"Kau mungkin salah orang." Dante berucap pelan sambil menatap laki-laki asing itu dengan sorot waspada.
Tidak mungkin Dante menerima tamu tidak diundang ini dengan tangan terbuka. Mereka tidak pernah bertemu, juga tidak saling mengenal. Benigno juga tidak pernah bercerita tentang keberadaan laki-laki bernama Luca Massimo ini."Sama sekali tidak. Aku memang saudaram. Lebih tepatnya saudara tiri," balas Luca dengan sikap acuh tak acuh. Dia lalu mendaratkan tubuhnya di atas sofa. Matanya melihat ke sekeliling ruangan itu dengan tatapan menyelidik. "Kau terlihat cocok berada di ruangan ini," lanjut Luca memberi komentar.Tangan Dante terkepal erat di atas meja. Sudut bibirnya terangkat sedikit. Dia cukup bersabar dan berusaha menahan amarah yang hampir meledak saat menghadapi sikap lancang dari tamunya. Bila tidak mempedulikan posisinya saat ini, Dante pasti sudah menerkam Luca, lalu melemparkan laki-laki itu keluar dari hadapannya sekarang."Kalau memang benar kita memiliki hubungan seperti yang kau ucapkan tadi, kenapa tidak dari dulu kau muncul di hadapan Benigno?" tanya Dante sedikit kasar.Luca menggelengkan kepalanya seraya menyunggingkan senyum sinis. "Aku baru mengetahui kenyataan itu seminggu yang lalu. Kau boleh percaya atau tidak, terserah padamu." Luca mencebik sambil mengangkat bahunya santai."Seharusnya kau datang menemui Benigno, bukannya aku!" seru Dante kesal. Tentu saja dia tidak ingin terlibat dalam permasalahan kakekanya dan Luca."Seandainya kata-katamu mudah untuk dilakukan," gumam Luca pelan. "Sebenarnya aku mengalami kesulitan saat ingin menemui dia."Aku tidak peduli. Ingin rasanya Dante meneriakkan kalimat itu. Tapi kata-katanya tertahan di tenggorokannya. Dia tidak memiliki cara lain selain segera mengakhiri pertemuan tidak terduga ini."Aku masih banyak urusan. Kita bisa membahas masalah ini lain kali. Tentunya setelah kau bertemu dengan Benigno."Dari ucapannya barusan, Dante memberi isyarat pada Luca agar laki-laki itu menyingkir dari hadapannya secepatnya.Luca membuka mulutnya sebentar, lalu menutupnya lagi. Rasanya percuma saja mendesak Dante agar bersedia mendengar ceritanya. Dante seolah tidak peduli status hubungan mereka yang sebenarnya sebagai keluarga. Dia menyimpan kekecewaannya seorang diri."Aku akan menghubungimu lagi. Masalah kita belum selesai."Setelah mengatakan itu Luca langsung meninggalkan ruangan Dante. Hari ini dia boleh gagal. Tapi lain kali dia pasti bisa meyakinkan Dante bahwa mereka benar-benar memiliki hubungan darah.Sepeninggal Luca, Dante mencoba menghubungi kakeknya. Benigno harus tahu tentang persoalan ini. Dante tidak mungkin diam saja saat ada seseorang yang mendatanginya, lalu memberi tahu dia bahwa mereka masih saudara. Padahal sebelumnya Benigno bercerita bahwa dia hanya memiliki seorang putri, yaitu Claudia. Ibu Dante.
"Dia sudah kembali ke Milan beberapa saat yang lalu," ucap asisten pribadi Benigno. "Ada masalah mendadak yang harus dia selesaikan," pungkasnya lalu mengakhiri sambungan telepon.
Tidak seperti yang Benigno bilang sebelumnya bahwa dia akan tinggal di sini selama dua hari, laki-laki tua itu justru telah kembali ke negara asalnya. Dante memutuskan dia harus menyusul ke sana juga. Dia tidak mungkin menunda-nunda masalah Luca karena bisa mengacaukan segalanya.
