Terdengar suara azan dari masjid, aku pun segera bangun dan mengambil wudhu untuk melaksanakan kewajibanku sebagai umat muslim. Selesai salat subuh biasanya aku akan bikin sarapan untuk semua orang, tapi kini tidak lagi. Aku hanya bikin sarapan untukku sendiri.
Peristiwa semalam membuatku belajar untuk tidak berlaku baik bagi orang yang tak tahu diri, karena mereka akan ngelunjak. Biar saja, mereka juga sudah besar. Bahan makanan juga tersedia lengkap, karena aku biasa menyisihkan dari bahan-bahan cateringku.
Nasi goreng seafood sudah matang. Aku pun sarapan sendirian. Karena Ibu dan Ipar tak pernah bangun pagi.
Setelah sarapan aku hendak pergi ke tempat usaha kateringku. Letaknya tidak jauh hanya empat puluh lima menit perjalanan. Kubereskan dapur dan menyambar handuk untuk mandi. Saat aku telah bersiap-siap, Sang Ibu Suri baru bangun. Kulirik jam, sudah jam sembilan.
“Mau kemana, Ra?” Ibu bertanya sambil mengucek matanya. Rambutnya masih acak-acakan.
“Mau kerja, Bu,” jawabku singkat.
“Iya, kerja sana! Cari uang yang banyak biar tak merepotkan putraku. Eh, tapi kamu sudah masak kan? Sudah beres-beres juga kan?”
“Sudah. Tapi hamya memasak masi goreng seporsi untukku tadi. Dan sudah habis,” jawabku santai.
Lantas aku mengambil kunci motor yang tergantung di tempat kunci di ruang tengah.
“Lho? Terus kalau aku lapar nanti gimana? Yang beres-beres siapa?” ucap Ibu mertua mengikutiku. Aku yang jengah karena dikuntit, langsung balik badan dan menatap mertuaku.
“Kalau lapar tinggal makan, Bu. Banyak bahan yang bisa diolah, atau suruh anak perempuan Ibu untuk masak. Kalau nggak ada yang mau masak? Beli aja, gitu aja kok repot.”
Aku memanasi mesin motorku. Mulai bosan dengan rengekan Ibu. Padahal bukan anak kecil, tapi rewelnya melebihi bocah.
“Udah berani ngebantah kamu, ya? Betul kata Nia, kamu pasti salah minum obat. Di mana-mana itu menantu yang masak, bukan sebaliknya, ini kok Ibu disuruh masak. Ya, nggak mau lah,” cerocos Ibu.
“Kan aku hilang Mbak Nia aja yang masak. Kalau nggak mau ya seperti kataku tadi, beli aja! Ibu kan selalu dapat uang dari Mas Dani.” Aku coba memancing mertuaku agar bercerita.
Ibu gelagapan mendengarku. Sepertinya Mas Dani menyuruh menyembunyikan fakta bahwa Ibu juga menerima transferan dari Mas Dani.
“Si—siapa bilang? Nggak ada kok ngasih-ngasih uang.”
“Yakin?!” tanyaku menatap tajam walaupun itu mertuaku sendiri.
“I—Iya,” jawab Ibu seperti tak fokus. Rupanya Ibu tak pandai berbohong.
Oke, fiks. Aku harus cari tahu sendiri. Mertua nggak mau jujur.
“Ya, udah. Aku berangkat dulu, Bu. Assalamualaikum.”
Aku memang lebih suka kemana-mana menggunakan sepeda motor karena lebih efisien dan mencegah macet.
“Eh, tunggu dulu.”
Ibu mertua malah memegang motorku sehingga tidak bisa maju.
“Apalagi sih, Bu?” Mau tak mau aku berhenti sejenak dan melihat ke arah mertuaku.
“Kasih Ibu uang dulu buat beli makan Ibu serta Mbak dan Adikmu! Mana uangnya, sini!” pintanya menengadahkan tangannya padaku.
Aku menghela napas. Kapan hidupku akan temlnang tidak direcoki aibu dan Ipar. Aku pun mengambil selembar uang dan memberikannya kepada Ibu lalu kabur.
Dari spion kulihat Ibu menatap marah uang kertas yang kuberikan. “Kurang ajar kamu, Ra! Masa kamu kasih Cuma dua ribu! Memangnya aku bocah!”
