"Aku kangen sama kamu Nis."
"Iya sama Kei, aku juga udah ngerasa kangen aja nih sama kamu, bisa nggak kalau kita besok ketemu?" ujar Annisa mengajakku ketemuan. Ya, mungkin dengan bertemu Annisa bisa membuatku kembali bersemangat.
"Ketemu di mana Nis?" tanyaku.
"Ya, di tempat biasa aja, kamu bisa 'kan. Mas Nando tidak mengekang kamu 'kan Nandini?" ucap Annisa yang khawatir Mas Aldo melarangku pergi bertemu Annisa.
"Tidak kok, Nis. Mas Nando tidak akan melarangku untuk bertemu dengan siapa pun, apalagi 'kan dia tau kalau kamu sahabat terbaikku, ya pasti dizinkan," ujarku mencoba menjelaskan, agar Annisa tidak curiga dengan Mas Nando.
"Bagus deh kalau gitu, berarti kita bisa ketemu kapan aja dong ya," ucap Annisa yang kelihatan sangat gembira, aku dan Annisa akan segera bertemu lagi.
"Iya Nis, itu pasti," ucapku dengan lembut.
"Oke deh, Nandini, besok aku tunggu kamu di tempat biasa ya," ujar Annisa yang mengajakku bertemu di resto seefood tempat makan favorit kami dulu waktu masih kuliah, kami sering bertemu di resto itu untuk sekadar melepas rindu atau sekadar ingin mencoba menu terbaru di restoran yang cukup terkenal itu.
"Iya Nis, besok juga sekalian aku mau ke rumah ayah angkatku."
"Ciye udah rindu nih sama Bokap dan Nyokap?" ujar Annisa yang kedengaran kalau dia lagi seneng banget.
"Iya Nis, kamu tau sendiri kalau aku nggak bisa lama-lama jauh dari keluarga angkatku, apalagi kemarin aku belum sempat berpamitan sama adik-adikku, pasti mereka sekarang ini ngerasa kesel banget sama aku," ujarku.
"Iya, Nandini, pasti mereka semua juga sudah mulai kangen sama kamu, ya meski kamu berada di rumah suamimu baru sehari sih, tapi bagi mereka mungkin serasa berhari-hari gak ketemu kamu," ucap Annisa, membuatku ingin sekali segera bertemu dengannya, ingin sekali aku menangis di bahunya. ya terkadang dulu memang aku sering melakukan itu, menangis tersedu di bahu Annisa.
"Iya Nis, kamu benar," ucapku dengan lembut. Namun, terganggu oleh suara ketukanan pintu di kamarku.
"Nis, nanti kita lanjut lagi ya, sepertinya Mas Nando memanggilku." ujarku pada Annisa.
"Iya, Nandini, jadi istri yang baik dan nurut ya," ucap Annisa menasihatiku.
"Iya Nis, makasih ya nasihatnya. udah dulu ya, Wassalamu'alaikum," ujarku sembari menoleh ke arah pintu kamar yang sedang diketuk oleh Mas Nando.
"Iya, Nandini. Wa'alaikumsalam wr.wb," setelah Annisa menjawab salam penutup obrolan kami, aku pun segera mematikan teleponnya.
"Nandini, kamu buka dong pintu kamarnya," ujar Mas Nando sembari terus saja mengetuk pintu kamarku.
"Iya Mas, sebentar." Aku pun mengambil hijab dan mengenakannya."
"Nandini, kamu gak apa-apa 'kan?" tanya Mas Nando yang melihat mataku agak sembab.
"Eemm, e-enggak apa-apa kok, Mas," ucapku dengan agak terbata dan dengan suara yang agak serak.
"Beneran nggak papa, apa kamu lagi batuk, kok suara kamu agak serak gitu?" tanya Mas Nando penasaran dengan keadaanku, sepertinya dia tidak merasa bersalah sedikit pun, jadi tidak perlu aku menjelaskan.
"Iya Mas, Nandini baik-baik saja kok, ada apa ya, Mas?"
