Patricia menatap marah pada lelaki tua itu. Dia memang tidak suka jika ada orang yang dengan terang-terangan membicarakan dirinya, apalagi mencari tahu informasi dirinya melalui orang lain. Terlebih lagi orang itu adalah orang yang dia benci selama ini. “Patricia?” Sean menegur Patricia dengan sedikit kernyitan di wajahnya. Tidak biasanya Patricia menunjukan emosi kemarahan seperti itu pada orang lain selain dirinya. “Maaf, bisakah aku keluar dari ruangan ini sekarang juga?” pinta Patricia tanpa memandang Sean sama sekali. Dia masih menatap marah pada lelaki tua itu. “Aku tidak tahu apa yang terjadi antara kalian berdua, tapi ini urusan pekerjaan. Bersikaplah professional,” ucap Sean. Patricia sama sekali tidak peduli dengan ucapan Sean. Dia menetap kearah lain dengan amarah yang masih bergemuruh di dadanya. “Apa kau tidak mendengar apa yang aku katakan Patricia? Kenapa kau diam saja seperti orang bodoh? Cepat minta maaf pada Darren, dia rekan bisnisku. Apa pantas kau memperlakuka
Beberapa minggu ini Patricia terlihat sering uring-uringan karena pekerjaannya makin lama semakin banyak sehingga membuatnya sering lembur, juga dia sadar Sean selalu mengerjainya dengan menyuruh Patricia mengulang laporan padahal sudah kesekian kali dia membuat ulang. Lebih menyebalkannya lagi, Sean sekarang terang-terangan menggodanya di depan karyawannya sendiri.“Butuh bantuan Patcy? Ah, tapi sepertinya aku tidak bisa membantu karena Sean pasti akan marah jika ada yang membantumu. Saying sekali,” ujar Tasha setelah mengulas lipstikk merah mudanya. Dia sedang merapikan make up yang sudah mulai luntur.“Ini benar-benar gila Tasha, lelaki itu sepertinya ingin membuatku mati karena kelelahan. Dokumen yang sudah aku cek berapa kalipun harus diulang beberapa kali. Sean benar-benar gila!” umpat Patricia.Patricia berani mengumpat pada bossnya karena dia sedang berada di toilet yang kebetulan hanya ada dia dan Tasha di dalam.“Sudah jelas dia sedang mengincarmu, kenapa kamu tidak coba saj
Setelah turun dari pesawat, Patricia langsung pergi menuju kantor polisi untuk menemui seseorang di sana. Sejak dia pergi dari kantor sampai turun dari pesawat, teleponnya terus berdering tanpa henti dan Patricia terus mematikannya bahkan dia membuat teleponnya dalam mode getar saja. Tasha yang meneleponnya dan mengirim banyak pesan padanya pun sama sekali tidak dia gubris. Pikiran wanita berusia dua puluh lima tahun ini sedang sangat kacau sekarang. Sepanjang perjalanan dia hanya bisa menarik napas dalam-dalam dan mengurut kepalanya.“Selamat sore, saya Patricia wali dari William. Dimana adikku sekarang?” tanyanya pada polisi yang sedang bertugas.“Kamu Patricia Hills? Kakak kandung sekaligus wali dari William Zachary?” Patricia mengangguk dengan cepat. “Tunggu di sini sebentar. Aku harus menghubungi atasanku dulu.”Petugas itu pergi entah kemana selama beberapa menit. Patricia yang datang sendirian semakin merasa cemas dan gugup. Bertanya-tanya sebesar apakah masalah adiknya sampai
“Meski kubilang aku kenal mereka, bukan berarti aku bisa membantumu Patcy. Mereka punya koneksi dan kekuasaan yang jauh lebih luas dariku.”“Tapi aku tidak bisa membiarkan adikku di penjara Sean. Bagaimana jika ibuku bertanya dan ingin bertemu dengannya? Apa yang harus aku lakukan?”“Patcy, terakhir kau bertemu dengannya saja kau sudah meninggalkan dia tanpa uang sedikit pun. Semua ini tidak akan terjadi jika kau tidak melakukan itu. Bisa saja itu salahmu bukan?”Patricia tidak membantah lagi dengan apa yang diucapkan bossnya itu. Dia sepertinya menyadari jika adiknya seperti ini karena dia meninggalkan saat mereka bertemu satu bulan lalu. Jika Patricia tidak meninggalkannya, mungkin Will tidak akan masuk penjara dan tidak ada masalah dengan siapa pun.“Aku hanya ingin memberi adikku sedikit pelajaran saja, aku ingin dia tahu kalau mendapat uang itu tidak semudah saat dia meminta. Dan aku juga tidak tahu jika hasilnya akan jadi seperti ini,” ujar Patricia dengan lemas. Dia membuang na