Suara Ibu marah-marah masih sedikit terdengar tapi bodo amat lah.
***
Sampai di tempat katering, Beberapa karyawan menyapaku. Memang aku jarang ke kantorku ini.
Baru saja meletakkan bokongku di kursi, orang kepercayaanku, Lani memberitahukan hal yang mengejutkanku.
“Bu, tadi Bapak telepon minta di transfer uang sepuluh juta, katanya sudah bilang pada Ibu. Apa benar?” tanya Lani.
.“Apa? Nggak bener itu, aku tidak pernah meminta Mas Dani mengambil uang dari sini. Kamu tanya buat apa nggak uangnya?” aku terkejut bukan main. Padahal dari dulu dia tak pernah merecoki uang dari cateringku.
“Maaf, saya nggak berani tanya, Bu,” ucap Lani.
Kuhirup udara banyak-banyak agar tak membuat sesak. “Berarti kamu sudah kirim uang itu ke bapak?” tanyaku kemudian.
Lani menggelengkan kepalanya.
“Saya nggak berani kalau belum konfirmasi ke Ibu.”
Syukurlah kalau begitu. Aku semakin heran dengan kelakuan Mas Dani, mulai dari keluar kota selama sebulan, lalu minta transfer uang sepuluh juta. Sebenarnya apa yang terjadi dengan Mas Dani sekarang?
Haduh, pagi-pagi sudah bikin kepalaku pusing. Belum selesai mikir soal keluarganya yang jadi benalu, sekarang Mas Dani juga mulai membuat masalah.
“Lan, tolong kamu bikin kan minuman hangat untukku, sepertinya aku kena migrain.” Aku memegang dan menekan sedikit pelipisku.
“Baik, Bu.” Lani lalu undur diri.
Tak berapa lama Lani mengetuk pintu. Ia masuk setelah kupersilakan. Teh hangat datang, aku meminumnya perlahan, lalu aku mulai berpikir dari mana aku harus mencari tahu.
Aku terpikir tentang kantornya. Apa benar ada tugas dari kantor ke luar kota selama sebulan? Ya, sebaiknya aku menghubungi atasan Mas Dani yang juga masih memiliki hubungan darah denganku.
Mas Dani tidak tahu kalau kantor itu milik Om Joni, adik dari ayahku. Kakek dulu memang seorang bisnissman sukses, sebelum Kakek wafat, Kakek meminta ayahku untuk meneruskan bisnisnya, tapi ayah menolak dan lebih senang berbisnis sendiri akhirnya kantor itu dikelola oleh adik ayahku.
Aku mengambil gawaiku dan mengutak-atiknya sebentar mencari kontak Om Joni. Setelah kutemukan nomornya, aku pun segera menekan tombol hijau.
“Halo, Om Joni. Apa kabar?”
[Baik, siapa ini? Kenapa tau nomor pribadi saya?]
“Ini Rara, Om.”
[rara? Ya Tuhan, Bener ini kamu, Ra? Kamu tinggal di mana sekarang? Kata Ayahmu, dia membelikanmu rumah di luar kota dan tidak memberikan alamatmu kepada Om, apa itu benar?]
Aku tertawa, saat Papa bilang akan memberi rumah untuk hadiah pernikahan, aku memang meminta Papa untuk membeli rumah sederhana karena aku belum mengenal keluarga suamiku. Namun tetap saja, rumah yang bagi Papa sederhana, tapi bagi orang lain termasuk rumah mewah.
Dulu aku sempat takut kalau ada yang mau menikah denganku karena kekayaan. Karena dulu rata-rata orang yang dekat denganku seperti itu. Saat tahu aku kaya, mereka meminta barang-barang yang tidak murah. Bukan sekali dua kali, tapi sering. Bahkan teman wanitaku pun seperti itu. Tak ada yang tulus berteman denganku. Mereka hanya memanfaatkanku saja.
Sejak saat itu aku mulai mengurangi interaksiku dengan lawan jenis. Hingga akhirnya aku kenal dengan Mas Dani. Itu pun tak sengaja.
Saat itu aku sedang keluar dari gedung resepsi tempat seseorang menyewa kateringku. Mereka menyewa di malam hari. Selesai acara, aku masih harus membereskan semua peralatan kateringku. Waktu itu usahaku belum berkembang seperti sekarang. Aku belum memiliki banyak karyawan. Jadi masih harus turun tangan sendiri.