Dante terbang ke Milan menggunakan jet pribadi pemberian Benigno satu jam setelahnya. Dalam hati dia tersenyum senang. Ternyata ada gunanya dia sebagai cucu Benigno Corradeo. Saat Dante ingin pergi ke suatu tempat, dia bisa melakukannya dengan leluasa berkat hadiah dari kakeknya itu.Jet itu mendarat dengan sempurna. Sebuah limusin sudah menanti Dante di dekat landasan pacu. Dante bersandar di jok kulit mobil yang membawanya, menikmati minuman yang tersedia di dalam kulkas. Hidupnya kini berubah sangat drastis. Mana pernah dia berpikir akan menikmati perjalanan senyaman ini dengan kendaraan mewah. Dulu dia hanya bisa mengenderai motornya saat bepergian , dan tidak pernah membayangkan akan melakukan perjalanan ke luar negeri semudah ini."Kita sudah sampai," ucap sopir, lalu dia berlari memutar untuk membuka pintu di samping Dante."Apa kakekku ada di dalam?" tanya Dante pada penjaga setelah dia turun dari limusin."Dia sedang menerima tamu dari luar kota. Kau bisa menunggunya di ruang tengah," jawab penjaga itu.Dante berjalan pelan menuju ruang tengah yang tampak sepi. Tidak ada siapa-siapa di sana selain dirinya. Semua petugas keamanan tengah berada di luar rumah.Sambil menunggu kakeknya, Dante membuka Ipadnya, memeriksa laporan yang dikirim oleh Kathryn, asisten pribadinya. Selama sisa bulan ini rupanya dia tidak bisa bersantai. Ada banyak hal yang harus dia lakukan.Kemudian Dante mendengar suara dehaman di belakangnya. Dia langsung menoleh, dan mendapati Benigno tengah berdiri dan menatapnya lurus. Kakeknya itu tersenyum lebar seolah tidak ada beban berat yang dia tanggung.
"Ada perlu apa kau menemuiku malam-malam begini?"
"Aku tidak mungkin menemuimu bila tidak ada hal yang penting," sahut Dante. Dia memasang raut wajah serius.
"Kita ke ruanganku sekarang."
Benigno berjalan terlebih dahulu menuju ruang kerjanya. Dia menghampiri rak minuman, dan mengambil sebotol wine dan dua gelas untuknya serta Dante. Pelan-pelan dia menuang minuman itu, lalu menyodorkannya pada Dante.
Dante menerima gelas itu, dan meneguk isinya sampai habis. Dante ingin menghilangkan rasa kalutnya dengan minuman itu, sehingga dia bisa sedikit lebih santai saat menyampaikan kabar buruk pada kakeknya. Setelah itu dia meletakkan gelasnya yang kosong di atas meja.
"Katakan apa masalahmu sebenarnya," pinta Benigno penasaran.
"Seseorang telah menemuiku beberapa jam yang lalu. Namanya Luca Massimo." Dante mengamati perubahan di wajah kakeknya yang mendadak kaku, tapi hanya sebentar. "Apa kau mengenalnya?"
Tidak ada jawaban. Benigno hanya diam sambil menatap Dante. Setelah itu dia menggeleng cepat sambil tersenyum lebar.
"Siapa dia? Aku baru pertama kali ini mendengar nama itu."
"Dia mengaku sebagai saudara tiriku," balas Dante. "Apa benar begitu?" Dia memicingkan matanya, mengawasi kakeknya yang bersikap biasa saja.
"Aku hanya memiliki seorang putri, yaitu ibumu sendiri. Jadi mana mungkin kau memiliki saudara," tukas Benigno tegas.
"Benarkah itu? Apa ada sesuatu yang kau sembunyikan dariku?"
"Tidak ada yang aku sembunyikan. Kau boleh percaya atau tidak." Benigno terlihat kesal dengan pertanyaan Dante yang mendesak.