"Kamu sudah makan, pasti belum 'kan? makan dulu yuk?" tanya Mas Nando yg berusaha mengajakku makan.
"Belum Mas, tapi Nandini lagi nggak pengen makan," ucapku menolak ajakannya dengan lembut.
"Loh bukannya tadi kamu ingin makan, barusan Bi Inah yang bilang, kalau tadi sore kamu mau ambil makanan tapi nggak jadi, malah balik lagi ke kamar, jangan gitu Nandini, kamu harus makan, sedari siang kamu belum makan sama sekali, saya tidak ingin kamu sakit, nanti orang tua kamu bisa berpikir negatif terhadap saya. Apa kamu ingin hal itu terjadi?" ujar Mas Nando memaksa.
"Ya bukan begitu, Mas," ucapku dengan pandangan menunduk.
"Kamu makan ya, apa kamu mau makan di luar, saya bersedia anterin kamu, asalkan kamu mau makan," ujar Mas Nando.
Orang aneh tadi bersikap cuek dan pamer kemesraan dengan perempuan lain, sekarang bersikap sok manis. aktingnya sungguh bagus dan profesional.
"Nggak perlu, Mas. Nandini nggak pernah makan di luar rumah," ucapku dengan nada penolakan. yang semakin membuat Mas Nando kesal saat harus terus membujukku untuk makan.
"Nandini, kamu ini hanya disuruh makan saja kok susah banget sih, kamu ingin keluarga kamu itu berpikiran buruk tentang saya, atau inikah balasan kamu terhadap saya atas apa yang saya lakukan ke kamu?" Mas Nando pun mulai berkata kasar lagi terhadapku.
Aku hanya terdiam, dan langsung menutup pintu kamar tanpa menghiraukannya lagi. sudah cukup sakit hatiku, aku tidak ingin lagi mendengar perkataannya yang kasar itu terhadapku, tadi saja hatiku sudah mulai agak tenang karena Annisa meneleponku, sekarang malah dibuatnya sakit lagi.
"Nandini, kamu jangan keras kepala seperti ini, kita perlu bicara," kata Mas Nando masih saja ingin mengajakku bicara.
"Mau bicara apa lagi Mas, apa Mas Nando ingin memberitahuku kalau Mas Nando bahagia bersama perempuan itu?" ucapku dengan kesal.
Aku tidak peduli lagi entah dia akan marah atau bahkan bisa saja dia mendobrak pintu kamar ini, hatiku sudah sangat sakit, aku sudah tidak memperdulikan perasaanya lagi, toh dia juga tidak bisa menghargai perasaanku, untuk apa aku harus terus mengerti, itu hanya akan membuatku semakin terlihat bodoh.
"Nandini, apa kamu tadi melihatku bersama Aleesha?" tanya Mas Nando memastikan.
"Iya Mas, Nandini lihat apa saja yang Mas Nando lakukan dengan perempuan itu, apa Mas Nando belum puas menyakiti hati Nandini, sampai harus berkata kasar lagi, apa salah Nandini Mas? Apa Nandini ini salah jika Nandini ingin membalas semua kebaikan orang tua angkat Nandini dengan menyetujui pernikahan ini, kalau tindakan Nandini ini salah, Mas Nando bilang. Jelaskan, dilihat dari segi mana kesalahan Nandini itu?" ucapku dengan kesal, air mata ini tak dapat lagi kutahan, dan terjatuh begitu saja.
Mas Nando terdiam, aku juga masih sangat kesal, aku tidak ingin bertengkar dengannya lagi, aku beranjak duduk di tepi kasur, sembari mengusap air mataku, hingga terdengar Mas Nando mulai berbicara lagi.
"Nandini, maafkan saya, tidak seharusnya saya tadi mengajak Aleesha ke sini, saya harusnya paham perasaan kamu, tapi saya telah menyakiti kamu, maafkan saya, Dini. Kamu buka dulu pintunya kita bicara!" ujar Mas Nando ingin agar aku membukakan pintu kamar yang tengah aku kunci.
