Thea segera berlari ke arah tanah lapang, dibanding dengan taman tempat ini sangat terpencil dan tidak ada hal yang nampak istimewa sedikitpun yang mampu menarik perhatian orang-orang bahkan untuk segera melirik tempat ini.Tak ada bangku sama sekali, ini hanyalah sebuah tanah yang biasa digunakan anak-anak untuk bermain bola. Karena terletak tepat di samping irigasi besar, lapangan bola ini tampak seperti tanah galian yang menjorok ke bawah. Thea melepaskan alas kakinya dan segera berlari menuju tangga untuk ke bawah, tanah yang di tutupi rerumputan hijau langsung menyentuh kakinya, sensasi dingin terasa menggelitik pada telapak kakinya.Penerangan di sini tidak terlalu bagus, hanya ada sebuah lampu di masing masing sudut lapangan ini yang terlihat. Thea segera berlari tepat di tengah lapangan, tangannya segera menaruh barang belanjaannya tepat di bawah kakinya. Matanya memandang langit, bintang-bintang bersinar sangat cerah pada dini hari ini. Bulan juga mulai mu
Dia adalah Dira, sepupunya. Thea menggumamkan kata-kata yang tidak jelas, cenderung ke arah kata-kata umpatan. Pandangan Thea memang kabur karena alkohol, tapi jelas Thea tak mungkin salah mengenali bahwa suara itu adalah milik Dira."Menyedihkan? Apa maksudmu!" tantang Thea masih tanpa berdiri. Dira memandang ke bawah, arah di mana Thea terjatuh, "Kau, lihat kondisimu sekarang, padahal kau adalah pewaris yang ada diurutan kedua keluarga Peterpeon setelah ayahmu. Namun, lihat dirimu saat ini!" Dira menarik turunkan pupil matanya, pandangannya merendahkan Thea.Karena keadaan mabuk, kendali diri Thea hampir sepenuhnya hilang, "Apa maksudmu, kau gila! Sejak awal aku tidak pernah masuk ke dalam urutan pewaris. Meskipun aku memanglah cucu pertama keluargamu tapi ada satu hal yang aku dan kau juga tahu alasan mengapa aku tidak bisa menjadi pewaris ... Aku bukan laki-laki dasar bodoh!" umpat Thea di tengah kekesalannya. Dira berjingkat kaget karena terkejut, ia sama seka
"Lalu, memang apa gunanya garis keturunanmu itu jika kau terlantar sekarang, apa gunanya darah istimewa yang mengalir di seluruh tubuhmu jika kau bahkan dibuang oleh orang tua yang sangat kau banggakan itu?" Sekarang Thea yakin, itu adalah suara Thomas, nada bicaranya sama seperti saat Thomas biasa marah, tapi Thea sekarang bingung ... Kenapa Thomas marah padanya, apa sebenernya kesalahan yang telah dia perbuat hingga Thomas marah padanya."Thomas?" cicitan itu keluar dari bibir Thea, namun tidak ada jawaban sama sekali dari seberang. Sambungan dimatikan, Thea sudah tidak merasa mabuk sekarang. Saat mendengar ucapan Thomas pikiran Thea langsung terasa segar."Kau mengenalnya?" tanya Thea, matanya memandang Dira tajam. Dira menaikan satu alisnya ke atas, "Tentu saja, bagaimana mungkin aku tidak mengenal orang yang telah menjadi sahabat kecilmu. Kau sangat aneh!" seru Dira, baginya ini bukanlah hal yang aneh, Thea yang menanyakan hal tersebutlah yang nampak aneh.
