Grace mendengus lirih, kemudian dia meraba jari kelingking kanannya dimana terdapat tato kecil di sana. "Seharusnya." Ucapnya lirih.
"Sebelum aku menghancurkannya." Lanjutnya dengan raut penuh penyesalan.Seorang pelayan datang mengantarkan secangkir cokelat panas milik Terra. "Terimakasih," ucap Terra sebelum pelayan tersebut pergi.Gadis itu mengangkat cangkirnya, menyesap perlahan cokelat panas tersebut. Kemudian meletakkannya kembali ke atas meja."Kupikir kau sudah selesai dengan kejadian enam tahun lalu. Kupikir juga tak ada salahnya kau berteman lagi dengan Cassie." Ucap Terra setelah keheningan yang terjadi di antara mereka.Grace melempar pandangannya ke luar cafe. Sebuah senyuman miris terlihat di wajahnya. "Ya, kuharap juga bisa begitu. Namun, kau tahu sendiri bagaimana tempramen Cassie. Sekali dia disakiti, dia akan memutuskan hubungan dengan orang itu."Terra mengangguk paham. Dia mengerti maksud Grace mengatakannya. "Jadi, kau ingin meminta bantSeorang gadis terlihat sedang menegak minumannya di meja bar. Wajahnya sudah memerah karena mabuk, namun dia tak kunjung mengakhiri kegiatan meminumnya. "Aish ... kenapa hanya tersisa satu teguk lagi?" ungkapnya kesal. Ia menuangkan sisa whiskey dari botol tersebut ke dalam gelasnya. Lalu, dia beralih pada bartender. "Beri aku sebotol whiskey lagi," ucapnya dengan pandangan tak fokus. Dirinya benar-benar sudah mabuk berat. "Tidak bisa, Nona. Kau sudah mabuk. Sebaiknya kau pulang atau meminta rekanmu menjemputmu." Balas bartender tersebut menolak permintaan gadis itu. Tak mengindahkan ucapan bartender, gadis tersebut justru menegak lagi whiskey di gelasnya hingga tandas. Sampai tangan seseorang menahannya. "Hentikan, Grace!" seruan seorang lelaki membuat gerakan tangan gadis itu terhenti. Kepalanya menoleh dan mendapati seorang lelaki yang dikenalnya berdiri di sana. "Ollie? Kau datang untuk menjemputku? Sudah kuduga kau mas
Grace terbangun dari tidurnya dengan sakit kepala yang menyerangnya dan rasa mual di perutnya. Dia memegangi kepalanya, kemudian menutup mulutnya.Beberapa saat dia duduk terdiam di atas ranjang untuk mencerna semuanya, hingga dia tak bisa lagi menahan rasa mualnya dan langsung berlari ke kamar mandi untuk memuntahkan semua isi perutnya.Grace ingat semalam dirinya datang ke The Black Dog Bar, bar milik keluarga Holt. Harapannya Ralph datang menjemputnya tatkala dirinya sudah mabuk di sana. Namun, saat terbangun tadi, Grace jelas tahu dimana dia berada saat ini.Ini bukan kediaman keluarga Holt, maupun vila yang ditinggali oleh Ralph sejak lelaki itu lulus SMA. Ini adalah rumah pribadi James Murphy, Grace mengenalinya karena sudah beberapa kali menginap di sini.Grace melempar pandangannya pada cermin di depannya. Sekarang dia tak mengenakan apapun selain dalaman. Tubuhnya dihiasi oleh beberapa bekas gigitan yang memerah. Semua ini pasti ulah James yang mengambil kesempatan pada saat
Sesuai dengan keputusan Ralph tadi pagi, Cassie diantar oleh rombongan Ralph hingga ke gedung CS Studio. Carlo turun dan membantu mengantar Cassie sampai mereka tiba di lantai empat CS Studio. Setelah itu dia kembali ke mobil.Ralph tentu saja tidak bisa ikut turun, di luar akan ada banyak paparazzi yang dapat dengan mudah mengambil gambarnya. Karena mewanti-wanti hal itu juga, Ralph memutuskan menukar mobil Rolls Royce yang biasa digunakan olehnya dengan Lexus."Kau sudah memastikan dia masuk ke ruangannya, Carlo?" tanya Ralph saat Carlo sudah kembali ke mobil.Carlo menoleh ke belakang, dimana Ralph berada. "Sudah, Tuan. Nona Cassie sudah masuk ke ruangannya bersama Nona Terra Amore." Jelasnya dengan suara tenang.Ralph mengangguk, kemudian beralih pada sopir yang duduk di balik kemudi. "Jalanlah."Mobil itu pun perlahan berjalan menjauh dari CS Studio. Ralph menyandarkan kepalanya pada sandaran mobil. Kepalanya terpejam, ingatannya berputar pada kejadian tadi pagi selepas sarapan.