"Sudahlah Mas, lebih baik kita saling introspeksi diri dulu, Nandini malas kalau harus berdebat lagi dengan Mas Nando, Nandini tidak bisa terus mendengar perkataan Mas Nando yang kasar itu, perkataan Mas Nando sangat menyakiti hati Nandini," ucapku dengan lembut, tetapi masih merasa sedikit kesal.
"Saya tidak akan berkata kasar lagi, saya akan berusaha untuk bersikap lembut ke kamu, malah saya nggak bisa kalau lihat kamu tersakiti oleh perilaku saya tadi, Nandini. Buka pintunya!" ujarnya yang sedari tadi terus saja mengetuk pintu kamar dengan keras. Berharap aku akan membukanya, tapi salah, aku tidak segampang itu lagi untuk luluh dengan rayuannya yang semakin membuatku kesal.
"Nandini, buka pintunya. maafin saya, kamu harus makan, Nandini! Saya tidak ingin kamu sakit karena tidak mau makan," ujarnya sembari terus mengetuk pintu kamarku.
Aku pun beranjak naik ke atas kasur, membenamkan kepalaku di atas bantal, aku tidak sanggup jika terus melihat mereka bersama. Namun, aku juga tidak tega melihat sikap Mas Nando yang mengkhawatirkanku. Hati nurani dan egoku seakan mengajak perang. Aku bingung apa yang harus aku lakukan. Perutku juga terasa lapar, aku ingin makan, tapi untuk saat ini aku tidak ingin bertemu dengan Mas Nando.
Malam ini aku harus menahan lapar, itu juga sebagai bukti bahwa aku sangat tidak menyukai perilaku Mas Nando. Ingin rasanya diriku ini memberinya pelajaran berharga yang akan selalu ia ingat. Biar tidak seenaknya saja bertindak semaunya, tanpa peduli perasaan orang lain yang merasa sakit hati karena ulahnya. Bukan hanya aku, mungkin jika keluarga Mas Nando mengetahui hal ini, pasti mereka juga akan sangat kecewa.
Aku pun tertidur lelap, sembari menahan lapar, aku cukup mampu menahan lapar seharian dan kali ini aku lakukan itu, demi mengembalikan harga diriku. aku tidak ingin Mas Nando nantinya bisa bertindak sesuka hatinya melebihi apa yang dilakukannya hari ini. Aku harus bisa membuatnya menyesal atas apa yang dia perbuat tadi.
----------------
Sampai pada suatu pagi, dimana langit cerah, matahari pun menampakkan senyumnya.Aku yang duduk di tepi ranjang masih terasa enggan untuk keluar kamar. malas sekali rasanya kalau aku harus bertemu dengan Mas Nando pagi ini, membuat moodku yang tadinya sudah terkondisikan, bisa membuat mood kembali hancur.Terdengar suara Bi Inah yang mengetuk pintu dan memanggilku untuk sarapan pagi, aku pun masih enggan membuka pintu itu, pasti di bawah sana ada Mas Nando yang tengah menungguku, kekesalanku saja belum hilang. aku harus tenangin dulu hatiku. baru siap menemuinya.Terpaksa aku hiraukan panggilan dari Bi Inah. Namun, aku tetap berbicara dengannya."Iya, Bi, Nandini lagi nggak pengen keluar, nanti saja, bilang aja ke Mas Nando kalau Nandini masih males makan," ujarku masih di dalam kamar tanpa membukakan pintu."Jangan begitu, Mbak Nandini harus makan walaupun sedikit, 'kan Mbak Nandini sejak kemarin siang belum makan, nanti bisa sakit perutnya,
