"Dia tidak akan bertahan lama. Paling lambat malam ini." Dokter tua itu telah melayani keluarga Corradeo selama hampir setengah abad. Dia meletakkan tangan keriputnya pada kenop pintu kamar Benigno yang tebal dan bercat gelap. Sang dokter mengangguk kepada Dante dan Carlos. "Kalian harus mengucapkan selamat tinggal." Suara rendah sang dokter terdengar muram, terbebani oleh duka yang dirasakan olehnya karena akan kehilangan seorang pasien sekaligus sahabat lamanya. Dante merasa hampa. Dia tidak sanggup kehilangan Benigno. Jantungnya seakan berhenti berdetak sekian detik, lalu kembali berdenyut dengan irama brutal, menggedor-gedor dadanya. Dante tidak siap melepaskannya. Belum siap. "Kau harus menemui Signor Benigno sekarang." Carlos menepuk pundak Dante, membawanya kembali ke dunia nyata. "Apakah dia bangun?" Dante menatap dokter itu. Kesedihannya terpancar jelas dari sorot matanya yang redup. Sang dokter mengangguk. "Pergilah temui dia." Dante mendorong pintu kamar kakekn
“Apa yang kau lakukan di sini?”Dante bangkit dari kursinya, lalu berjalan mendekati Luca. Dia langsung meraih tangan Luca, dan memegangnya sangat erat. Sorot kebencian terpancar jelas di kedua matanya.Luca menepis tangan Dante kasar. “Aku datang ke sini untuk mendapatkan hakku.”Dante tertawa keras setelah mendengar ucapan tidak masuk akal yang keluar dari mulut Luca. “Kau sama sekali tidak memiliki hak apa pun di sini.”Melihat perselisihan di depan matanya, Carlos tidak memiliki cara lain selain melerai keduanya. “Dante, duduk lah. Signor Vincentio akan memberikan solusi terbaik untuk menangani masalah ini.”Luca mendorong tubuh Dante hingga membentur dinding. Kini tidak ada lagi yang menghalanginya masuk ke dalam ruangan itu. Dia lalu menjatuhkan tubuhnya di kursi kosong di samping kiri Carlos.Sama seperti Luca, Dante segera kembali ke tempat duduknya semula. Suara napasnya yang cepat masih terdengar sangat jelas. Dia butuh waktu beberapa menit untuk meredakan emsoinya yang berg
"Bagaimana hasilnya?" Dante meletakkan bolpoinnya di atas meja. Punggungnya bersandar di sandaran kursi, dan tangannya terlipat di depan dada. Matanya mengarah lurus pada Luca. "Kau bisa membacanya sendiri," balas Luca, lalu meletakkan amplop itu di depan Dante. Tanpa disuruh, dia langsung duduk di kursi, dan menghadap ke arah Dante. Dante segera membuka isi amplop itu, dan mendapati selembar kertas putih yang terlipat. Matanya membaca deretan kata-kata yang tertera di sana, hingga mengarah pada kesimpulan. Dante berhenti pada angka tujuh puluh persen, dan dia terpaku selama beberapa detik. Meskipun hasil tes DNA itu tidak seratus persen, itu sudah cukup untuk menyimpulkan bahwa Luca memang benar cucu Benigno. Tidak diragukan lagi. "Aku sudah membacanya," ucap Dante setenang mungkin sambil meletakkan kertas itu di meja. Dia mencoba menutupi lonjakan emosi yang ada di dalam dadanya. "Hanya itu yang bisa kau katakan?" Luca menggebrak meja. Kedua matanya melebar, lalu dia ters
Waktu berlalu dengan cepat. Dante telah kembali ke London setelah urusannya di Milan selesai. Sejak hari itu dia tidak pernah bertemu Luca kembali. Saudara tirinya itu langsung meninggalkan rumah Benigno setelah Alfonso membacakan peninggalan Benigno yang menjadi miliknya. Luca terlihat sangat kecewa dan tidak puas dengan pembagian itu. Dia akan melakukan banding sehingga mendapatkan warisan yang sangat layak untuk dia terima. Bukan hanya sebuah villa dan sebidang tanah berisi penuh dengan buah anggur. "Kau sudah mendapatkan kabar tentang Luca?" Dante berbicara dengan Carlos melalui sambungan telepon. Carlos tidak segera menjawab. Terdengar helaan napas yang panjang dari seberang sana. Detik-detik terlewatkan begitu saja. "Belum .... Aku belum mendapatkannya. Anak buahku juga tidak bisa menemukan Luca, seolah dia hilang entah ke mana," jawab Carlos dengan suara berat. "Bukankah kau pernah bertemu dia di London? Apakah kau sudah mencarinya?" "Aku sudah mencarinya, tapi sama