"Baiklah kalau begitu. Aku tidak akan memperpanjang masalah ini," balas Dante, lalu dia berjalan menghampiri pintu. "Aku akan kembali ke London sekarang. Saampai jumpa lagi." Dante bergegas keluar dari rumah Benigno, dan masuk ke limusinnya lagi. Dia akan langsung terbang ke London saat ini.
Keesokan harinya.
Dante berada di ruangannya. Sementara ini dia akan fokus pada pekerjaannya. Mengenai Luca Massimo, dia mencoba untuk tidak terlalu mempedulikannya. Lalu dia memanggil asisten pribadinya masuk ke dalam ruangan itu.
"Untuk pemotretan koleksi terbaru, apa kau sudah menghubungi modelnya?" tanya Dante pada Kathryn.
"Aku telah menghubungi agensinya seminggu lalu. Saat ini model tersebut sedang liburan ke Yunani dan kembali besok lusa," jawab Kathryn, lalu dia menyentuh layar iPad dan berhenti sejenak. "Bila sesuai rencana, dia akan melakukan pemotretan di akhir pekan besok."
"Aku ingin semua berjalan lancar. Selain itu, kau belum memberi tahuku nama model itu. Seperti apa dirinya? Apakah dia pantas membawakan koleksi musim gugur kita?" cerca Dante cepat. Selama ini, dia hanya fokus pada peningkatan penjualan produk hingga melupakan tentang masalah tersebut.
Kathryn menyentuh layar iPadnya kembali. Lalu dia berjalan mendekati meja Dante, dan mengulurkan benda itu pada atasannya.
"Namanya Emily. Dua bulan lalu dia telah menandatangani kontrak eksklusif dengan perusahaan kita selama dua tahun," terang Kathryn sama sekali tidak memperhatikan raut wajah Dante yang tegang.
Dante menatap nanar layar iPad yang memperlihatkan seorang wanita cantik yang tersenyum ke arahnya. Wajah yang hampir dia lupakan kini hadir kembali di depannya.
Bibirnya terasa kelu. Tapi akhirnya dia berhasil menyebut nama mantan kekasihnya itu.
"Emily ...."
"Emily ...."Dante berhasil menyebut nama itu sekali lagi dengan lancar sambil menahan amarah yang menggelegak di dalam dadanya. Rasa benci dan dendam menyebar ke seluruh tubuhnya hingga naik ke atas tepat di ubun-ubun kepala. Kedua matanya memerah, lalu giginya bergeretakan hingga menimbulkan suara yang membuat orang bergidik linu."Apa kau mengenalnya?" Kathryn penasaran dengan reaksi Dante yang dia rasa sangat berlebihan."Aku tidak ingin melibatkan dia dalam proyek ini," ungkap Dante seolah tidak mendengar pertanyaan Kathryn."Tapi dia sudah terikat kontrak secara eksklusif dengan perusahaan kita. Aku tidak mungkin melakukannya," balas Kathryn berusaha bersikap tetap tenang meskipun sebenarnya hatinya tengah memendam rasa kesal. "Ada kompensasi yang harus kita bayar untuk dia," pungkasnya."Tidak masalah. Aku bisa memberikan kompensasi dua puluh lima persen dari nilai kontrak yang telah dia tandatangani," ujar Dante sambil tersenyum licik.Mata Kathryn melotot seketika. Dia
“Kau ….”Setelah terdiam selama beberapa saat, Emily akhirnya berhasil mengeluarkan suaranya. Jarinya terangkat, menunjuk wajah Dante.“Kau bisa kembali ke ruanganmu, Kathryn,” ucap Dante pada asistennya. Kathryn mengangguk. Sebelum meninggalkan ruangan itu, dia sempat melirik sebal pada Emily. Bila tidak ingat dia tengah bekerja, model itu pasti sudah babak belur terkena pukulan tangannya.Suasana menjadi hening. Sekarang tinggal Dante dan Emily saja di ruangan ini. Dante mendadak merasa canggung, tapi cuma sebentar. Lalu dia memusatkan perhatiannya pada mantan kekasihnya itu.