"Teteh, saya sudah besar dan saya tahu apa yang saya lakukan, pasti sudah saya pikirkan sebelumnya. Masa hanya berciuman saja tidak boleh? Yakin Teteh waktu mudanya sepolos itu? Sudah, saya mau kerjakan tugas." Dini meletakkan ponsel Puspa di atas meja, kemudian berjalan melewati Puspa yang masih berdiri di dekat pintu. "Dini, apapun yang sudah kamu lakukan di luar sana, tolong ingat mama, dan tentu saja ingat Tuhan. Teteh juga bukan wanita baik-baik, tetapi Teteh usahakan bisa menjaga nama baik mama. Minggu depan Teteh mungkin akan dilamar dan Teteh harap kamu tidak membuat kegaduhan. Setelah Teteh dilamar, maka Rian pun melangsungkan pernikahan dengan Sonya. Lalu kamu? Kamu harus menerima takdir, bahwa sesuatu yang bukan jodohmu, sekeras apapun kamu berjuang untuk mendekat padanya, tetap saja tidak akan bisa. Namun, jika ia sudah jodoh kamu, mau sampai gila kamu menolak, tetap akan jadi jodoh kamu. Teteh percaya sama kamu ya, Dini. Kamu jangan bikin mama sakit." Dini melepas tanga
["Apa kamu yakin Puspa akan menikah dengan bosnya? Bukankah Puspa berpacaran dengan Rian. Robi pun cerita pada saya. Tidak mungkin Puspa mudah pindah ke lain hati, saya tahu Puspa orangnya seperti apa?"]["Teh Puspa dan Rian sudah putus. Entahlah, saya juga gak tahu Bang, kenapa bisa Teh Puspa tiba-tiba mau dilamar bosnya? Apa teteh saya itu matre? Ya, kali aja dia kapok nikah sama sales mobil yang tahunya malah punya istri duluan. Sudah hidup gak kaya, masih dibohongi lagi."]["Dini, kenapa kamu jadi mengurusi hidup saya? Tidak perlu ungkit masa lalu."]["Tentu saja harus saya tegur, Bang. Bang Ramon itu lelaki plin-plan, katanya mau menggunakan Robi untuk mendapatkan Teh Puspa kembali. Ini malah kelamaan di Jakarta gak juga ke rumah, jadi keburu Teh Puspa digaet bosnya. Orang kaya dan pastinya tampan jauh dari Bang Ramon. Kalau saya jadi Teh Puspa, pasti saya juga gak mau kembali dengan Bang Ramon dan saya pasti pilih bos saya. Pokoknya Bang Ramon cepat ke Bandung deh, pengaruhi Rob
Ramon mengantar Robi ke rumah Bu Suci, disaat mantan istrinya itu tidak ada. Pukul dua siang, Puspa tentu saja masih bekerja, sehingga hanya Bu Suci yang menemani Ramon berbincang sambil minum teh. Robi yang sepanjang jalan tidak tidur dan terus saja bertanya ini dan itu, begitu tiba di rumah sang Nenek, sudah langsung tidur di karpet tebal depan televisi, sambil memeluk mobil truck favoritnya yang waktu itu lupa dibawa. "Kaki kamu sudah benar baikan?" tanya Bu Suci sambil memperhatikan kaki pria itu. "Masih sedikit sakit, Ma, belum bisa ikut futsal. Sama kalau terlalu banyak berdiri, pasti linu. Untunglah saya kerjanya sekarang sudah di belakang meja, MaMa, bukan sales lagi." Ramon tersenyum. Ia harus memberitahu informasi ter-update tentang dirinya. Siapatahu Bu Suci nanti bisa mempengaruhi Puspa untuk kembali rujuk dengannya. "Makanya kalau naik motor hati-hati," pesan Bu Suci. "Iya, Ma, lagi nahas saja sepertinya, padahal saya gak terlalu ngebut. Namun, semua ada hikmahnya, M
"Apa, melamar kamu? Heh, bocah labil, kalau bicara yang betul. Kamu bukan sedang bicara dengan anak seusia kamu, Dini. Saya sudah tiga puluh satu tahun. Ada-ada saja! Sudah, saya gak mau dengar ide gila ini. Saya mau balik saja!""Ish, tunggu dulu, Bang. Duduk dulu! Buru-buru amat!" Dini memaksa Ramon untuk duduk kembali di kursinya, padahal pria itu sudah malas dan tidak mau mendengarkan lanjutan ide Dini. Sempat-sempatnya ia menyeruput cola float terlebih dahulu sebelum bicara pada lelaki yang berwajah amat masam di depannya. Ramon melipat kedua tangan di dada sambil terus menatap Dini dengan jengah. "Bang, begini, melamar juga belum tentu menikahkan? Maksud saya, Bang Ramon pura-pura minta saya ke mama, terus bilang mau melamar saya. Kalau bisa lebih dulu dari Teh Puspa. Nah, Teh Puspa kan denger tuh, dia pasti gak setuju kalau Bang Ramon nikah sama saya, maka nanti Teh Puspa yang ngalah balikan sama Bang Ramon, gitu, Bang. Melamar saya hanya untuk pancingan perasaan Teh Puspa yan
