Bryan terduduk di kursi kerjanya setelah mencari Shienna beberapa hari dan tetap tak menemukannya.Jennifer yang mengira kalau Shienna telah berada di tempat yang aman dan tak akan pernah melarikan diri, menyesali perkataannya dan tak menyangka kalau sahabatnya akan pergi begitu saja bahkan tanpa memberi keterangan apa pun padanya. Ia turut serta membantu Bryan untuk menemukan Shienna, tetapi usaha mereka tak membuahkan hasil. Mereka selalu kembali dengan tangan kosong. “Ke mana kau akan pergi setelah ini?” tanya Bryan pada Jennifer yang membereskan barang-barangnya yang sempat ia tinggalkan di kantor Bryan untuk ikut bersama pria itu mencari Shienna. “Entahlah. Mungkin aku akan kembali ke rumahku dan melupakan semuanya. Apa yang terjadi beberapa waktu terakhir sangat gila dan aku sudah kehabisan akal untuk menemukan di mana Shienna berada,” jawab Jennifer yang kemudian bangkit. “Aku pergi. Kau sebaiknya beristirahat dan melupakannya untuk sementara. Kita sudah mencari anak bandel i
“Apakah kau menemukannya?” tanya Zanara dengan tatapan dingin yang tertuju ke arah Bryan sejak tadi.Bryan mulai memeriksa apartemen Zanara sejak mereka tiba dan Zanara tidak mencegah saudara iparnya itu terus memeriksa dengan tatapan skeptis, karena ia tak bisa memberikan bantuan apa pun. Ia bisa jadi tahu di mana keberadaan Shienna, tetapi untuk mengatakan pada pria ini, tak akan semudah itu. Shienna pasti punya alasan yang masuk akal kenapa ia sampai menghindar dan meninggalkan pria seperti Bryan. Bryan terduduk, lelah mencari dan tidak menemukan tanda-tanda keberadaan sang istri di kediaman saudara kembarnya. Ia nyaris putus asa, tetapi ingatannya seketika kembali ke malam saat mereka menghabiskan waktu bersama. Sangat indah dan ia tak ingin mengubur momen itu meski Shienna mungkin menginginkan itu terjadi. Bryan tak akan pernah merelakan Shienna begitu saja. Ia akan membawanya kembali bagaimana pun caranya. “Duduklah. Aku akan membuatkanmu secangkir teh.” “Tidak perlu. Terima
Membaca surat yang Shienna tinggalkan untuknya, membuat dada Bryan semakin sesak. Ia pria yang kuat dan tegar dan akan selalu menjadi seperti itu karena sang ibu masih membutuhkannya. Namun, sakit yang ia rasakan kali ini jauh lebih berat.Ke mana ia haru smengadu dan berbagi nyerinya kali ini? Ia merasa tak sanggup menjalani hari dan merasa putus asa mencari Shienna dan mengharapkan cintanya. Mungkin Edward benar, sudah saatnya ia menyerah dan melupakan segala impiannya tentang Shienna yang kenyataannya tak pernah terwujud sesuai harapan. Bryan masih mendekap kertas itu di dadanya, tertidur dalam isak dan kepedihan yang bersemayam dalam batinnya. Ia remuk ... Ia hancur kali ini ... Akan tetapi, sekali lagi ia harus berhasil bangkit dan hidup bersama pahit yang terus menerus menghiasi kehidupannya. Tak akan pernah ada kehidupan cinta yang manis. Seharusnya ia tahu itu sejak pertama mengetahui perselingkuhan sang ayah dengan Amara, wanita yang ia yakini akan menjadi cinta dalam h
“Hey, Jo!” sapa Shienna yang kemudian dengan segera, pria yang ia panggil Jo meraihnya masuk ke dalam dekapan. Mereka berpelukan cukup lama hingga menyadari kalau Jennifer tengah memerhatikan mereka berdua. “Ahem! Aku tahu kalau kalian saling merindukan. Uhm, maksudku mungkin Jo yang lebih merindukanmu, Shie. Ia terus menanyakan kabarmu sejak kau menghilang.” Shienna hanya tersenyum mendengar ucapan Jennifer dan memandang Jonathan yang pipinya memerah seperti buah plum. “Wajar saja kalau aku mencemaskanmu. Kau biasanya selalu meramaikan rumah kami. Sejak ayah dan ibu kami pindah, rumah ini terasa sepi,” jawab Jonathan. “Ya, sepi karena kau lebih suka kehidupan private di apartemenmu bersama wanita-wanita cantik yang menghangatkan ranjangmu setiap malam, kan? Hmmph!” Jennifer meronta karena Jonathan kini tengah membekap mulutnya yang tak henti bicara.Sementara itu, Shienna hanya memerhatikan kekompakan dua saudara kembar itu dengan senyum terkembang. Ia merindukan suasana seperti