Hati yang mulai kembali membaik. Hatiku yang mulai merasa tenang, aku pun bersiap untuk pergi bertemu sahabatku Annisa, di sebuah restoran seefood tempat favorit kami, restoran Star Food yang menjadi pilihan kami sejak 5 tahun ini, bukan hanya karena harganya yang terjangkau. Namun, juga makanan di sana sangat enak, tempatnya juga sangat nyaman, terkadang mereka juga mengadakan diskon yang pasti banyak diminati oleh pengunjung.Aku pun berpamitan dulu dengan Bi Inah. "Bi, saya keluar dulu menemui teman saya, nanti juga sekalian mau mampir ke rumah orang tua saya, kemungkinan saya akan kembali ke rumah sore hari," ujarku dengan lembut seraya melempar senyum ke arah Bi Inah yang sedang mencuci piring."Iya, Mba, hati-hati ya, Mba Nandini naik apa kesananya?" tanya Bi Inah."Naik Grab car saja, Bi, saya sudah memesannya barusan," ucapku dengan lembut."Oh begitu, Mbak Nandini hati-hati ya.""Oh ya, mau dimasakin apa buat nanti makan malam Mbak?" tanya
"Gimana Nandini, sudah siap buat cerita?" tanya Annisa. "Iya, Nis. Aku memang harus siap menceritakan masalahku ini ke kamu," ucapku dengan nada sedih. "Iya jangan dipendam sendiri, Nandini, siapa tau saja aku bisa bantu kamu selesaikan masalah yang sedang kamu hadapin itu," ujar Annisa. "Iya, Nis. Makasih ya, kamu selalu bisa membuatku sedikit lebih tenang," ucapku "Iya, Nandini. Kita ini bukan sekadar sahabat, tapi kamu sudah aku anggap sebagai saudaraku, jadi masalah yang sedang kamu hadapi itu juga masalahku, sedangkan kebahagiaan yang kamu rasakan itu juga kebahagiaan yang aku rasakan. Aku nggak bisa lihat kamu sedih, Nandini. Kamu ini kan pengantin baru, seharusnya kamu bahagia, bukan malah sedih kayak gini," ucap Annisa yang mampu membuat hatiku sedikit lebih tenang. "Iya, Nis." "Apa kamu sedang bertengkar dengan Mas Nando, Nandini?" tanya Annisa. "Iya, Nis," jawabku dengan tertunduk, berusaha menata hati agar tidak samp
"Maksud kamu, aku harus perhatian gitu ke Mas Nando?""Iyalah, Keisya. Kamu masakin makanan kesukaan dia, atau kamu bisa rebusin air hangat untuk mandi saat dia pulang kerja, atau kamu cuci pakaiannya, memasangkan dasi, mengambilkan semua keperluannya saat kerja. hal sepele yang kamu lakukan itu pasti bisa meluluhkan hati suami kamu.""Apa kamu yakin hati Mas Nando bisa luluh, hanya karena diperhatikan seperti itu?" tanyaku sedikit ragu."Ya bisalah, asalkan kamu melakukannya dengan ikhlas." ujar Annisa mencoba meyakinkanku."Iya, Nis, kamu benar. Memang itulah yang seharusnya aku lakukan, tapi Mas Nando telah membuat kesepakatan, kalau aku dan dia akan terus menjadi seperti orang asing yang tidak saling kenal. Aku urusin keperluan dan kebutuhanku sendiri, begitu juga dengan dia. dan aku pun tidak berhak ikut campur urusan pribadinya," ucapku menjelaskan keraguanku tadi."Sudahlah, jangan mikirin kesepakatan, lagian 'kan Mas Nando yang membuat kese
Sesampai di rumah aku memberi salam dan tidak ada yang menjawabnya, mungkin Bi Inah sedang sibuk di belakang. Aku langsung masuk ke kamar dan merebahkan tubuhku di atas kasur, sembari memikirkan lagi tentang saran dari Annisa tadi.Apakah aku harus mengikuti saran dari Annisa dan mengabaikan semua kesepakatan yang dibuat oleh suamiku, ataukah aku harus tetap menuruti kesepakatan itu?"Kamu peduli padaku, tapi mencintai wanita lain."Mas Nando terlihat sangat memperdulikan aku, yang kulihat tiada kebencian yang dia rasakan. aku paham perasaanya, meski ego ini seakan menolak kebenaran yang nampak di mataku.Aku bingung dengan semua pikiran yang semakin membuatku kacau, ketakutan dan kegelisahan sering menghampiriku.Kali ini aku tidak akan tinggal diam, aku harus melakukan sesuatu yang membuat Mas Nando bisa melihatku yang sungguh-sungguh mencintainya. Aku pikirkan, aku cerna kembali setiap perkataan dan saran dari Annisa. Aku pikir saran
