Perseteruan antara Namira dan Aidan belum juga usai. Aidan selalu mendesak Namira untuk mengakui jika keputusan berpisah mereka adalah kesalahan Namira. Padahal, semua berawal dari pengkhianatan Aidan. Namira tidak akan meninggalkan hubungan yang sudah ia bangun sejak lama jika Aidan masih dengan kesetiaannya. Namira juga akan berjuang demi mendapatkan restu orangtua Aidan. Semua badai yang sedang dialami hubungan Namira dan Aidan, mau Namira lewati. Ia berjuang sekeras yang ia bisa. Sayangnya, Aidan tidak melakukan hal yang sama. Aidan justru membuang kesetiaan yang menjadi tumpu dari hubungan mereka. Hubungannya sudah hancur, karena pengkhianatan yang terlihat oleh mata kepala Namira sendiri. Aidan kini telah bangkit dari kandasnya hubungannya dengan Namira. Tetapi, Namira masih belum sepenuhnya lupa. Masih ada sisa rasa yang menghantui Namira hingga saat ini.“Selamat pagi!” sapa Dewangga yang baru saja masuk ke area ruang karyawan. Semua karyawan menoleh ke arah sumber suara yang
Anggara menarik kursi yang ada di hadapan Dewangga. Sebelum Dewangga mempersilakan, Anggara sudah siap sedia menghadap bos yang sedang sibuk dengan setumpuk berkas di depannya. Belum ada obrolan sama sekali selama beberapa saat. Anggara membiarkan Dewangga menyelesaikan satu berkas yang sedang ia periksa. “Udah?” tanya Anggara singkat setelah Dewangga menutup satu berkas dan meletakkan ke tumpukan lain. Dewangga melihat ke arah Anggara dan siap untuk memulai obrolan lain. “Belum, masih banyak!” jawab Dewangga sambil menunjukkan tumpukan berkas di meja kerjanya. “Lain kali, kalau mau menghilang, selesaikan dulu kerjaannya! Hehehe.” Ledek Anggara disambut oleh gelak tawa renyah. “Diculik, bukan menghilang!” jawab Dewangga mengundang tawa yang lebih ramai di ruangan Dewangga.Tawa Dewangga dan Anggara membuat Namira sungkan untuk masuk ke dalam. Bahkan, mengetuk pintu ruangan Dewangga pun Namira memilih untuk mundur. “Ah, pasti di dalam sedang asyik ngobrol. Lebih baik aku nanti saja bic
“Selamat siang, semua!” Sapa Dewanti yang baru saja datang dan berhasil masuk ke ruangan Dewangga. Dewangga cukup terkejut dengan kedatangannya. Namira dan Anggara juga tidak menyangka Dewanti akan datang saat itu juga. “Siang!” jawab Anggara tidak ingin membuat Dewanti sedih karena tidak ada yang membalas sapaannya. “Udah pada makan siang? Aku bawa banyak makanan!” kata Dewanti sembari menunjukkan tentengannya. “Wahh! Pasti enak sekali!” seru Anggara yang sejak tadi mengajak Dewanti ngobrol lebih dulu. “Ayo kita makan!” ajak Dewanti tanpa melihat situasi yang di ruangan Dewangga. Padahal Dewangga baru saja ingin mengadakan rapat intern bersama Namira. “Dewangga, ayo makan! Ini sudah waktunya makan siang!” ajak Dewanti. Perhatian Anggara dan Namira memusat ke Dewanti. “Siapa dia? Sepertinya gue udah pernah bertemu dengannya sebelum ini. Tapi dimana, ya? Dan siapa dia?” batin Namira yang terus bersuara dalam hati. Ia mengingat tentang Dewanti. Tatapannya seperti tidak asing. “Hai, kamu
Pekerjaan menumpuk membuat kata lembur itu muncul hari ini. Malam sudah menampakkan kegelapannya, namun, Namira masih enggan pergi dari kursi kerjanya. Ia masih bertahan di depan laptop yang bertengger rapi di meja kerjanya. Pikriannya masih runyam. Banyak sekali hal yang ingin ia selesaikan dalam satu waktu. Tetapi, tangan dan otaknya tidak sanggup. “Kapan ini selesainya?” keluh Namira dengan wajah lesu. Tangannya sudah tidak sekuat tadi. Malam ini, semua energinya sudah tinggal setengah. Berulang kali ia menggerakkan kepalanya ke samping. Pun badannya ia regangkan setiap merasa pegal. Setelah itu, ia kembali pada pekerjaan yang memaksa Namira untuk tetap tinggal di kantor sampai malam hari.“Permisi Bu Namira,” sapa salah satu OB kantor yang masuk ke ruangan Namira karena ruangannya terbuka lebar. “Eh iya, ada apa, Pak?” tanya Namira kepada OB yang tiba-tiba saja datang. Padahal Namira tidak merasa memanggil atau meminta bantuan. “Ada makanan untuk Ibu,” ucapnya sembari meletakkan m