Patricia duduk dengan gelisah sambil menunggu Nyonya besar Hardins tiba. Sudah berapa kali dia melihat jam tangan dengan tidak sabar dan mengetuk-ngetuk sepatu heels-nya. Sesekali dia melihat kearah pintu, berharap orang yang ditunggunya sudah datang.“Dia benar akan datang atau tidak? Sudah dua jam kita duduk menunggu orang itu datang,” keluh Patricia yang kesekian kali. Jujur saja dia mulai kesal karena merasa diberi harapan palsu.“Asistennya yang menghubungiku, dia ingin bertemu di restoran ini jam tujuh malam. Tunggu saja, mungkin sebentar lagi dia datang,” timpal Sean. Sean sepertinya kesal menunggu, tapi dia menikmati waktunya mengamati wanita yang duduk di depannya dengan ekpresi seperti ingin memarahi semua orang di tempat ini.“Sebentar lagi katamu? Ini sudah mau jam setengah sepuluh malam. Apa benar orang yang menghubungi itu asisten keluarga Hardins? Jangan-jangan hanya orang iseng saja yang mengaku-ngaku,” ujar Patricia kesal.“Mereka selalu melalui orang lain sebagai per
Tiada reaksi apa pun pada sapaanku. Sebaliknya, dia malah memerhatikan aku yang masih menggunakan kemeja putih dan rok hitam ketatku dan sepatu heels yang sedikit kotor dengan pandangan yang jijik.“Kau datang kemari dengan pakaian pengemis seperti itu?” tanyanya sambil mengernyit tidak suka.“Aku baru saja pulang kerja dan tidak sempat berganti pakaian,” balas Patricia dengan pelan.“Merek pakaian apa yang kau pakai? Dua asistenku yang berada di luar memiliki selera yang lebih baik dari pada dirimu. Pakaianmu seperti, pakaian bekas yang dijual di pasar,” ujarnya dengan nada yang merendahkan.Patricia hanya bisa tertunduk, dia mengakui kalau pakaiannya itu memang berharga murah tidak sebanding dengannya. Bahkan, dirinya tidak diminta untuk duduk, Patricia merasa nilai dirinya semakin rendah.“Jadi kau wali dari anak berandalan itu? Patricia, bukan?” cecarnya lagi.“Ya, saya adalah kakak dari William. Aku yang menghubungi keluarga Hardins lebih dulu untuk membicarakan masalah ini.” Pat
Patricia keluar dari restoran itu dengan pakaian dan rambut yang basah, tertunduk lesu lalu berjalan dengan gontai. Untung saja restoran itu sudah tutup dan kondisi luar restoran yang sepi sehingga dia tidak perlu menahan malu dengan penampilannya yang sekarang.“Patcy! Apa yang terjadi denganmu?” Sean datang menghampiri Patricia yang baru saja keluar. Dia sudah melihat Patricia dari dalam mobil dengan kondisi yang berantakan seperti itu. Sean melepas jas yang dipakainya lalu menyampirkannya di tubuh Patricia.“Apa Evelyn Hardin yang melakukan ini padamu? Kau membuatnya marah?” ujar Sean sambil menuntun Patricia menuju mobilnya.“Sean, aku ingin pulang. Aku ingin mandi dan beristirahat saja. Ini sangat melelahkan,” sahut Patricia dengan lemas.“Aku akan mengantarmu pulang ke apartemen. Apa yang sebenarnya terjadi Patricia, kenapa kamu bisa sampai seperti ini?” tanya Sean lagi. Dia sepertinya sangat ingin tahu kenapa Patricia bisa di siram dengan wine seperti ini. Patricia, dimatanya s
“Apa aku tidak salah dengar?” Sean memutar tubuhnya sehingga menghadap Patricia sepenuhnya, namun Patricia menolak menatap Sean dan memilih melihat lurus ke jalan.“Kau tidak salah dengar, aku menyetujui menjadi wanitamu,” balas Patricia.“Tunggu dulu Patcy, kenapa kau tiba-tiba seperti ini?”“Ini tidak tiba-tiba, aku sudah memikirkannya matang-matang.”“Kapan? Kapan kau memikirkan hal itu?” cecar Sean. “Hei, lihat aku.”Patricia menatap Sean dengan wajah datarnya. Wajahnya terlihat lelah, matanya juga sedikit sembab karena sempat menangis.“Apakah itu penting? Bukankah yang paling penting itu sudah menyetujuinya sekarang?” Patricia menjawab Sean dengan sebuah pertanyaan lagi.“Tidak, ini seperti bukan dirimu,” timpal Sean sambil menggelengkan kepala.“Memangnya kau tahu apa tentang diriku? Jangan bertingkah seolah kau tahu semua tentangku,” balas Patricia sambil memutar bola matanya.“Jujur saja aku merasa senang tapi sekaligus kecewa. Aku memang ingin mendapatkanmu, tapi bukan denga