Sesampai di rumah aku memberi salam dan tidak ada yang menjawabnya, mungkin Bi Inah sedang sibuk di belakang. Aku langsung masuk ke kamar dan merebahkan tubuhku di atas kasur, sembari memikirkan lagi tentang saran dari Annisa tadi.
Apakah aku harus mengikuti saran dari Annisa dan mengabaikan semua kesepakatan yang dibuat oleh suamiku, ataukah aku harus tetap menuruti kesepakatan itu?
"Kamu peduli padaku, tapi mencintai wanita lain."
Mas Nando terlihat sangat memperdulikan aku, yang kulihat tiada kebencian yang dia rasakan. aku paham perasaanya, meski ego ini seakan menolak kebenaran yang nampak di mataku.
Aku bingung dengan semua pikiran yang semakin membuatku kacau, ketakutan dan kegelisahan sering menghampiriku.
Kali ini aku tidak akan tinggal diam, aku harus melakukan sesuatu yang membuat Mas Nando bisa melihatku yang sungguh-sungguh mencintainya. Aku pikirkan, aku cerna kembali setiap perkataan dan saran dari Annisa. Aku pikir saran
Aku hanya bisa diam, tak kusadari air mata ini pun terjatuh dan Mas Nando mengetahui hal itu, aku langsung mengusap air mataku. Saat aku mulai mengarahkan telapak tanganku tiba-tiba Mas Nando menghentikan tanganku lalu ia turunkan tangan ini di pangkuanku. Ia mengusap air mataku yang jatuh dengan tangannya, ia sapu lembut sampai tak tersisa lagi bekas air mata ini."Nandini, kenapa kamu menangis?" tanya Mas Nando lembut.Aku masih terdiam."Apa ada perkataanku yang melukai hatimu?" tanya Mas Nando sembari menatapku dengan lembut.Aku hanya menggelengkan kepala."Ngomong dong Kei, jangan buat aku khawatir, aku baru pulang kerja, aku kan juga ingin saat aku pulang kerja istriku bisa memanjakanku," ucapnya lembut sembari mengecup keningku.Mas Nando selalu bisa menenangkan hatiku saat dirinya menyakitiku. Bagaimana mungkin aku bisa membencinya. Sementara perlakuannya begitu manis di saat peduli dan mengkhawatirkanku, tapi dia terus saja membang
Rasa malu kesal dan tak berdaya campur jadi satu, aku ingin bisa lebih tenang dan bisa berpikir positif lagi, tanpa harus memikirkannya.Aku selalu disuruh mengerti, memaklumi, padahal jelas aku yang tertolak. Ingin rasanya diri ini memberontak. Namun, aku tak sanggup melakukan hal itu.Sangat tidak habis pikir kehidupan rumah tanggaku akan serumit ini, kupikir hidupku bisa jauh lebih baik. Namun, kenyataan memang terkadang berlainan dengan apa yang kita inginkan. Allah lebih mengetahui yang terbaik bagi hambanya.Aku merasa suntuk, hidupku hampa, cinta dan sakit yang kurasakan, sepertinya aku butuh untuk refreshing sejenak, tetapi ke mana, dengan siapa? Aku tidak ingin terus-terusan merepotkan Annisa. Dia sudah sangat baik kepadaku, mungkin yang dikatakan ayah kemarin itu benar juga, pengantin baru memang butuh bulan madu, tapi mana mungkin Mas Nando menyetujui hal itu. Bukankah dia akan lebih senang berkencan dengan Aleesha.Setelah melakukan adegan itu
Pagi yang cerah, Matahari menampakkan keceriaan. Begitu juga dengan diriku, aku harus tetap terlihat ceria. Jagan memperlihatkan kesedihan lagi. Orang lain dan Mas Nando hanya perlu tahu bahwa aku selalu bahagia. Aku harus bisa menyembunyikan kesedihanku.Pagi ini aku mulai beraktivitas di dapur, aku sengaja membantu Bi Inah memasak, aku memang ingin memasak makanan kesukaan Mas Nando, setelah masakan itu matang dan tercium baunya yang sangat menggugah selera aku pun meletakkan makanan itu di meja makan. Aku tidak peduli Mas Nando yang lagi diet karbo di pagi hari. Kalau dia memang bisa menghargai apa yang sudah aku lakukan untuknya pasti dia akan tetap memakan masakan buatanku.Mas Nando pun telah ke luar dari kamarnya, dengan pakaian yang rapi terlihat gagah dan sangat tampan."Nandini." Mas Aldo menatapku agak kaget."Iya, Mas, kenapa kaget gitu?""Ini kamu yang masak?""Iya, Mas. Makanan kesukaan kamu 'kan. Sup daging?""Kamu ngga
