Share

7 Fitnah untuk Davin

"Pencuri?!!!" tanya Vania kaget.

"Ya...ada seorang tamu terhormat di hotel ini yang kehilangan cincinnya yang dia taruh di mejanya, dia juga bilang, kalau pemuda bernama Davin ini yang berada di dekat meja, karena itu, pihak hotel akan memproses dulu kasus ini untuk menyelidiki persoalan ini," kata petugas hotel.

"Siapa tamunya? tunjukkan padaku," kata Vania penasaran. pegawai hotel langsung menunjuk ke restoran, dia menunjuk ke arah Ardy yang sedang tersenyum mengejek ke arah Vania dan Davin, Vaniapun langsung tahu, kalau itu semua adalah fitnah untuk Davin.

"Aku tidak mencuri, Van," bisik Davin kepada Vania.

"Aku tahu. ini pasti fitnah dari si kodok itu!" jawab Vania geram sambil menunjuk ke arah Ardy yang saat ini sedang tertawa-tawa di dalam restoran hotel.

"Yang penting bagiku, kamu tidak mempercayai fitnah itu. sekarang, kamu makanlah dulu, kamu kan sudah lapar. biar aku yang berusaha menjelaskan kepada mereka dan----"

"Tidak! rasa laparku sudah hilang. aku akan menemanimu menjalani pemeriksaan. karena aku yakin kalau kamu tidak bersalah apa-apa," tegas Vania.

"Tapi...kamu kan sudah lapar."

"Pak, kami berdua akan menjalani pemeriksaan. dimana tempatnya?" tanya Vania kepada petugas hotel serta tidak menggubris perkataan Davin tadi.

"Ini ada Pak Satpam yang akan mengantar kalian ke sana," kata petugas hotel sambil menunjuk seorang petugas keamanan yang sedang mendatangi mereka.

Saat ini, Vania tahu, kalau di dalam restoran hotel, Ardy masih mengawasi mereka, karena itu, karena kesalnya pada Ardy, Vania sengaja bergelayut manja di lengan Davin sambil berbisik mesra untuk sekalian menyemangati Davin dan membuat Ardy kesal, kemudian bersama Davin, Vania melangkah meninggalkan tempat itu.

Di dalam restoran, benar saja perkiraan Vania tadi, Ardy sangat marah dengan kelakuan Vania itu, Ardy mengepalkan tangan dan memukuli kursi restoran yang tidak berdosa, dasar Ardy!

Sesampainya di ruang pemeriksaan, seorang satpam senior, menatap wajah Davin, dia ingin berlaku bak seorang polisi di ruang interogasi yang berusaha meruntuhkan nyali terdakwa sebelum memulai pertanyaan-pertanyaannya.

"Kamu dicurigai mengambil sebuah jam tangan milik tuan Ardy yang tertinggal di atas meja tujuh ballroom hotel ini malam tadi. katanya, saat dia meninggalkan jam tangannya disitu, hanya ada kamu yang ada di situ," kata Pak Satpam memulai sidangnya.

"Semalam itu, aku bahkan tidak duduk di meja manapun, pak. sebagai seorang Cleaning Service, aku terbiasa berdiri di luar saat ada acara. semalam itu, sama saja. aku berdiri di luar, untuk kemudian naik ke panggung, jadi, aku pastikan, kalau aku tidak pernah duduk di meja manapun," jawab Davin tenang. jawaban yang membuat Vania senang.

"Tapi, ada seorang tamu terhormat di hotel ini yang bersikeras melihatmu mendekati meja itu dan mengambil jam tangan Rolexnya, itu yang pasti," kata Pak Satpam bersikeras.

"Gini aja, pak. hotel semewah ini, pasti ada CCTV kan? bapak boleh lihat disana, cari buktinya kalau aku memang mendekati meja itu atau tidak," kata Davin tenang.

"Gak bisa dong. perkataan tamu terhormat kami itu, sudah harga mati dan----"

"Gini aja, pak. pamanku seorang polisi. biar dia datang memeriksa kasus ini sekaligus melihat CCTV nya, supaya semuanya jadi terang benderang, gimana pak?" potong Vania berusaha menggertak karena sikap keras si Satpam yang nampaknya sudah diatur oleh Ardy itu, padahal sih, Vania tidak memiliki paman polisi sama sekali.

"Er....oh....eh...ya udah. gini aja, aku bebasin kamu. kamu boleh pergi," kata Satpam itu setelah gelagapan beberapa saat.