Sepulang dari gedung resepsi itu aku naik motor sendirian. Padahal sopir mobil box yang juga karyawanku mengajakku pulang bersamanya biar lebih aman. Tapi aku menolaknya.
Mungkin karena jalanan yang terjal, Atau menginjak paku, ban motorku kempes. Mau tak mau Aku mendorongnya menuju tambal ban terdekat.
Waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam. Aku pun mulai takut, sangsi apakah ada bengkel yang masih buka.
Saat itulah Mas Dani lewat dengan menggunakan motornya dan menawarkan bantuan. Ia merasa tak tega, malam-malam begini seorang wanita harus mendorong motor seorang diri. Ia juga takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di jalan yang mulai sepi
Awalnya aku menolak, takut dia orang jahat, lantas dia memberikan gawainya sebagai jaminan bahwa ia hanya ingin menolong.
Berkat bantuan dari Mas Dani, aku menemukan bengkel yang masih buka. Motorku ditinggal dan aku diantar pulang oleh Mas Dani. Aku berjanji kepada bengkel itu akan mengambilnya esok hari.
Dari situlah kita sering bertukar pesan. Setelah beberapa bulan dekat tanpa pacaran, Mas Dani mantap untuk melamarku. Aku pun kaget dan bahagia karena aku juga punya rasa padanya.
Selama dekat dengannya, memang aku hanya kos di dekat kantor. Karena kalau harus berangkat dari rumah lumayan jauh. Saat itu aku baru merintis kateringku.
Mas Dani memintaku memberi tahu keluargaku. Lantas kuhubungi Papa dan kuceritakan semuanya, sebagai seorang pebisnis, Papa selalu melihat dari hal terburuknya dulu, dia sedikit curiga kepada Mas Dani. Karena belum mengenalkan keluarga besarnya kepadaku, tetapi sudah berani melamar. Untuk itu Papa memberikan syarat boleh menikah denganku asalkan tidak menyebutkan kekayaanku dan menikah secara biasa, tidak dirayakan dengan mewah. Aku pun menyetujuinya toh juga tidak ada gunanya, menurutku.
Awalnya Mas Dani bekerja sebagai sales marketing dor to dor. Dia harus menawarkan produknya dengan berjalan kaki. Mengetuk pintu satu demi satu rumah dan memasarkan produk yang dibawanya. Target yang tinggi dan lelah berjalan kaki jauh membuat Mas Dani sering mengeluh. Aku pula yang meminta Mas Dani melamar kerja di kantor Om Joni dan sampailah ia di posisi sekarang.
[halo, Ra? Kamu masih di situ?]
“Iya, Om. Aku menghubungi mau minta tolong Om, Apa benar Mas Dani, Dani Kurniawan, ada tugas keluar kota selama sebulan?”
[Dani Kurniawan? Dia bagian apa?atau jangan-jangan dia itu suamimu? Astaga ... Maaf ya, Om kemarin tidak bisa hadir saat kamu menikah jadi tidak tahu kalau Dani suamimu. Sebentar Om check dulu jadwalnya lewat sekretaris Om. Nanti Om hubungi lagi.]
[Oke, Makasih, Om]
Aku menutup panggilan telepon dan menunggu kabar sambil memeriksa berkas-berkas. Usahaku kateringku mulai ramai. Banyak yang menggunakan jasa kateringku. Karena aku selalu memakai bahan terbaik agar klienku puas. Saat tengah mengecek stok barang aku mendengar ponselku berbunyi.
Ting!
Satu pesan diterima.
Itu pasti Om Joni. Aku segera membukanya
(Iya Ra, ada kunjungan ke Bali tapi hanya 3 hari paling lama seminggu kalau harus Nego ulang, jadi tidak ada kunjungan selama sebulan.)
(Ada apa sebenarnya, Ra? Apa dia menyakitimu?)
Om Joni mengirim pesan lagi.
(Tidak, Om. Tidak ada apa-apa. Aku baik-baik saja.)
Terpaksa aku berbohong kepada adik ayahku itu. Aku masih perlu menyelidiki lebih lanjut.
