku tidak mau mengingatkanmu soal pulau Henai. Hanya saja, aku ingin mengajakmu bersenang-senang. Apa kau mau?” Suseno lalu mengedipkan matan
. . . Tok! Tok! Tok! Sebuah ketukan pada pintu kaca mobil miliknya menyadarkan Jayden dari lamunannya. “Jay. Kau sedang mabuk. Biarkan aku menggantikanmu menyetir.” Suseno telah bersiap untuk membuka pintu pengemudi pada mobil Porsche itu. Tetapi Jayden kemudian menghentikannya. “Tidak usah. Aku akan pulang. Semua urusan di pusat kota, kau yang tangani.” Setelah berkata demikian, Jayden lalu menyalakan tombol pada starter mobilnya dan melaju dari sana dengan kencang. Disitu, diparkiran Club malam, Suseno mengedip-ngedipkan matanya. Apakah dirinya baru saja ditinggalkan begitu saja disana? Lalu bagaimana cara dia pulang? Batinnya lalu berusaha mengejar mobil itu. “Jay, Jay. Tunggu aku! Sial! Apa kau meninggalkanku begitu saja hah?!” Ter-engah-engah, Suseno mengatur nafasnya. Melihat ke kanan dan ke kiri, dia lalu melihat sebuah mobil sedan hendak keluar dari sana. Mungkin, dia bisa menumpang? Batinnya dalam hati sebelum