Siang ini Namira memilih untuk makan siang sendiri tanpa Nimas karena Nimas sedang sibuk dan tidak bisa diganggu. Entah kenapa, mobil Namira berhenti di salah satu restoran langganannya bersama Aidan dulu. Ada hal yang ia rindu. Mungkin dari makanannya, ruangan, atau suasana di sana. Atau mungkin saja, ada sosok yang sedang ia rindu tanpa bisa ia temui lagi. “Huh, sesekali nggak papa lah. Lagian, aku hanya ingin makan di sini. Bukan untuk kembali bersama masa lalu,” ujar Namira ketika turun dari mobilnya lalu menutup dan berjalan masuk. Tas yang ia jinjing menambah kesan elegan tampilan Namira siang itu. “Semoga tidak ada hal buruk atau tidak menyenangkan yang aku temui siang ini,” pinta Namira kepada semesta.Setelah mendapat tempat yang ia suka dan setujui, Namira diantar oleh pelayan restoran. “Terima kasih, Mba. Biar saya pilih makanannya, kalau sudah akan saya panggil lagi,” ujar Namira kepada sang pelayan. Pelayan itu pun pergi dan menemani pelanggan lainnya. Namira membuka lemb
Namira tidak pernah tahu siapa yang akan menjadi pasangan Aidan selanjutnya. Belum terpikirkan pun rasanya belum rela jika Aidan harus memberi cintanya kepada perempuan lain. Sebab, sebelumnya Namira lah yang menjadi pemenang hati Aidan. Ia yang memiliki cinta itu, merasakan kasih sayang, pun mendapatkan perhatian. Selama kurang lebih 5 tahun, semua berjalan dengan sangat baik. Bagi Namira, semua terasa lengkap karena kehadiran Aidan. “Selama aku punya pasangan, rasanya hati dan hariku lebih lengkap.” Kalimat itu pernah Namira utarakan ketika hubungannya bersama Aidan masih baik-baik saja. Sayangnya, semua harus berakhir dengan pengkhianatan. Perjuangan yang sedang dilakukan oleh Namira dibalas oleh perselingkuhan. Tidak ada hal yang bisa membuat cintanya berhenti kecuali perselingkuhan. Namira pernah berjanji kepada dirinya sendiri.Jika Aidan berkhianat, Namira akan memaksa dirinya untuk berhenti mencintai. Mungkin dengan pasangan Namira lainnya. Ternyata, pasangan Aidan selanjutnya
Setelah tangis Namira mereda, Dewangga membawa Namira pergi dari restoran itu. Dewangga memaksa Namira untuk pergi bersama Dewangga dan meninggalkan mobilnya di restoran. “Biar saya suruh seseorang mengambil mobil kamu. Yang jelas, orang kepercayaan saya. Jangan khawatir,” ujar Dewangga menenangkan segala kekhawatiran Namira. Tanpa sepatah kata pun, Namira langsung ikut masuk ke dalam mobil Dewangga. Melepaskan segala tangisnya barusan, dan meninggalkan cinta lamanya yang sedang asyik memadu kasih dengan masa depannya. Meski belum sembuh betul rasa sedihnya, Namira berusaha untuk tidak kembali menangis. Ia tidak ingin orang melihatnya iba. Perasaan ini adalah kesalahan Namira sendiri, jadi, tidak untuk dipertontonkan kepada orang lain.“Eee... Pak Dewa,” Namira membuka suara setelah bungkam sejak di parkiran mobil restoran tadi. “Ya, ada apa?” tanya Dewangga cemas. Dewangga mengira Namira butuh sesuatu dan Namira sungkan untuk bicara. “Emm, saya....” Kalimat Namira belum juga sempurna
“Kamu tahu nggak cara minum teh yang elegan?” tanya Dewangga mengisi keheningan saat mereka Dewangga dan Namira sedang menikmati secangkir teh hangat. “Memangnya bisa, Pak?” tanya Namira dengan sedikit meremehkan pertanyaan dari bosnya itu. “Ada!” jawab Dewangga tegas. Mimik wajah Namira berubah setelah mendengar jawaban dari Dewangga. Wajahnya menjadi lebih serius, dan pastinya penasaran atas apa yang diucapkan oleh Dewangga. “Tegakkan badan dan pandangan kamu,” ucap Dewangga sembari memperagakan apa yang ia katakan. “Atau Namira, ikuti saya!” seru Dewangga ketika melihat Namira hanya menjadi penonton. “Oh, i-iya, Pak!” Namira langsung mengikuti perintah Dewangga. Ia mengambil cangkir kopi juga piring kecil dengan corak sama yang melandasi cangkir tersebut.“Bagus!” komentar Dewangga dengan senyum jahil. “Emmm... Lanjut!” seru Dewangga tidak ingin merusak suasana yang sudah ia bangun barusan. ”Sekarang, letakkan tangan kiri di depan dada, lalu minum perlahan!” jelas Dewangga memberi