"Jangan keras kepala." Dante menyeret Lizzy, lalu mendorongnya naik ke atas motor. Dia pun ikut naik, dan menarik kedua lengan Lizzy agar melingkari pinggangnya. Dante memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi, membuat dia berhadapan dengan angin malam yang dingin. Motornya meliuk-liuk di jalan raya, melewati jalanan yang sepi. Lizzy semakin mempererat pelukannya di pinggang Dante. Kepalanya bersandar di punggung laki-laki itu. Lalu air matanya perlahan menetes membasahi jaket Dante. Dia tidak bisa menggambarkan perasaannya saat ini. Sedih, haru, bahagia bercampur jadi satu. Motor Dante berhenti di depan rumah Lizzy lima belas menit berselang. Lizzy tidak segera turun. Dia masih ingin memeluk dan bersandar di punggung Dante. "Ijinkan aku memelukmu sebentar saja," gumam Lizzy. Berada dalam posisi seperti ini, membuat dia merasa nyaman dan seluruh ketegangannya luruh entah ke mana. Dante membiarkan Lizzy melakukan keinginannya. Dia memilih tetap diam, menunggu Lizzy menumpahk
"Apakah ini benar makam nenekku?'Luca menunjuk sebuah makam pada si penjaga makam yang mengangtarnya ke sana. Laki-laki tua yang rambutnya telah beruban semua itu mengangguk pelan. Luca berdiri terpaku menatap batu nisan yang bertuliskan nama neneknya yang telah memudar."Alesandra Masimo. Apa kalian pernah bertemu sebelumnya?" tanya Luca penasaran. Menurutnya, mungkin dia bisa memperoleh banyak informasi terkait neneknya atau keluarganya."Tidak .... Aku hanya melihatnya saat dia dimakamkan. Kenapa kau bertanya?""Aku hanya ingin tahu, mungkin kau mengenal keluarganya atau siapa pun itu yang berhubungan dengannya," balas Luca dengan sorot mata yang penuh harap.Dua hari kemudian Luca menyusuri jalan sempit sambil membaca alamat yang tertulis di secarik kertas pemberian penjaga tadi. Si penjaga berkata hanya alamat itu yang masih dia ingat hingga sekarang. Selebihnya dia tidak tahu apa-apa.Rumah-rumah berjejer rapat dengan cat berwana gading menarik perhatian Luca. Melihat itu, memb
"Kenapa kau datang ke sini?"Dante datang ke rumah Lizzy beberapa hari setelah kejadian malam itu. Tapi saat sampai di sini, dia mendapat sambutan yang kurang menyenangkan. Wajah Lizzy terlipat, dan dia terlihat tidak senang dengan kehadiran Dante."Aku hanya ingin tahu keadaanmu. Kau tidak pernah menghubungiku sejak kita bertemu terakhir kalinya pada malam itu." Dante mengamati Lizzy lebih dalam. Wajah wanita terlihat sangat pucat, dan bibirnya sedikit membiru.Bibir Lizzy menyunggingkan senyum sinis. Lizzy menarik napas panjang, lalu menghembuskannya pelan. Lalu dia menggeleng cepat. "Kau bersikap seolah sangat peduli padaku. Aku hampir tidak mengenalimu," sindir Lizzy pedas. Mendengar ucapan Lizzy yang kurang menyenangkan, membuat Dante menghela napas panjang. Siapa yang menyangka Lizzy akan menanggapi kadatangannya dengan sikap sinis dan dingin? Dia hanya ingin mengetahui keadaan Lizzy setelah mereka tidak bertemu cukup sekian lama. "Dengar.... Sangat mengherankan melihat sikapm
"Berhenti di sini." Dante meminta sopirnya untuk menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Dia dalam perjalanan menuju kantornya saat matanya tanpa sengaja menangkap sekelebat bayangan yang menarik perhatiannya. Itu Emily. Tidak salah lagi, itu memang Emily dengan pakaian sederhana dan celemek tengah membersihkan kaca di depan restoran itu. "Sedang apa Emily di sana?" gumam Dante, lebih kepada dirinya sendiri. "Dia bekerja di restoran itu sejak dua bulan lalu," jawab si sopir mengikuti arah pandang Dante. "Dari mana kau tahu itu?" Dante semakin penasaran. "Beberapa kali aku makan di sana bersama seorang kenalan. Tanpa sengaja dia lah yang mengantar makanan pesananku." Dante tidak bertanya lagi. Dia meminta sopirnya untuk melanjutkan perjalanan mereka. Samar-samar bibirnya terbuka sedikit, menyunggingkan senyum tipis sekaligus mengejek. Sama sekali dia tidak menyangka Emily berakhir seperti itu. Seorang model terkenal dalam waktu sekejap berubah menjadi pelayan restoran. "