Kubaca lagi pesan yang dikirim taadi. Aku terenyak. Semakin tak mengerti apa yang terjadi. Pikiran buruk mulai masuk. Jangan-jangan Mas Dani punya selingkuhan? Atau sudah menikah siri? Atau bahkan sudah punya anak?
(Ra, rumah tanggamu beneran baik-baik saja kan? Jangan bohong sama Om. Apa perlu Om pecat saja si Dani itu? Om nggak terima kalau dia berani menyakiti kamu.)
Aku pun segera membalas pesan itu.
(Rara baik-baik saja, Om. Biar Rara cari tau sendiri, nanti Rara hubungi Om lagi)
(Baiklah, kalau ada apa-apa dan butuh bantuan Om, bilang aja ya! Jangan lupa main ke rumah, Tante dan ponakanmu kangen lama gak ketemu!
(Siap, Om! Kapan-kapan beso Rara main ke sana.)
(Ok. Om tunggu.)
Hanya itu balasannya. Dan tak kubalas lagi. Yang pasti aku tahu kalau perjalanan dinas selama sebulang adalah bong! Karena tak fokus bekerja, Aku memutuskan pulang.
Sampai di rumah seketika emosi saat melihat mereka berempat tiduran di depan TV dengan bungkus Snack dan camilan yang berserakan.
Kepalaku yang pening karena merasa bodoh terus-terusan dibohongi Mas Dani, menjadi memanas. Aku sangat muak melihat keluarga benalu ini.
“Pergi kalian semua dari rumahku! Dasar benalu! Keluarga toxic! Nggak tahu diri!” aku mengamuk. Melempar bungkus Snak yang berserakan ke arah mereka.
Seketika mereka terkejut dan berjingkat untuk menghindari lemparanku.
“Kamu kenapa sih, Ra? Pulang-pulang kok marah-marah? Kesambet setan pertigaan ya?” kata Mbak Nia melindungi kepalanya dari benda-benda yang kulempar.
“Aku muak Mbak melihat kalian seenaknya di sini, makam, minum, tidur, gratis tapi nggak ada yang sadar diri untuk membantu beres-beres! Biar aku usir kalian semua! Sekalian bawa anak Inu itu!!” teriakku.
Awalnya merekbergeming, lalu lari menuju kamar masing-masing.
Aku berteriak. Sekedar melepaskan beban sesak dalam dada. Biar saja mereka menganggap aku seperti orang gila. Berteriak nggak jelas di dalam rumah.
Emosi yang bertingkat-tingkat membuat migrainku semakin parah, aku mengambil obat, meminumnya lalu merebahkan diri di ranjangku.
Aku terbangun pada tengah malam, perut rasanya sudah melilit karena lupa belum diisi sedari siang. Aku pun segera beranjak dari tempat tidur menuju dapur untuk mengambil makanan. Melihat penampakan dapur seperti kapal pecah membuatku sangat ingin memberi mereka kopi sianida. Kalau saja tak ada dosa dan penjara, pasti aku yakin sudah melakukannya. Aku harus memberi mereka pelajaran. Kuhubungi temanku yang seorang IT, meminta peralatan cctv mini yang tak kan terlihat mata. “Halo,” ucapku begitu diangkat setelah deringan yang entah ke berapa. (Kau pikir ini jam berapa hah?!) “Hahaha, maafkan aku, tapi ini mendesak! Aku ingin kau menyediakan CCTV mini 5 set. Akan kuambil besok.” (Dasar! Seenak jidat aja kau menyuruhku! Baiklah akan kusediakan, Tuan Putri) “Sip! Makasih, Alex.” Aku tersenyum. Alex adalah teman masa kecilku, dia sangat menyukai dunia IT, pekerjaan sampingannya adalah menjadi hacker, tapi tak banyak yang tahu. Dia selalu memanggilku Tuan Putri, karena sedari kecil, h