Hari yang dinantikan Puspa dan Dini pun tiba. Keduanya sama berdebar dengan pilihan masing-masing. Jika Puspa berdebar karena sebentar lagi akan dilamar Galih, berbeda dengan Dini yang berdebar tak sabar menyaksikan acara lamaran yang pastinya akan dibatalkan oleh temennya. Ia begitu yakin rencananya berhasil. Sengaja ia belum mengatakan apapun pada mamanya dan juga Puspa agar semua menjadi kejutan. "Jadi, jam berapa?""Jam empat sore, Ma. Soalnya mamanya Pak Galih mau operasi amandel jam tujuh malam ini. Jadi acara dimajukan," kata Puspa yang baru saja kembali dari membeli kue untuk suguhan. "Oh, ya sudah, untung Mama minta Mang Caca sama Bik Erni ke sini sebelum ashar. Berarti pas semuanya. Tinggal Mama mengabari Pak RT.""Harus dilihat Pak RT ya, Ma? Bukannya kalau hanya lamaran, keluarga kita aja yang tahu." Puspa nampak tidak setuju jika ada orang lain di luar anggota keluarga yang datang nanti sore. "Di sini aturannya begitu, Puspa. Gak papa, hanya Pak RT ini. Istri atau peja
Acara sesi foto sederhana pun berlangsung saat anggota keluarga yang lain tengah menikmati sajian yang dibuat Bu Suci. Memang yang dilamar adalah janda, tetapi calon mempelai pria adalah anak bujangan kaya yang harus disambut dan dilayani dengan baik. Tentu saja Puspa paham akan hal itu, sehingga ia pun menyewa booth lamaran sederhana milik tetangganya hanya tinggal ganti nama calon pengantin saja. "Maaf, booth-nya gak keren ya," bisik Puspa saat ia Galih berpose. "Gak papa, yang penting calon pengantinnya ada, ha ha ha... " Galih dan Puspa tertawa. Hal itu tidak luput dari pengamatan Rian yang mendadak panas dengan pemandangan manis antara kakaknya, Puspa, dan juga Robi. Walau anak kecil itu masih malu-malu, tetapi Robi mau saat diajak foto bersama. Bahkan ada sesi foto Galih meggendong Robi dengan sebelah tangannya. Diikuti gaya pamer otot ala Ade Ray. "Kenapa kamu baru cerita kalau Puspa itu juga adalah mantan kamu, kakak dari Dini, bocah kecil yang tadi keluar dari kamar mandi?
Demi menjaga stabilitas keamanan calon istrinya, Galih bersikeras mengajak Puspa untuk menemaninya ke rumah sakit. Di rumah wanita itu masih ada Ramon, walau kedatangan Ramon karena ingin melamar Dini, tetapi namanya mantan, tetap saja perlu diwaspadai. Termasuk Rian yang tadinya nubat ingin ikut mengantarkan mamanya ke rumah sakit, padahal sebelumnya lelaki itu menolak. "Masa tamu ditinggal, Teh," rengek Dini saat melihat tangan Puspa sudah digandeng Galih untuk masuk ke dalam mobil. "Maaf adikku, Ramon sekarang bukan tamuku lagi, tapi tamu kamu. Lagian ada mama dan Robi yang menemani. Teteh jalan dulu ya." Puspa tersenyum sambil melambaikan tangan pada Dini yang masih berdiri mematung di depan teras. Puspa digandeng oleh pria kaya juga kaya yang ketampanan itu mengalahkan Rian, padahal mereka adik-kakak. Belum lagi mobil sport calon kakak iparnya yang membuat matanya berubah hijau karena tergiur. Berbeda dengan mobil SUV Ramon yang parkir di luar pagar. "Dini, masuk sini!" Seru B
"Papa kenapa?" tanya Desti saat menghampiri papanya yang duduk termenung di depan televisi. "Beberapa hari ini Papa gak ada pasien, emang sengaja atau bagaimana? Itu, nenek yang biasanya Papa panggil Mak Piah, udah tiga kali ke sini nyariin Papa. Tadi pagi juga ke sini, katanya mau pasang susu." Desti menutup mulutnya agar tidak terbahak. Miko menanggapi tanpa semangat. Pria itu menggeser posisi duduknya sambil mendesah malas. "Iya, itu nenek bandel. Papa udah bilang gak bisa pasang susuk. Dia tetap ngotot mau minta pasang susu, dia bilangnya susu, kurang huruf K. Katanya mau rasa coklat, tapi kalau gak bisa, rasa vanilla juga gak papa. Kalau vanilla belum ready, rasa pisang juga boleh." Miko menjawab dengan ekspresi datar, sedangkan Desti sudah tertawa terpingkal-pingkal mendengar jawaban papanya. "Pasien Papa unik. Lagian Papa kenapa masih praktek aja sih? Bukannya sekarang udah kerja di ekspedisi?" Desti mengambil minuman kaleng yang di atas meja. Ia kesulitan membukanya, sehing