Setelah aku siap dengan baju gamis longgar dan hijab panjang yang terulur menutupi dada, aku pun siap untuk pergi berbelanja, tidak masalah belanja sendirian. Karena hal itu sudah sering aku lakukan, sejak masih kuliah dulu.Aku pun berpamitan dulu dengan Bi Inah."Bi Inah, saya mau keluar belanja dulu ya.""Iya Mbak Nandini, hati-hati ya, Mba," sahut Bi Inah yang masih sibuk dengan cucian yang numpuk."Iya, Bi'. Makasih ya.""Saya berangkat dulu ya, Bi, assalamualaikum.""Iya, Mbak. Wa'alaikumussalam."Aku bergegas ke luar rumah, sembari menunggu sopir grab carnya datang, supir yang sama dengan yang kemarin. Ya, Mas Aditia, entah dari kemarin kenapa bisa selalu menemukan sopir yang sama, padahal biasanya tidak pernah seperti ini."Mungkin karena Mas Aditia lagi berada di dekat sini," pikirku."Mbak Nandini," sapa Mas Aditia."Iya Mas, Adi," sapaku"Mau ke mana nih Mbak?" tanya Mas Aditia."Kan
Hatiku sedih, hatiku pilu, ya itulah yang aku rasakan. Lagi-lagi aku merasakannya.Mas Aditia yang tadinya mengambil mobilnya pun kini menghampiriku."Mba Nandini. Mari masuk ke mobil, saya sudah siap mengantar Mbak Nandini sampai rumah dengan selamat," ujar Mas Aditia sembari melempar senyum ke arahku yang sedari tadi berdiri di pinggir jalan. Sudah seperti orang yang menunggu angkutan umum saja aku ini."Iya, Mas," jawabku langsung masuk ke mobil, karena di luar begitu panas. Hatiku juga sedang memanas, makin terasa panas jadinya."Mau langsung diantar pulang ke rumah Mas Nando?" tanya Mas Aditia sembari menoleh kearahku yang tengah duduk di belakang."Iya, Mas. Saya tidak ingin pergi ke mana-mana lagi," ucapku dengan wajah datar."Maaf, Mbak. Boleh tanya sesuatu?""Iya, mau tanya perihal apa, Mas?""Mengenai Mas Nando." Hal itu sontak membuatku kaget, apa yang ingin ditanyakan oleh pria ini."Iya, silakan, Mas. Saya t
Lumayan capek juga bawa belanjaan yang cukup banyak, meski telah dibantu Bi Inah. Karena baru kali ini aku belanja sebanyak ini, maklum keperluan rumah tangga sama keperluan pribadi lebih banyak keperluan rumah tangga. Aku pun istirahat dulu di kamar, sambil menunggu azan Dhuhur.Kini aku tidak terlalu berpikir keras mengenai kenyataan yang baru saja aku ketahui. Aku percaya pada diriku sendiri bahwa nantinya aku pasti bisa membuat Mas Nando mencintaiku. Saat ini hatinya masih rapuh, dia butuh kelembutan. Pantas saja dia langsung mengagumi kelembutan sikapku. Ya, aku harus lebih lembut lagi dalam bersikap.Mas Nando adalah sumber kekuatanku, aku berharap padanya. Dialah imamku, akan selalu tetap di hatiku. Kini aku telah siap menjalani segala rintangan dalam pernikahan ini. Aku yakin Mas Nando tidak akan menceraikanku.Aku tidak akan membiarkan Aleesha menang dan merusak kehidupan Mas Nando. Sekarang yang perlu aku ketahui adalah tentang Aleesha. Menyebut
Selang beberapa menit kemudian ada nada telepon masuk di ponselku, aku lihat Mas Aditia meneleponku balik. Aku pun segera mengangkatnya. "Assalamualaikum Mba Nandini, ada apa kok telepon malam-malam begini?" tanya Mas Aditia khawatir terjadi sesuatu denganku. "Wa'alaikumussalam. Mas Adi, bisa minta to-tolong sebentar," jawabku dengan nada terbata karena merasa sangat takut. "Iya ada apa Mbak? Kok sepertinya Mbak Nandini sedang ketakutan gitu?" tanya Mas Aditia terdengar cemas mengkhawatirkanku. "Itu, Mas, disini tiba-tiba ada seseorang yang mencurigakan gitu, masuk ke pekarangan rumah, saya takut, jangan-jangan itu maling," ujarku menjelaskan. "Ya Allah ... ya sudah kalau begitu saya langsung meluncur ke sana sekarang, Mbak. Tunggu saya ya, jangan bertindak dulu, bahaya," sahut Mas Aditia yang langsung buru-buru mendatangiku. "Iya, Mas. Hati-hati, maaf sudah mengganggu malam-malam begini." "Iya nggak papa, Mbak. Saya lang
Pagi yang cerah, aku Nandini, aku akan membuat suamiku sadar betapa berartinya diriku."Aku akan membuat kamu lupa dengan masa lalu kamu yang pahit itu Mas Nando," gumamku dalam hati."Astagfirullah, aku sampai lupa, bukankah tadi malam Mas Aditia telah menolongku, dan tidur di teras," gerutuku.Aku pun bergegas ke luar rumah untuk melihat apakah Mas aditia masih berada di sana ataukah sudah kembali ke indekos.Aku ke luar rumah, tidak ada siapa pun di sana, bantal dan selimut masih ada di kursi, lalu di mana Mas Aditia?"Mbak Nandini sudah bangun?" tanya Mas aditia menghampiriku."Iya, sudah sejak Subuh tadi, Mas, Mas Aditia dari mana?""Oh ini loh, Mbak, tadi itu saya pulang dulu, untuk sholat Subuh di masjid, karena saya masih ngantuk ketiduran deh di kamar indekos, bangun tidur saya inget, kalau saya pulang tadi belum pamit sama Mbak Nandini, saya berpikir pasti Mbak Nandini nyariin, makanya saya ke sini lagi Mbak," ujar Mas