“Kenapa kau bisa berada di sini?” cerca Emily. Dia masih dilanda kebingungan atas situasi yang tidak pernah dia duga sebelumnya.“Ini kantorku, sekaligus perusahaanku. Apa salah bila aku berada di sini?” tukas Dante ketus disertai dengan tatapan penghinaan yang kentara. “Duduklah di sofa, aku tidak ingin kau pingsan saat berada di sini,” lanjut Dante saat melihat kedua kaki Emily bergoyang-goyang seolah
Dua hari berselang. Emily terduduk lemas di ruang pertemuan kantor agensinya, menatap Sarah dengan sorot mata sayu. Bibir bawahnya sedikit robek akibat gigitan giginya yang kuat. Perih, tapi dia tidak terlalu mempedulikannya. "Apa salahku?" tanya Emily lirih. Sarah menggeleng lemah. Jawaban yang dia berikan pasti tidak akan memuaskan Emily. Dia sendiri tidak tahu alasan sebenarnya Mr. Lawrence memutus kontrak Emily dengan agensi ini. "Aku tidak tahu." Sarah mengangkat bahunya, lalu menatap ke luar ruangan melalui dinding kaca transparan yang berhadapan dengan deretan meja para staf. "Mr. Lawrence enggan bercerita padahal aku sudah mendesaknya." Emily beranjak dari kursi, berada di sini membuat dia merasa sangat pengap. Dia ingin segera pergi dari sini. Tapi sebelum meninggalkan ruangan itu, dia menatap Sarah dan berbicara dengan suara lantang. "Aku akan bertemu dengan Mr. Lawrence sendiri. Jangan harap aku menyerah begitu saja!" Sarah hanya diam. Dia memperhatikan Emily yang be
Sementara itu, di tempat lain tidak jauh dari kediaman Dante. Luca Massimo tengah menikmati minumannya di sebuah bar kumuh di sudut kota London. Raut wajahnya terlihat suram dan kedua matanya memancarkan sinar kebencian. Selama tiga puluh tahun hidupnya dia menyimpan dendam yang tidak kunjung terbalaskan. Sebagai cucu tidak sah dan tidak diakui dari salah satu mafia kaya raya di Italia, membuat hidupnya berantakan tanpa menentu arah tujuannya. Sejak usia empat tahun, ibunya telah mengabaikan keberadaannya, dan meninggalkannya di panti asuhan tanpa pernah mengunjungi dirinya walau hanya sekali. Dia pun baru mengetahui ibunya sudah meninggal saat usianya delapan belas tahun. Luca harus berjuang seorang diri setelah keluar dari tempat itu dengan mencoba berbagai jenis pekerjaan. Dalam hati dia bertekad untuk menemukan keluarganya yang sesunggunya. “Ibumu mengulangi kesalahan yang sama yang pernah dilakukan oleh nenekmu,” ucap seorang pria tua yang tanpa sengaja Luca temui di bar dekat d
"Sial ...." Luca mengumpat kesal sambil menendang kerikil di depannya. Dia benar-benar merasa terhina akan perlakuan laki-laki tadi. Orang itu memperlakukannya seperti sampah tidak berarti. "Tunggu saja. Aku tidak akan menyerah begitu saja." Luca berteriak sambil mengepalkan tangannya ke arah laki-laki itu dengan sorot mata penuh kebencian. Luca berjalan menjauh dari rumah itu. Dia tidak mungkin kembali ke Florence hari ini juga. Lagi pula urusannya di sini belum selesai. Dia harus bertemu dengan Benigno Corradeo, kalau memang benar orang itu adalah kakeknya. Setelah memastikan bahwa mereka memang memiliki ikatan darah, dia akan memikirkan langkah selanjutnya. Mungkin kehidupannya akan berubah. Luca bisa menikmati kekayaan yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya. Dan ada kemungkinan lain yang tengah menunggunya di sini. "Maafkan aku. Aku tidak bisa kembali sekarang. Urusanku belum selesai," ucap Luca pada pemilik biro wisata. "Kau tidak boleh melakukannya. Ada banya turis yang
