Pekerjaan menumpuk membuat kata lembur itu muncul hari ini. Malam sudah menampakkan kegelapannya, namun, Namira masih enggan pergi dari kursi kerjanya. Ia masih bertahan di depan laptop yang bertengger rapi di meja kerjanya. Pikriannya masih runyam. Banyak sekali hal yang ingin ia selesaikan dalam satu waktu. Tetapi, tangan dan otaknya tidak sanggup. “Kapan ini selesainya?” keluh Namira dengan wajah lesu. Tangannya sudah tidak sekuat tadi. Malam ini, semua energinya sudah tinggal setengah. Berulang kali ia menggerakkan kepalanya ke samping. Pun badannya ia regangkan setiap merasa pegal. Setelah itu, ia kembali pada pekerjaan yang memaksa Namira untuk tetap tinggal di kantor sampai malam hari.“Permisi Bu Namira,” sapa salah satu OB kantor yang masuk ke ruangan Namira karena ruangannya terbuka lebar. “Eh iya, ada apa, Pak?” tanya Namira kepada OB yang tiba-tiba saja datang. Padahal Namira tidak merasa memanggil atau meminta bantuan. “Ada makanan untuk Ibu,” ucapnya sembari meletakkan m
Siang ini Namira memilih untuk makan siang sendiri tanpa Nimas karena Nimas sedang sibuk dan tidak bisa diganggu. Entah kenapa, mobil Namira berhenti di salah satu restoran langganannya bersama Aidan dulu. Ada hal yang ia rindu. Mungkin dari makanannya, ruangan, atau suasana di sana. Atau mungkin saja, ada sosok yang sedang ia rindu tanpa bisa ia temui lagi. “Huh, sesekali nggak papa lah. Lagian, aku hanya ingin makan di sini. Bukan untuk kembali bersama masa lalu,” ujar Namira ketika turun dari mobilnya lalu menutup dan berjalan masuk. Tas yang ia jinjing menambah kesan elegan tampilan Namira siang itu. “Semoga tidak ada hal buruk atau tidak menyenangkan yang aku temui siang ini,” pinta Namira kepada semesta.Setelah mendapat tempat yang ia suka dan setujui, Namira diantar oleh pelayan restoran. “Terima kasih, Mba. Biar saya pilih makanannya, kalau sudah akan saya panggil lagi,” ujar Namira kepada sang pelayan. Pelayan itu pun pergi dan menemani pelanggan lainnya. Namira membuka lemb
Namira tidak pernah tahu siapa yang akan menjadi pasangan Aidan selanjutnya. Belum terpikirkan pun rasanya belum rela jika Aidan harus memberi cintanya kepada perempuan lain. Sebab, sebelumnya Namira lah yang menjadi pemenang hati Aidan. Ia yang memiliki cinta itu, merasakan kasih sayang, pun mendapatkan perhatian. Selama kurang lebih 5 tahun, semua berjalan dengan sangat baik. Bagi Namira, semua terasa lengkap karena kehadiran Aidan. “Selama aku punya pasangan, rasanya hati dan hariku lebih lengkap.” Kalimat itu pernah Namira utarakan ketika hubungannya bersama Aidan masih baik-baik saja. Sayangnya, semua harus berakhir dengan pengkhianatan. Perjuangan yang sedang dilakukan oleh Namira dibalas oleh perselingkuhan. Tidak ada hal yang bisa membuat cintanya berhenti kecuali perselingkuhan. Namira pernah berjanji kepada dirinya sendiri.Jika Aidan berkhianat, Namira akan memaksa dirinya untuk berhenti mencintai. Mungkin dengan pasangan Namira lainnya. Ternyata, pasangan Aidan selanjutnya
Setelah tangis Namira mereda, Dewangga membawa Namira pergi dari restoran itu. Dewangga memaksa Namira untuk pergi bersama Dewangga dan meninggalkan mobilnya di restoran. “Biar saya suruh seseorang mengambil mobil kamu. Yang jelas, orang kepercayaan saya. Jangan khawatir,” ujar Dewangga menenangkan segala kekhawatiran Namira. Tanpa sepatah kata pun, Namira langsung ikut masuk ke dalam mobil Dewangga. Melepaskan segala tangisnya barusan, dan meninggalkan cinta lamanya yang sedang asyik memadu kasih dengan masa depannya. Meski belum sembuh betul rasa sedihnya, Namira berusaha untuk tidak kembali menangis. Ia tidak ingin orang melihatnya iba. Perasaan ini adalah kesalahan Namira sendiri, jadi, tidak untuk dipertontonkan kepada orang lain.“Eee... Pak Dewa,” Namira membuka suara setelah bungkam sejak di parkiran mobil restoran tadi. “Ya, ada apa?” tanya Dewangga cemas. Dewangga mengira Namira butuh sesuatu dan Namira sungkan untuk bicara. “Emm, saya....” Kalimat Namira belum juga sempurna
