Ia duduk diantara Sitaf dan Qeen, tetapi seluruh mata menatapnya dengan pandangan penasaran. Orang-orang berbisik, ada yang secara terang-terangan menunjuk dirinya dan Qeen. Tapi itu semua tidak begitu mengusik selain sepupunya yang mengobrol dengan seorang pria dan tidak menatapnya sama sekali. Tidak sejak pertama kali ia duduk di tepi api unggun, maupun saat piring-piring telah dibersihkan.
Ilvy menarik pelan lengan kemeja Qeen, membuat perhatian makhluk itu yang awalnya mengobrol dengan salah seorang Camsarian menjadi berfokus padanya. Mata kelam itu menatapnya untuk beberapa saat, lalu sebelah alisnya naik—bertanya secara isyarat.
Ilvy hanya menarik lengan makhluk itu lebih dekat dengannya, kemudian bersandar sambil sesekali menatap orang-orang yang masih mencuri pandang ke arahnya. “Mereka menatapku seperti aku seekor hewan langka.” Bisiknya pelan setengah menggerutu.
Disebelahnya, Sitaf terkekeh mendengar gerutuannya. Membuatnya menegakka
Api unggun padam melewati tengah malam. Ilvy sempat bercakap-cakap dengan beberapa orang Camsart dan juga Effrayante—lebih tepatnya mereka yang berbicara dan Ilvy hanya sesekali menanggapi. Ilvy bisa melihat dengan jelas sorot benci dari Camsarian, tetapi wanita paruh baya yang bernama Gaia cukup bisa menjadi teman mengobrol yang baik. Bahkan Ilvy beberapa kali mendapati wanita itu menegur Camsarian yang secara terang-terangan menyumpahinya.Orang-orang sudah kembali ke rumah masing-masing. Tapi Ilvy melihat Danina bersama seorang pria masih duduk di tepi api unggun. Sepupunya itu menyandarkan kepalanya ke bahu pria itu, dan kedua tangan mereka saling terkait.Di sebelahnya, Sitaf telah kembali ke tempatnya, begitu pula dengan Nareef yang sempat menyapanya tadi. Ia mengangguk, yang langsung dibalas Qeen dengan menggenggam tangannya dan membantunya berdiri. “Aku akan menyapa sepupuku terlebih dahulu.” Ujarnya. Makhluk itu tidak membalas apapun dan meng
Ilvy benar-benar serius dengan perkataannya tadi malam. Gadis itu sudah berada di tengah lapangan dengan Effrayante kesayangannya. Sang Putri Gerian sedang memerintahkan Qeen menyusun sasaran panah yang berupa papan-papan lunak yang disatukan dan diletakkan di tepian lapangan.Sebagian orang-orang berkumpul karena penasaran, sebagiannya lagi hanya berdiri di tepi lapangan sejenak sebelum kembali melakukan tugasnya hari itu.Danina muncul saat Qeen menancapkan sasaran panah yang ke tiga di tanah. Ia mendekati Qeen dengan tangan tersilang karena hawa dingin masih terasa. Matahari sudah muncul, dan kabut masih belum hilang, membuat dirinya meremang. “Kau bisa melakukan banyak hal,” pujinya.Qeen tersenyum simpul. Tangannya terus melubangi tanah hingga cukup dalam, lalu menancapkan sasaran panah dalam satu kali hentakan. “Terima kasih pujiannya,” ujarnya sambil tersenyum. Qeen menatap ke arah Ilvy yang juga sedang menatapnya dengan sorot pena
Pagi sekali Danina melihat Ilvy sudah berada di lapangan untuk berlatih memanah. Gadis itu terlihat begitu anggun, dengan baju berburu khas Camsart di balik jubah bersulam emas dan permata di kancing jubah. Danina menyadari bahwa gadis itu terlihat cocok memakai pakaian apapun, bahkan dengan pakaian yang terlihat begitu kontras dengan jubah mewah itu, Ilvy masih tetap terlihat cantik.Danina sempat membayangkan dirinya memakai pakaian seperti itu, kemeja sutra dan jubah kerajaan yang terlihat sangat mewah. Apakah ia akan terlihat cocok? Atau memang dirinya jauh lebih cocok memakai pakaian berburu khas Camsart?Ia mengedarkan pandangan ke seluruh lapangan, tidak menemukan siapapun kecuali Ilvy. Hanya Ilvy, tanpa adanya sang Effrayante yang biasanya selalu berjarak tiga langkah di belakang gadis itu. Qeen masih belum menampakkan diri selama beberapa hari belakangan ini, dan Ilvy jelas tidak memberikan jawaban apapun pada setiap orang yang menanyakan absennya Qeen pada ma
