Hari hampir gelap ketika Hana, Riana, dan Mario berjalan menyusuri sebuah gang kecil. Mario yang masih tertatih kesakitan berjalan di belakang. Riana melihat sebuah pos ronda dan menuntun Mario untuk beristirahat sejenak."Mas Rio dan Ibu duduk dulu di sini, ya. Aku akan berkeliling dan bertanya, mungkin ada rumah yang disewakan di sekitar sini," kata Riana. Riana berlari kecil ke ujung jalan, beberapa rumah memang sepi dan tertutup. Ia melihat ke sekitarnya dan menghampiri sebuah warung. "Permisi, Bu. Apa ada rumah yang disewakan di daerah sini?" tanya Riana. Pemilik warung itu adalah seorang wanita paruh baya bertubuh gemuk, ia berdiri dari kursinya dan berpikir sejenak. "Rumah yang diujung dan bercat biru itu pemiliknya di luar kota. Dulu pemiliknya sempat mencari orang yang mau menyewa rumah itu. Coba saya telepon dulu, ya Dek," katanya. "Terimakasih, Bu," jawab Riana. Ibu itu mengambil ponselnya dan berbicara selama beberapa menit di telepon. Setelah itu ia meletakkan kemb
"Ini tidak adil! Sandra, kamu sangat keterlaluan! Jangan mencampur masalah pribadi dengan urusan pekerjaan! Apa kamu belum puas juga menghancurkan hidupku dan keluargaku?"Kali ini Hana yang biasany tenang tidak mampu lagi menguasai dirinya. Sandra tersenyum sinis. Ia menantang Hana dengan tatapan matanya. "Aku suka melihatmu frustasi dan tidak berdaya, Hana. Aku merasa puas melihat hidup kalian hancur," kata Sandra. Hana spontan maju dan menyerang Sandra. Ia mendorong dan menambaknya. Sandra terkejut dan berusaha menahan Hana, tapi ia terlambat mengantisipasi gerakan Hana yang cepat. Sandra terduduk ke sofa, dan Hana menindihnya tanpa ampun. Donna panik dan berusaha menolong Sandra. Ia berteriak meminta semua karyawan menolong dan menarik Hana. Dua orang memegang Hana di sebelah kanan dan kirinya. Sandra duduk terengah-engah dan tersenyum menatap Hana. Rambutnya dan wajahnya kini berantakan. "Apa-apaan kamu, Hana?" tegur Donna. Hana tidak peduli, karena dia juga bukan karyawan
Hadi terlihat terkejut mendengar ucapan Mario itu. Entah mengapa hati Riana terasa sakit dan iba melihat kondisi sang ayah yang tidak berdaya. Hadi melirik Sandra, tetapi tidak ada perkataan yang sanggup keluar dari bibirnya. "Mau apa kalian datang kemari? Meminta bantuan ayah kalian? Lihat kondisi ayahmu, jangankan menolong kalian, menolong dirinya sendiri saja sudah tidak mampu," kata Sandra dengan keras. "Pasti Tante yang sudah membuat ayah sakit," ujar Riana. "Apa urusan kalian? Ayahmu ini sudah membuang kalian. Kalau kalian protes dan melapor padanya tentang penderitaan kalian, percayalah dia gak akan peduli," kata Sandra sambil melipat kedua tangannya. "Gak mungkin!" ucap Riana lirih, namun masih terdengar. "Nur, bawa bapak masuk ke kamar!" titah Sandra. Nur mendekati Hadi dan mendorong kursi rodanya. Hadi meraung dan menolak sebisanya, ia enggan masuk ke dalam kamar yang kini menjadi penjaranya. Namun Sandra tetap meminta Nur membawa Hadi. "Pergi kalian dari rumahku! Ked
"Ria, dengarkan dahulu penjelasanku! Aku sama sekali tidak pernah mendukung dan membenarkan sikap Tante Sandra. Sekalipun aku ada hubungan darah dengannya, aku tahu perbuatannya itu salah," kata David. Riana terdiam, ia memejamkan matanya dan berusaha mencerna perkataan David. Riana sudah terlalu sering melihat kemunafikan, sejak Tante Sandra mengusik kehidupan keluarga mereka. "Maaf karena selama ini aku menyalahkan kamu atas semua perbuatan tantemu, Mas. Aku harap perkataanmu itu benar, bahwa kamu tidak ada sangkut pautnya dengan rencana busuk Tante Sandra untuk menghancurkan keluargaku. Lihat, Mas! Wanita itu tidak pernah puas, sekalipun kami sudah kehilangan semuanya. Dia sudah merebut ayah kami, mengusir kami dari rumah, dan membuat ibuku kehilangan pekerjaan," kata Riana. Sejujurnya beberapa waktu setelah David menjauhinya, hati Riana dipenuhi dengan tanya, apakah keputusannya memutuskan hubungan dan membenci David sudah tepat? Karena Riana merasa David tulus dan tidak menyem