“Ba—bagaimana bisa kamu sampai sini, Dek?“ Mas Dani sangat terkejut melihat kedatanganku yang tak pernah dia sangka. Selama menikah dengannya aku memang hanya tahu letak gedungnya, tapi belum pernah masuk ke dalam. “Ini yang kamu bilang lagi di proyek, Mas? Masih di luar kota? Apa maksudmu sebenarnya, hah?” aku yang emosi langsung menggebrak meja. Mas Dani yang gelagapan segera membereskan berkas yang berantakan. “Dek, ini Mas masih di kantor, kita bahas di rumah ya. Nanti Mas pasti pulang. Mas cerita in semuanya.” Mas Dani membujukku agar mau pulang. Aku pun sadar, ini masih jam kantor, daripada mempermalukan diri sendiri lebih baik balik saja. aku pulang ke rumah tanpa berpamitan dengan Dani. Saat sampai di depan pintu, aku mendengar Mas Dani menghela napas, pasti ia tak menyangka aku akan memergokinya di sini. Untunglah sat di ruangan itu Mas dani sendirian. Jabatannya yang sebagai manajer membuatnya memiliki ruangan tersendiri di kantor. Ruangan Mas Dani terletak di lantai
Berulang kali kutanyakan kepada Ibu, tapi Ibu selalu berkelit. Begitu pun Mbak Nia. Mereka tetap tak mau mengaku.Baiklah, aku sendiri yang akan mencari tahu nanti.Tak lama kemudian, terdengar deru mesin mobil memasuki halaman. Ku hafal suara mesin itu. Mas Dani pulang.Aku membukakan pintu. Mas dani mengulurkan tangannya untuk kucium. Hal yang biasa kulakukan selama ini.“Dek, aku—“Aku tahu Mas Dani langsung ingin menjelaskan masalah tadi, tapi ucapannya dipotong Ibunya “Dani, akhirnya kamu pulang ke sini juga. Ibu sudah menunggu. Lihat ini.” Ibu merongrong Mas Dani yang baru saja pulang kerja. Dia tak menjawab perkataan Ibu yang hendak menunjukkan tiket liburan itu.Ia justru melirik melihatku yang bersedekap di depannya. Aku tahu ini di luar kebiasaanku. Biasanya saat pulang kerja aku akan menyambutnya dengan senyuman dan membawakan tas kerjanya, kopi pun sudah tersedia di meja. Namun sekarang, tatapan tajam yang kuberikan.“Dek ....” Dani justru memanggilku“Dani! Kamu ini, Ibu
“Ka-kamu sudah bangun, Dek?” Mas Dani gugup. Ia takut obrolannya tadi terdengar olehku.Aku tak menggubris. Hanya diam dengan menatapnya tajam.“Iya, baru saja. Kamu kenapa panik gitu, Mas? Ke mana kamu selama ini?” tanyaku. Aku sengaja tak bertanya dulu soal percakapan di telepon tadi, biarlah Mas Dani menganggap kalau aku masih tidur.Mendengar penuturanku, membuat Mas Dani rileks. Perlahan mendekatiku yang masih berbaring di tempat tidur, lalu dia merebahkan dirinya di sampingku.“Mas lagi bangun rumah, Dek!” ucap Mas Dani.“Apa?!” Aku kaget, Apa benar? dari mana ia mempunyai banyak uang untuk membangun rumah?“Rumah untuk siapa, Mas?” Aku curiga jangan-jangan rumah itu untuk keluarganya.“Untuk Ibu lah, Dek. Kasian Ibu gak punya rumah, masa mau tinggal di sini terus,” jawab Mas Dani enteng.Tuh, kan benar. Jadi Mas Dani nggak selingkuh? Lalu telepon tadi? Ah, sepertinya masih banyak yang Mas Dani sembunyikan dariku.“Di mana lokasinya?” tanyaku lagi“Biasa aja, Dek. Yang nannya ko
Satu-satunya orang yang bisa kumintai tolong adalah Om Joni. Aku pun menghubungi saudara kandung Papa itu untuk memastikan apa benar Mas Dani ke kantor hari ini.(Pagi, Om, nanti tolong kabarin Rara kalau Mas Dani ke kantor ya.)Send.Aku mengirim pesan itu ke Om Joni, karena aku tahu ini masih pagi dan mungkin masih sibuk di rumah.Aku mendengar notifikasi pesan dari laptopku. Ternyata ada pesan ke ponsel Mas Dani.(Mas, uda berangkat belum? )Si tanda hati mengirim pesan, tapi Mas Dani belum membalas pesannya.“Ra ... Rara!” Terdengar suara Mbak Nia memanggilku.Aku pun membukakan pintu untuknya, sebelumnya telah kututup laptopku agar tak kelihatan aku sedang menyadap ponsel Mas Dani.“Kenapa, Mbak?” tanyaku melihat Mbak Nia bersedekap di depan pintu kamar.“Malah tanya kenapa, Harusnya aku yang tanya kenapa nggak ada makanan. Aku dan Bang Ken lapar mau makan! Aku pingin makan ayam bakar. Buruan kamu buatin!” suruh Mbak Nia.“Mbak! Memangnya kamu pikir ini restoran? Tinggal minta bu