Aku hanya bisa diam, tak kusadari air mata ini pun terjatuh dan Mas Nando mengetahui hal itu, aku langsung mengusap air mataku. Saat aku mulai mengarahkan telapak tanganku tiba-tiba Mas Nando menghentikan tanganku lalu ia turunkan tangan ini di pangkuanku. Ia mengusap air mataku yang jatuh dengan tangannya, ia sapu lembut sampai tak tersisa lagi bekas air mata ini."Nandini, kenapa kamu menangis?" tanya Mas Nando lembut.Aku masih terdiam."Apa ada perkataanku yang melukai hatimu?" tanya Mas Nando sembari menatapku dengan lembut.Aku hanya menggelengkan kepala."Ngomong dong Kei, jangan buat aku khawatir, aku baru pulang kerja, aku kan juga ingin saat aku pulang kerja istriku bisa memanjakanku," ucapnya lembut sembari mengecup keningku.Mas Nando selalu bisa menenangkan hatiku saat dirinya menyakitiku. Bagaimana mungkin aku bisa membencinya. Sementara perlakuannya begitu manis di saat peduli dan mengkhawatirkanku, tapi dia terus saja membang
Rasa malu kesal dan tak berdaya campur jadi satu, aku ingin bisa lebih tenang dan bisa berpikir positif lagi, tanpa harus memikirkannya.Aku selalu disuruh mengerti, memaklumi, padahal jelas aku yang tertolak. Ingin rasanya diri ini memberontak. Namun, aku tak sanggup melakukan hal itu.Sangat tidak habis pikir kehidupan rumah tanggaku akan serumit ini, kupikir hidupku bisa jauh lebih baik. Namun, kenyataan memang terkadang berlainan dengan apa yang kita inginkan. Allah lebih mengetahui yang terbaik bagi hambanya.Aku merasa suntuk, hidupku hampa, cinta dan sakit yang kurasakan, sepertinya aku butuh untuk refreshing sejenak, tetapi ke mana, dengan siapa? Aku tidak ingin terus-terusan merepotkan Annisa. Dia sudah sangat baik kepadaku, mungkin yang dikatakan ayah kemarin itu benar juga, pengantin baru memang butuh bulan madu, tapi mana mungkin Mas Nando menyetujui hal itu. Bukankah dia akan lebih senang berkencan dengan Aleesha.Setelah melakukan adegan itu
Pagi yang cerah, Matahari menampakkan keceriaan. Begitu juga dengan diriku, aku harus tetap terlihat ceria. Jagan memperlihatkan kesedihan lagi. Orang lain dan Mas Nando hanya perlu tahu bahwa aku selalu bahagia. Aku harus bisa menyembunyikan kesedihanku.Pagi ini aku mulai beraktivitas di dapur, aku sengaja membantu Bi Inah memasak, aku memang ingin memasak makanan kesukaan Mas Nando, setelah masakan itu matang dan tercium baunya yang sangat menggugah selera aku pun meletakkan makanan itu di meja makan. Aku tidak peduli Mas Nando yang lagi diet karbo di pagi hari. Kalau dia memang bisa menghargai apa yang sudah aku lakukan untuknya pasti dia akan tetap memakan masakan buatanku.Mas Nando pun telah ke luar dari kamarnya, dengan pakaian yang rapi terlihat gagah dan sangat tampan."Nandini." Mas Aldo menatapku agak kaget."Iya, Mas, kenapa kaget gitu?""Ini kamu yang masak?""Iya, Mas. Makanan kesukaan kamu 'kan. Sup daging?""Kamu ngga