"Jadi, apa yang kau inginkan dariku?" tanya Ralph to the point pada saat Grace sudah masuk ke ruangannya dan duduk dengan tenang di sofa.Grace menyunggingkan senyum manisnya. "Aku tak berani meminta apapun darimu, Oliver. Aku datang ke sini murni untuk meminta maaf atas segala yang telah terjadi sepuluh tahun yang lalu." Ucap Grace dengan berhati-hati.Gadis itu menghela napasnya sesaat sebelum melanjutkan. "Aku tahu dan menyadari, kejadian itu membuat hubungan kita, aku, kau dan Arthur menjadi renggang. Aku tak bermaksud memutus hubungan pertemanan dengan kalian. Aku juga tidak menyangka hal itu akan terjadi."Ralph yang mendengar penjelasan Grace seketika mendesis sinis. Bagaimana mungkin gadis itu mengatakan tak memiliki maksud menghancurkan hubungan persahabatan mereka? Jelas saja dia sengaja berselingkuh darinya."Kurasa sudah cukup sepuluh tahun ini aku lari dari masalah dan mencoba mengindar dari kalian berdua. Tadi aku sudah mengatakan hal yang sama pada Arthur, dan dia berse
Cassie baru saja sampai di villa Ralph setelah selesai makan siang bersama lelaki itu. Ralph harus tinggal di restoran itu karena masih memiliki janji bertemu dengan kliennya, sementara itu Cassie diantar pulang oleh Jovan."Terimakasih, Jovan." Ungkap Cassie dengan senyum manisnya pada saat Jovan telah mengantarkannya ke kamar Ralph."Jangan sungkan, Nona. Saya akan membantu Nona. Katakan saja bila Nona butuh bantuan," balas Jovan dengan wajah datar dan kepala yang tertunduk, dia sama sekali tak berani bertatapan mata dengan Cassie mengingat betapa posesifnya Ralph pada kekasihnya itu.Jika Ralph mengetahui Jovan menatap Cassie dengan pandangan memuja, sudah pasti kepala Jovan tak lagi ada di tempat. Bisa jadi dia sudah ditembak mati. Namun, Cassie memang pantas dipuja. Parasnya yang cantik dengan tubuh yang ideal, ditambah lagi dengan prestasinya yang gemilang dan kepribadiannya yang baik, Jovan yakin tak ada lelaki di dunia ini yang tak tertarik pada Cassie."Kalau begitu, saya per
Cassiel Smeraldo—nama lengkap dari gadis yang kini sedang duduk di kursi bar dengan segelas martini di tangan kanannya. Dia tampak menawan dengan gaun sabrina yang memiliki belahan dada rendah. Warna merah maroon pada gaun tersebut juga terlihat sangat kontras dengan kulitnya yang seputih salju.Sesekali dia tampak menyesap martininya, kemudian beralih pandang pada jajaran minuman beralkohol di hadapannya. Samuel, sang bartender terkadang mengajaknya berbincang ringan. Mereka tampak akrab, karena memang pada kenyataannya seperti itu. Cassie sering mendatangi bar ini setiap malam minggu untuk mengusir kepenatannya. Dia sibuk bekerja setiap hari dan akan melupakan segala masalahnya di malam ini."Kudengar ibumu menyuruhmu pergi kencan buta lagi," kata Samuel saat Cassie menyesap kembali martininya."Dari mana kau tau?" tanya Cassie menatap Samuel penuh selidik."Ibumu yang bercerita langsung padaku akhir pekan lalu saat kami sedang makan siang bersama." Samuel menjawab dengan santai.Ca
"Kenapa kau melihatku dengan pandangan seperti itu?" tanya Ralph dengan raut was-was. Pasalnya Samuel memandanginya dengan senyum mencurigakan."Sepertinya aku punya solusi untukmu." Ucap Samuel sambil menaik turunkan alisnya.Ralph mendesah lesu. "Apa yang akan kau tawarkan padaku?"Pria muda itu sungguh lelah dengan segala hal yang mengganggunya akhir-akhir ini. Memang orang tuanya tidak begitu menyetujui hubungannya dengan Abigail Bloom, tentunya bukan karena kasta, karena Abigail berasal dari keluarga terpandang juga. Hanya saja pekerjaan Abigail sebagai model itu mengharuskan dia bergaul dengan banyak model pria, bahkan terkadang dia juga menerima tawaran foto intim dengan lawan jenis. Bagi keluarga Ralph sendiri, hal tersebut bisa mencoreng nama baik keluarga. Oleh karenanya, keluarga Ralph tidak terlalu menyetujui hubungan keduanya.Walaupun hubungan Ralph dan Abigail telah berakhir sebulan yang lalu, dan Ralph juga sudah mulai melupakan Abigail, tapi bukan berarti dia akan den
Cassie memutar kepalanya ke samping. "Bantuan apa yang akan kau tawarkan?" tanya Cassie dengan ragu-ragu. Sejujurnya dia memang tidak yakin dan tidak ingin berurusan dengan lelaki yang dia temui di bar ini, tapi dia penasaran dengan tawaran itu."Menjadi kekasih pura-pura." Ralph menjawab dengan santai. Tangan kirinya masuk ke dalam saku celana pendeknya, sedangkan tangan kanannya masih memegangi tali Rex.Dalam diam kedua mata Cassie bergerak memindai tubuh Ralph dari atas ke bawah, seolah mempertanyakan apakah Ralph pantas menjadi kekasih pura-puranya? Ehm, salah. Sepertinya lebih pada, apakah Cassie pantas menjadi kekasih pura-pura Ralph?Lihatlah, hari ini untuk mengajak Rex jalan-jalan saja Ralph memakai kaos polo berwarna putih dan celana pendek berwarna khaki. Jangan lupakan kepalanya yang ditutupi dengan topi berwarna senada dengan bajunya. Ralph nampak mahal dan keren."Bagaimana?" tanya Ralph setelah menunggu jawaban yang cukup lama dari Cassie.Mendeng