“Shie? Apa yang kau lakukan di tempat ini?” tanya pria itu dengan gesture tampak canggung dan seperti seseorang yang terpergok telah melakukan kejahatan. Ia tampak celingukan seolah memastikan dengan siapa Shienna datang kali ini. “Ah, sial! Apakah kau bekerja di tempat ini, Jo?” Shienna balik bertanya dengan canggung. “Uhm, ya ... itu ... Apakah kau pegawai baru yang akan melamar sebagai pengajar?” “Ya. Kurasa begitu. Namun, aku tidak memiliki detail informasinya dan aku takut kalau aku salah telah datang kemari.” “Oh, tentu saja tidak. Kami memang mencari pengajar untuk mengisi kelas Cello dan piano. Tapi kau pasti tahu kalau orang yang menguasai alat musik cello memang cukup langka.” “Kami?” “Ya, maksudku tempat ini. Mari, aku akan memperkenalkanmu dengan pemilik D’Maestro.” Jonathan memandu Shienna untuk ikut dengannya dan bertemu dengan seorang pria yang tampak bingung ketika Jonathan mengenalkan Shienna padanya. “Ini Damien, pemilik D’Maestro dan ia akan menjelaskan semua i
Sudah beberapa bulan berlalu tanpa hasil dan hal itu membuat Bryan enggan untuk beranjak dari kasur hari ini. Seluruh dunia seolah hanya menyisakan puing-puing tak berarti baginya semenjak kepergian Shienna. Tak ada satu pun hal yang membuatnya bergairah seperti dulu. Saat Shienna memutuskannya, ia masih bisa bangkit dan berusaha menjadi pria sesungguhnya, karena ia berharap akan bisa bertemu dengan Shienna kembali, tetapi ketika untuk kedua kalinya Shienna pergi meninggalkannya, Bryan tak lagi memiliki keyakinan itu. Ia yang sejak tadi hanya menatap langit-langit kamar, akhirnya menyalakan televisi dan menemukan berita yang membuat ingatannya kembali berputar pada Shienna yang selama ini menjadi poros kehidupannya. ‘Kabar terbaru dari Shienna yang telah kembali memakai nama belakang sang ayah setelah berpisah dari sanga billionaire, Bryan Sanders. Ia juga memutuskan untuk tidak kembali ke dunia hiburan yang telah membesarkan namanya.Hanya saja, tak ada yang mengetahui keberadaanny
Shienna masih tepekur di kamarnya dan memikirkan apa yang ia saksikan di televisi. Bryan mengatakan hal semanis itu dan hal itu membuat niatnya untuk mengubur segala tentang Bryan menjadi goyah. Sejak semalam, bahkan hingga matahari terbit, ia masih terjaga dan merasakan kepalanya mulai terasa pening. Akan tetapi, memejamkan mata dan melupakan segalanya ternyata tidak semudah itu. Ia sudah berencana untuk mencari tempat tinggal yang akan ia tempati setelah rumah lamanya laku terjual. Ia tak bisa menunda, meski Jennifer tidak keberatan akan keberadaannya di rumah itu, tetapi Shienna merasa tidak nyaman terus-menerus merepotkan sahabatnya itu. Shienna mengambil ponsel dan menghubungi sebuah nomor yang segera mendapat jawaban dari seberang sana. “Uhm, Jo, maafkan aku. Bisakah kau menyampaikan pada Damien kalau hari ini aku akan mengambil cuti. Ada beberapa hal yang harus kuselesaikan,” ucap Shienna pada lelaki di saluran seberang yang mendengarkan dengan kesadaran yang baru separuh.
“Bryan, hentikan! Kau bisa sakit jika terus melakukan hal ini!” cegah Edward ketika Bryan hendak menenggak minuman di gelasnya. Entah sudah berapa gelas yang ia minum sejak dirinya tiba di kelab. Namun, Bryan tak peduli. Bahkan perkataan Edward pun tak ada satu pun yang masuk ke telinganya. “Jangan mencegahku, Ed. Aku sedang menikmati hidup dan merayakan hadiah dari Tuhan untukku.” “Apa maksudmu? Kau sedang sakit, Bryan. Kau harus ingat itu. Apakah kau memang sengaja ingin mati, huh?!” Bryan menghentikan tawanya yang sejak tadi membahana. Ia sedang menertawai diri sendiri yang bernasib malang setelah kehilangan cinta sejati, ia sebentar lagi akan kehilangan nyawa. Maka apa lagi yang harus ia lakukan selain merayakan kesialan hidupnya? “Seharusnya sekalian saja ia mencabut nyawaku saat itu. Benar, kan?” racaunya lagi. Edward memang kesal melihat sikap Bryan yang tak pernah berubah. Ia akan membiarkan dirinya jatuh sejatuh-jatuhnya sebelum akhirnya sadar dan bangkit. Namun sering ka