Davin masih terdiam tapi, Vania langsung menarik tangannya untuk membawanya keluar.

"Kita makan aja yuk. makan di luar hotel aja. laper nih," bisik Vania di telinga Davin. Davinpun menganggukkan kepalanya.

Akhirnya, mereka berdua menemukan sebuah rumah makan sederhana sekitar 50 meter di belakang hotel, mereka pun memesan makanan dan duduk berhadapan di meja tengah.

"Siang ini, kita keluar aja ya?" kata Vania sambil menatap rahang kokoh Davin.

"Keluar?"

"Iya. keluar dari hotel. sebenarnyakan, kita dapat dua hari nginap gratis di hotel, tapi, aku gak suka dengan fitnah-fitnah dari si Ardy, jadi, lebih baik kita keluar aja, ya?"

"Oke. aku setuju. sebenarnya, sayang juga sih, karena kamarnya cukup enak---"

"Nanti deh. kalau ada libur, kita nginap di hotel lain, aku kan punya member yang dapat voucher gede untuk nginap di hotel, dan----" Vania tidak meneruskan kata-katanya karena dia baru sadar kalau dia telah mengajak seorang pria untuk nginap bersamanya di hotel. dia baru sadar kalau tidak pantas mengucapkan kata-kata seperti itu, sehingga dia langsung terdiam.

"Kenapa terdiam? oh... Voucher hotelnya sudah terpakai ya? gak apa-apa kok kalau gitu. nanti aku yang kerja keras supaya bisa punya duit untuk kita nginap di hotel," kata Davin yang tidak sadar, kenapa Vania tadi terdiam.

"Eh....iya iya," jawab Vania asal-asalan. yang sebenarnya, dia cukup risih dengan pembicaraan nginap di hotel ini, karena seumur hidupnya, dia tidak pernah nginap berdua dengan cowok di hotel, rumah kost, apartemen atau apapun itu, yang semalam adalah yang pertama bagi Vania, untuk nginap bersama cowok, untungnya, walaupun sekamar, mereka tidur terpisah.

"Cerita dong soal kamu. masa kecil kamu, orang tua kamu dan cita-cita kamu. ayo dong?" kata Vania untuk mengalihkan pembicaraan.

"Aku...aku sebenarnya tidak lahir disini. aku berasal dari jauh. ibuku aja yang berasal dari sini tapi kemudian, ikut ayahku dan tinggal di tempat ayahku," kata Davin memulai ceritanya, dia berhenti sejenak karena bertepatan dengan datangnya seorang pelayan yang menaruh makanan pesanan mereka di meja makan.

"Oh, jadi? kamu itu berasal dari daerah gitu dan hanya ibumu yang berasal dari Jakarta. terus, kamu merantau ke Jakarta untuk mengadu nasib, gitu kan?" tebak Vania setelah pelayan pergi.

"Ehm... begitulah," jawab Davin. dia terpaksa berbohong karena memang masih belum ingin membuka jati dirinya yang sebenarnya kepada Vania. itu karena Davin ingin mendekati Vania, sebagai seorang miskin yang tidak punya apa-apa.

" Terus? teruskan dong ceritanya," desak Vania.

"Ehm... cita-cita ku sederhana. aku cuma ingin bertemu dengan seorang wanita, yang betul-betul menyayangiku, wanita yang bersedia untuk hidup denganku dalam suka dan duka hingga maut memisahkan."

"Hihihi..."

"Kok ketawa sih?"

"Ya iyalah. aku kan nanya cita-cita. yang namanya cita-cita itu, dimana-mana berarti, cita-cita menjadi Dokter, jadi pilot, jadi pengusaha, gitu-gitu. kalau yang kamu bilang tadi itu, soal jodoh bukan cita-cita."

"Wah. salah dong?"

"Ya salah. contoh nya kayak aku ini, Waktu kecil, aku sebenarnya cita-citanya ingin jadi Dokter, terus, waktu SMA, aku mulai berminat jadi Arsitek. akhirnya, waktu lulus SMA, akupun tidak jadi kuliah kedokteran, malah aku kuliah teknik. dan akhirnya, lulus jadi arsitek dan kerja di kantor kita. kalau kamu, kamu kuliah gak?"

Comments (1)
goodnovel comment avatar
edi siswoyo
mantap lanjutkan dengan menekan tombol power dan torsi maksimum sebesar lupa
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status