"Mengapa penjualan butik kita terus menurun?" tanya Sandra dengan suara cukup keras. Semua karyawan tidak berani mengangkat wajahnya, tak seorangpun memberi jawaban. "Penjualan bulan ini yang terburuk sejak butik ini dibuka. Dulu saat ada Hana di sini, toko tidak pernah sesepi ini," kata Donna. "Bagaimana mungkin? Kita bahkan menggunakan jasa desainer ternama, juga biaya promosi yang mahal. Apa kalian tidak melayani pembeli dengan baik?" tanya Sandra lagi. "Maaf, bukan seperti itu, Bu. Beberapa pelanggan yang pernah datang kemari dan akan menggunakan jasa kita, tiba-tiba membatalkannya. Mereka kecewa ketika mengetahui bahwa Bu Hana tidak lagi bekerja di sini," jawab salah seorang karyawan. "Sial! Pasti Hana yang menghubungi pelanggan kita dan merayu mereka untuk kembali menggunakan jasanya," cerutu Sandra. Sandra telah menggelontorkan banyak dana untuk membayar gaji desainer mahal dan berusaha membuat butik itu lebih berkembang. Namun kenyataannya justru berbanding terbalik, but
David mendengar suara langkah kaki Tante Sandra menuju kamar itu. Ia segera memasukkan kertas itu ke dalam sakunya dan menoleh ke arah pintu. "David, kamu tidak sopan! Mengapa kamu langsung masuk ke kamar ini? Om Hadi sedang beristirahat," kata Sandra yang tidak bisa menutupi rasa cemas. Sandra tentu takut David dan orang tuanya curiga melihat keadaan Hadi. "Tante, orang yang sedang sakit juga butuh dihibur dan didampingi," jawab David. Kedua orang tua David juga menyusul dan berdiri di belakang Sandra. Mendengar jawaban David, Sandra merasa geram. Ia berusaha agar David dan orang tuanya tidak berlama-lama ada di kamar itu. "Kita keluar saja, ya? Om Hadi itu sedang sakit, dia sering sensitif dan justru merasa sedih kalau ada orang yang mengasihani dia." Sandra langsung menggandeng tangan Mama David. Sebelum keluar dari kamar itu, David menatap kembali Om Hadi. Ia merasa pria itu sedang menderita dan ingin menyampaikan sesuatu padanya. David mengusap punggung Om Hadi dan keluar da
Sandra meninggalkan rumahnya dengan kesal. Gagal mendapatkan tanda tangan dari suaminya, ia memilih pergi dengan seorang pria muda yang selalu datang menjemputnya setiap malam untuk berpesta. Setelah Sandra pergi, Nur baru berani masuk ke dalam kamar tuannya. Ia terkejut melihat Hadi terkapar tak berdaya di lantai dalam kondisi setengah sadar. "Bibi! Tolong!" seru Nur. Bibi tergopoh-gopoh masuk ke dalam kamar Hadi. Sebenarnya sedari tadi ia dan Nur sudah gemetar dan ketakutan mendengar amarah Sandra, tetapi tidak ada yang berani mendekat jika Sandra sedang dalam keadaan marah seperti itu. Nur dan bibi berusaha mengangkat tubuh Hadi ke kasur. Walaupun berat tubuh Hadi telah banyak berkurang, tapi tetap saja membutuhkan banyak tenaga untuk mengangkatnya. Nur yang bertubuh mungil tidak mampu mengangkatnya sendiri. "Bi, bagaimana ini? Aku takut melihat keadaan tuan. Bagaimana kalau terjadi sesuatu yang buruk?" tanya Nur. "Iya, Nur. Kasihan Tuan Hadi, sudah sakit malah dianiaya seper
David segera membawa Hadi ke rumah sakit untuk mendapat perawatan dokter. Hari itu juga, seluruh saudara dan keluarga Sandra mengadakan pertemuan penting. Mereka semua merasa terkejut, karena Sandra telah berhasil menipu mereka dan merencanakan perbuatan sejahat itu. "Mama gak percaya kalau Sandra bisa berbuat sejahat itu, Nak. Dulu dia orang yang baik," kata Mama David dalam perjalanan ke rumah. "Iya, Ma. Secepat itu manusia bisa berubah, ya. Dulu aku juga mengenal Om Hadi sebagai orang yang baik. Aku gak menyangka Om Hadi bisa meninggalkan istri dan anak-anaknya demi wanita lain," ujar David sambil mengemudi. Mama David bertanya, "Apa kamu sudah memberi tahu keluarga Mario?" "Ah, hampir saja aku lupa. Aku hubungi Riana dulu, Ma," kata David. David mengambil ponselnya dari dalam saku dan menelepon Riana. "Halo, Ria. Aku punya kejutan untukmu. Besok pagi aku jemput, ya," kata David. David tersenyum membayangkan reaksi Riana saat menerima kabar yang akan ia sampaikan. ***Keeso