“Siapa yang akan menikah, Lex?” Rara meletakkan spatulanya.“Belum tahu, Kata Kang Asep tadi ada seorang wanita meminta izin untuk menikah di Vila itu, penghulu dan beberapa saksi juga sudah ada Sepertinya memang sudah lama mereka menyiapkannya.” jelas Alex.Ucapannya membuat Rara tambah tidak fokus.“Bagaimana? Kamu mau ke sana? Atau besok saja? Acaranya besok pagai sepertinya.” lanjut Alex.“Kalau menyetir sendiri lama ya? Atau cari penerbangan ke sana aja yang paling cepat, Lex.” Rara gelisah, dia tak akan tenang sebelum mengetahui kebenarannya.Alex segera mengutak atik laptopnya. “Ada pesawat jam lima sore terakhir. Sampai bandara sana nanti aku akan minta sopir untuk menjemput, tapi ya tetap saja sampai vila sudah sekitar jam sepuluh malam, Ra. Kalau bawa mobil ke sana bisa lebih larut lagi sampainya. Gimana?” tanya Alex.“Tak apa-apa, pesankan saja. Daripada aku di sini bertanya-tanya apa yang terjadi?” kata Rara kemudian.Alex kembali berkutat dengan laptopnya.“Done! Kamu bis
Sekali lagi kudengarkan dengan seksama pembicaraan mertua dan wanita itu. Kali ini tidak ada air mata, yang ada hanya amarah kepada anggota keluarga itu.Baiklah, mereka bersandiwara, aku juga akan bersandiwara. Kita lihat saja, Mas. Siapa yang akan menangis di akhir. Mereka punya rencana, aku pun akan menjalankan rencanaku.Aku menyudahi rekaman yang membuatku sesak itu, tak lupa aku kirimkan kepada Alex sebagai back up barang bukti. Pesan terkirim tak berapa lama Alex langsung menghubungiku. Meskipun ini sudah tengah malam.[Halo Tuan Putri yang lagi galau]“Hentikan! Jangan mengolokku, aku beneran sakit hati tauk! Kamu belum menikah jadi tak tahu bagaimana rasanya di selingkuhi pasangan” moodnya sedang tak ingin diajak bercanda.Alex tak menjawab. Ah, jangan-jangan perkataanku melukai hatinya.“Maafkan aku, bukan maksudku untuk menyinggungmu ... Lex aku mint—“[Hahaha ... kena kamu Ra! Aku mana mungkin marah hanya karena perkataanmu! ]“Kurang aj*r kamu, Lex. Iseng banget, sih!” Ra
Kuusap air mata yang sedari tadi mencoba jatuh menggunakan tisu.“Aku ingin minta bantuan Papa untuk memecatnya bisa?” aku berharap Papa bisa berkata iya.Papa menghela napas.“Susah kalau itu, Nak. Tidak bisa langsung begitu saja. Apalagi tidak ada catatan buruk mengenai dirinya di perusahaan ini, tapi nanti biar Papa suruh orang untuk mengawasi kinerjanya gimana,” tawar Papanya.“Iya, Pah.” Aku pun sadar tak bisa sembarangan memecat karyawan tanpa alasan, Nanti biar kupikirkan lagi caranya. Yang jelas Papa sudah tahu dan jantungnya baik-baik saja.“Kapan kamu ke rumah? Mamamu sudah kangen berat,” tanya Papa.Mendengar pertanyaan Papa, aku bingung. Ingin rasanya aku kembali ke rumah Papa, tapi keenakan mereka menempati rumahku.“Besok kapan-kapan aku akan ke sana, Pa. Tapi tidak sekarang. Sampaikan saja salamku buat Mama. Aku mau pulang dulu. Capek habis dari puncak.”Papa menatap netra mataku. Terlihat mata Papa berkaca-kaca. Aku pun memeluknya erat sebelum berpamitan.Sampai di rum