"Kathryn .... Ke ruanganku segera." Dante menutup teleponnya, Suasana hatinya pagi ini sedikit tidak menyenangkan. Sejak semalam dia menerima banyak surel yang dikirim oleh beberapa dewan direksi perusahaannya. Mereka mengirimkan protes atas tindakan gegabahnya yang telah memecat model pilihan mereka. Selain itu ada satu lagi masalah yang tengah menanti. Kepalanya terasa berdenyut-denyut saat memikirkan semua itu. "Apakah ada yang kau butuhkan?" tanya Kathryn polos setelah berdiri di depan Dante. Kathryn berhasil menguasai emosinya, dan terlihat sangat tenang saat berhadapan dengan Dante. Atasannya itu terlihat sangat gusar, tapi Kathryn tidak membiarkan dirinya terpengaruh. "Kau pasti sudah tahu alasanku memanggilmu ke sini," balas Dante ketus. Kathryn menggosok hidungnya yang tidak gatal. "Tentu saja aku tahu kenapa kau memanggilku ke sini. Apa lagi kalau bukan terkait dengan semua surel yang kau terima." Dante tersenyum lebar. Dengan Kathryn dia merasa tidak perlu berbasa-basi.
Dante melihat wajah Lizzy yang pucat dan bibirnya bergetar. Tangannya terulur, lalu menyentuh pipi Lizzy yang memerah. Dia melihat ada jejak telapak tangan di sana. Pasti salah satu dari preman tadi menampar pipi Lizzy dengan keras. Bisa dibayangkan, Lizzy pasti kesakitan setelahnya. "Kau tahu siapa mereka?" Lizzy mengernyit kesakitan, lalu menjawab, "Aku tidak tahu. Mungkin orang suruhan Ben. Atau mereka dikirim atas perintah salah satu musuh ayahku." Kemudian perhatian mereka terganggu setelah terdengar suara sirine mobil polisi yang semakin mendekat. Dante menarik Lizzy agar berdiri di sampingnya. Wanita itu tampak masih terguncang, dan pastinya tidak siap menerima pertanyaan dari polisi. Mobil polisi berhenti di depan mereka. Salah satu petugasnya turun dari sana, lalu menghampiri mereka. Petugas terlihat masih muda dan berkarisma. "Selamat malam. Kami menerima panggilan untuk datang ke sini. Bisa kalian ceritakan apa yang terjadi?" Dante memutuskan untuk menjawab pertanyaan
Dante memandang jam yang tergantung di atas pintu ruangannya. Jarumnya berdetak cepat, menyadarkan Dante bahwa dia telah melewatkan waktu satu jam dengan hanya duduk diam tanpa melakukan apa-apa. Seharusnya dia sudah meninggalkan gedung perusahaannya sejak tadi. Tapi kenyataannya dia belum juga beranjak dari kursinya. Padahal dia mengetahui saat ini Lizzy tengah menunggunya di suatu tempat. Itu pun kalau Lizzy masih berada di sana. Bagaimana kalau Lizzy tidak tahan menunggu dirinya terlalu lama? Lalu wanita itu pergi dari sana karena usahanya untuk meminta bertemu dia telah gagal total."Kau belum mau pulang?"Tahu-tahu kepala Kathryn melongok di depan pintu. Kathryn menatap Dante bingung. Sekarang sudah lewat jam kerja, serta semua pekerjaan telah mereka selesaikan. Lantas kenaapa Dante masih berada di sini?"Sebentar lagi. Kau bisa pulang lebih dulu," sahut Dante malas-malasan.Kathryn mengulas senyum kaku. Sepertinya bosnya itu sedang tidak ingin diganggu oleh siapa pun. Dia menga