"Kau sudah bangun, kak," seru Raka yang baru saja masuk. Penampilan anak remaja itu tidak teratur dan terkesan urakan dia langsung duduk di samping ranjang tempat Thea berbaring. Thea menaikkan satu alis bingung, mengapa dia ada disini."Kau ... Mengapa kau ada disini?" tanya Thea, suaranya yang terdengar serak membuat Raka menoleh ke arahnya, "Pertanyaanmu terdengar aneh, tentu saja aku di sini ... kau pikir siapa yang membawamu kesini?" Raka menghela nafas malas.Pertanyaan Raka justru menimbulkan tanda tanya pada Thea, jika Raka yang membawanya kemari lantas mengapa bibi Mai bisa sampai ada di sini. Lagi pula mengapa Raka mau repot-repot mengantarnya ke rumah sakit, bahkan jika Raka menutup mata atas kecelakaannya ... Raka tidak akan mendapatkan kerugian apapun."Jika kau yang membawaku kemari kenapa bibi Mai bisa ada di sini?" tanya Thea, wanita itu berusaha bangun dari tidurnya ... Namun hal ini ditahan oleh Raka, remaja itu tidak membiarkannya bangun dari tempat tidurnya."Berba
"Apa kau membutuhkan pekerjaan baru?" tanya bibi Mai. Thea sempat termenung beberapa detik baru kemudian ia mengangguk, mungkin saja bibi Mai memiliki lowongan pekerjaan untuknya. Namun harapannya sia-sia saat bibi Mai bahkan tidak mengucapkan sepatah katapun lagi, wanita setengah baya itu malah mengeluarkan ponselnya dan berjalan keluar dari ruangan tanpa berpamitan dengan Thea.Sekarang Thea kembali sendiri, di dalam ruangan yang sepi. Gadis itu mulai tertawa, mengejek dirinya sendiri ... Apa-apaan dengan jalan hidupnya ini. Saat Thea mulai memunculkan sebuah harapan, Tuhan bahkan seakan mengacuhkan harapannya.Tawanya kini memunculkan air mata, cerita hidupnya terlampau jenaka sehingga bahkan Thea dapat mengeluarkan air mata saat tertawa. Thea mengusap air mata yang mengalir di pipinya dengan kasar, apa yang sekarang harus ia lakukan.Thea sudah tidak memiliki pekerjaan, sahabat yang ia percayai ternyata memiliki pikiran buruk di belakangnya, keluargany
Setelah beberapa hari berlalu dokter akhirnya mengizinkan Thea untuk pulang dari rumah sakit, yang mengantarkan Thea pulang adalah bibi Mai. Beruntung ternyata masih ada bibi Mai yang siap membantunya untuk pulang. Bibi Mai menolak untuk mampir ke dalam rumah Thea, dia berkata bahwa saat ini jadwalnya sangat padat ... oleh karena itu, Thea tidak menahan bibi Mai lagi untuk pergi.Thea tanpa dibantu oleh siapapun berjalan ke arah rumahnya, hari ini gang sempit yang biasa ia lewati sangat sepi ... berbeda dengan saat sebelum Thea masuk ke rumah sakit. Hal ini membuat lingkungan yang Thea tinggali terasa asing. Thea berjalan dengan cepat ke rumahnya, ia berencana sesegera mungkin untuk mengecek ponsel yang telah ia tinggal selama beberapa hari di rumah sakit. Mungkin ada panggilan kerja dari beberapa CV yang sempat ia kirim secara online di beberapa perusahaan.Saat pintu dibuka dengan jelas suasana rumah yang sepi terasa, Thea menghembuskan napas dengan kasar ... Ya,
Kamarnya tampak suram dengan sedikit cahaya yang mampu masuk ke dalamnya, tak ada penerangan lain selain dari lubang ventilasi yang menyebabkan suasana di dalam kamar terasa dingin dan tidak nyaman. Thea memandangi seisi kamarnya sebentar, walau ia tidak lama menetap di sini, beberapa kenangan mulai muncul di dalam kepalanya.Thea menggelengkan kepalanya, berusaha menyingkirkan ingatan menyedihkan yang tidak berguna itu dari kepalanya. Segera, Thea berjalan ke arah lemari besar peninggalan pemilik rumah yang diberikan gratis kepadanya. Lemari itu terbuat dari kayu, tampak cukup kokoh dalam sekali lihat. Namun, pada dasarnya lemari itu bahkan sudah cukup tua untuk digunakan. Thea hanya menggunakan lemari itu untuk menyimpan syal yang memiliki beban ringan.Thea meraih sebuah syal rajut berwarna putih gading yang berada pada tumpukan paling atas, Thea ingat itu pemberian dari kakeknya saat musim dingin tahun lalu ... kakeknya memang memiliki hobi untuk merajut. Thea
"Hal yang lebih penting itu adalah perintah dari Tuan besar," ucap sekretaris Mai dengan kepala menunduk. Ia sangat sadar bahwa mungkin saja ucapannya ini dapat membuat bosnya lebih marah. "Ayah? Kau bilang yang lebih penting itu adalah perintah dari ayah?" Yohan menatap wanita paruh baya di depannya dengan tatapan penuh tanya. Sedangkan sekretaris Mai yang berada di depannya hanya bisa menunduk takut, dia telah salah bicara!"Katakan pada saya, apa yang membuat perintah dari ayah lebih penting dari perintah yang saya berikan pada kau?" Yohan menyilangkan kedua tangannya, kepalanya semakin terangkat ke atas untuk menunjukan sikap dominasi."Apakah ayah yang membayar gajimu?" Sekretaris Mai menggeleng dengan cepat saat mendengar ucapan itu keluar dari bibir Yohan. Yohan menarik nafas panjang, berusaha menahan umpatan yang sudah berada di ujung lidahnya."Pada siapa kau bekerja?" tanya Yohan kemudian berdeham ringan, suaranya sedikit serak saat di akhir kali