Ilvy masih duduk di tepi lapangan ditemani seorang gadis yang bernama Shilba saat ia melihat Qeen datang dengan seorang wanita paruh baya yang pernah ia lihat sebelumnya. Kedatangan dua orang yang membuat suasana hatinya menjadi jauh lebih baik dari sebelumnya. Makhluk itu memberi salam padanya, lalu berdiri di belakangnya dengan tenang. Disebelahnya, Shilba menatap Qeen dengan bingung sebelum gadis itu memilih angkat kaki dari sana. Ilvy melihat kepergian gadis itu sesaat, sebelum kembali menatap wanita yang dibawa Qeen yang kini berdiri di hadapannya. “Mengapa lama sekali?” “Ratu Linaba mencari waktu yang tepat untuk mengeluarkan Ississia.” Jawab Qeen di belakangnya. “Rhauven sedang bersiap untuk mengirimkan separuh prajurit ke Gerian. Sepertinya Raja bersiap-siap untuk berperang.” Ilvy menghela napas kesal. Keadaan saat ini masih terlalu dini untuk berperang, tetapi ayahnya sudah mendahului langkahnya dengan antisipasi yang matang. “Aku membutuhkanmu untuk sesuatu.” Ilvy mengel
Xenon berusaha menarik tangannya, tapi tubuh yang kesetanan itu memiliki kekuatan yang tak pernah pria itu lihat sebelumnya. Danina mendorong kuat tubuh orang-orang yang berusaha menghalanginya. Menendang siapapun, meninju siapapun. Ia tak pantas mengalami hal ini. Keluarga Camsartnya tak boleh mengalami hal mengerikan hanya karena seorang gadis bodoh yang terbujuk surat sialan itu! Danina menyeruduk kepala Dagan yang berusaha menghalanginya—ia sedang tak ingin dihalangi. Dibelakangnya, Ovena menangis histeris, Gaia menangis tanpa suara. Ketiga anak Nareef menangisi kepala tanpa tubuh milik ayahnya. Ness dan Hersiria menangis di dekat kepala Nareef. Tangisan Saga meraung didalam pelukan Raquel. Danina mendorong siapapun yang menghalangi pandangannya. Ia ingin melihat wajah gadis yang dulu pernah membuatnya khawatir. Gadis yang dulu menjadi sahabat terbaiknya, kini membawa kematian pada ayahnya dan Nareef. Siapa yang akan memimpin Camsart jika Nareef m
Bukit Piroz—seperti yang orang-orang katakan. Terasa begitu magis, tetapi jauh lebih bersahabat daripada hutan Camsart. Mereka sampai di kaki bukit itu setelah menghabiskan waktu sehari penuh. Pintu gerbang besar di kaki bukit menjadi satu-satunya jalan masuk ke bukit itu. Dijaga oleh banyak prajurit dengan pedang dan busur. Juga baju besi dan prajurit berkuda yang selalu berpatroli di sana.Ilvy mengira akan sulit untuk masuk ke hutan itu. Tapi begitu Ississia menyebut namanya, mereka diperbolehkan masuk, dikawal oleh setengah lusin prajurit menuju kastil.Jalan menuju kastil itu tertata dengan baik. Bebatuan kecil yang berada di sepanjang jalan membuat jalanan tidak licin. Banyak jalan bercabang yang sengaja dibuat untuk membingungkan orang. Dan mereka benar-benar butuh pengawalan untuk bisa sampai tanpa tersesat. Mereka memutari setengah bukit dan menghabiskan waktu dua jam untuk sampai ke kastil itu.Mendekati pintu masuk kastil, mereka kembali dihenti
Elliot Harridan pergi dari kastilnya setelah makan siang. Para pelayan membawa mereka ke kamar masing-masing, membantu mereka untuk beristirahat. Ilvy menolak ketika seorang pelayan menunjukkan kamar Qeen yang berbeda dengannya. “Dia akan bersamaku,” ujarnya sebelum pelayan itu membawa Qeen ke kamar lainnya. Pelayan itu hanya mengangguk tanpa mengatakan apapun, kemudian memberi hormat sebelum pergi meninggalkan mereka.Dua pelayan yang masih berada di kamar Ilvy dengan cepat mempersiapkan pakaian ganti untuk gadis itu. Sementara pelayan lainnya membawa beberapa pakaian ganti dari kamar yang semula akan ditempati Qeen.“Elliot bahkan memberikan jubah yang sama persis seperti jubah kerajaan Gerian.” Ujar Ilvy dengan nada geli setelah mereka tinggal berdua di kamar itu.Qeen berdiri di dekat jendela, memperhatikan prajurit di bawah sana yang berjalan mengelilingi kastil. “Ini akan melebihi ekspektasimu, Ilvy.” Ujarnya kemudian, t
“Selamat datang di bungker!” Suara Elliot Harridan terdengar lantang di belakang mereka. Suaranya terdengar senang dan penuh kebanggaan.Ilvy melihat ruangan itu terang oleh cahaya jingga. Bungker itu dua atau tiga kali lebih luas dari lapangan serbaguna di Camsart. Dinding-dindingnya terbuat dari batu keras dan tinggi bungker lebih dari enam meter. Langit-langit bungker itu memiliki cerobong yang dibawahnya para pekerja sedang melelehkan besi untuk membuat bermacam-macam senjata—pedang, tombak, trisula, anak panah, dan proyektil trebuchet. Danina membalikkan badannya sekilas, menatap Ilvy dengan sebelah alis yang naik yang langsung dibalasnya dengan seringaian.Di ujung bungker, mereka bisa melihat banyak trebuchet yang berbaris dengan rapi. Ilvy menghitung dalam hati dan jumlahnya dua puluh lima trebuchet. Gunungan pedang dan juga trisula dikumpulkan di sisi yang lain, dan di dekat mereka, anak panah dan busur di letakkan