“Kamu tahu nggak cara minum teh yang elegan?” tanya Dewangga mengisi keheningan saat mereka Dewangga dan Namira sedang menikmati secangkir teh hangat. “Memangnya bisa, Pak?” tanya Namira dengan sedikit meremehkan pertanyaan dari bosnya itu. “Ada!” jawab Dewangga tegas. Mimik wajah Namira berubah setelah mendengar jawaban dari Dewangga. Wajahnya menjadi lebih serius, dan pastinya penasaran atas apa yang diucapkan oleh Dewangga. “Tegakkan badan dan pandangan kamu,” ucap Dewangga sembari memperagakan apa yang ia katakan. “Atau Namira, ikuti saya!” seru Dewangga ketika melihat Namira hanya menjadi penonton. “Oh, i-iya, Pak!” Namira langsung mengikuti perintah Dewangga. Ia mengambil cangkir kopi juga piring kecil dengan corak sama yang melandasi cangkir tersebut.“Bagus!” komentar Dewangga dengan senyum jahil. “Emmm... Lanjut!” seru Dewangga tidak ingin merusak suasana yang sudah ia bangun barusan. ”Sekarang, letakkan tangan kiri di depan dada, lalu minum perlahan!” jelas Dewangga memberi
“Gue kira Pak Dewangga bakal menghibur gue hari ini. Ternyata, malah gue disuruh sembunyi ga jelas!” gerutu Namira di dalam ruang ganti Dewangga. Pintunya masih tertutup rapat. Belum ada tanda-tanda Dewangga datang dan menyuruh Namira untuk keluar dari sana. “Mana dingin banget lagi AC-nya,” protes Namira tanpa henti. Namira bersembunyi di sebelah almari besar yang berisi puluhan atau bahkan ratusan setelan jas milik Dewangga. Selain itu, di depannya juga masih ada beberapa almari yang warnanya senada. Putih bersih. Ruangan itu jadi terlihat lebih luas dan pastinya mewah. “Sampai kapan gue harus berdiri dan duduk nggak jelas di sini?” Namira terus mengeluh sembari menunggu kedatangan Dewangga. Sudah tiga puluh menit Namira berada di sana.“Dewa, butuh bantuan?” teriak Dewanti ketika merasa Dewangga berada di dapur lebih lama dari perkiraannya. “Oh, nggak perlu!” jawab Dewangga tegas. Dewangga sengaja memperlambat yang sedang ia kerjakan di dapur. “Lama banget, kasihan Anggara sudah na
Namira bersiap lebih pagi dari biasanya, sebab, hari ini ia ke kantor tidak mengendarai mobilnya sendiri. “Kemana ya mobil gue? Kenapa gue kemarin nggak tanya sama Pak Dewa sih!” Namira kesal dengan dirinya sendiri. Kesalahpahaman yang hampir terjadi di kamar hotel Dewangga membuat buyar segala yang ada di pikiran Namira. Tidak hanya mobil, Namira juga lupa menyelesaikan pekerjaan yang seharusnya harus selesai pagi ini. “Gue sial banget. Sudah kemarin nangis di depan Pak Dewangga, ketemu mantan dan pacar barunya, terus lupa sama banyak kerjaan gue,” Namira tak berhenti ngedumel. “Oh iya satu lagi, mobil gue nggak tahu dimana keberadaannya!” tambahan dari Namira seraya melempar handuknya ke kursi.“Halo, Nimas. Lo bisa nggak jemput gue hari ini?” suara Namira lebih kencang karena ia meletakkan ponselnya di atas meja, sementara ia sedang merias wajah dan rambutnya. “Hah? Tumben banget. Tapi ini kan juga masih pagi,” jawab Nimas tidak memberikan kepastian untuk sahabatnya yang sedang run
Curahan isi hati Namira masih terus dibahas sampai ke kantor. Nimas dan Namira saling beradu pendapat. Nimas melakukan ini juga untuk kebaikan sahabatnya. Ia tidak ingin sahabatnya terpenjara dalam masa lalunya. Namira berhak bahagia dengan pasangan masa depannya. “Ra, gue bisa bantu apa agar Lo bisa melupakan perasaan Lo ke Aidan? Atau setidaknya lo nggak terus menerus mikirin Aidan. Inget, Aidan sudah punya pasangan baru,” terang Nimas menghampiri Namira di ruang kerjanya. “Gue juga nggak tahu harus bagaimana. Bukan gue yang mau ini semua. Tapi, perasaan gue,” jawab Namira seolah masih enggan pergi dari masa lalunya. “Bukan perasaan lo yang sulit, tapi lo yang belum mau. Betul, kan?” tebakan Nimas kali ini membuat Namira kesal.Namira juga tidak inigin ada di posisi sekarang. Sulit melupakan mantan kekasih, apalagi mantan sang mantan sudah memiliki pasangan baru. “Ra, denger ya gue nggak mau lo dipermalukan sama perasaan Lo sendiri. Gue akan bantu lo membuktikan sama semua orang kal