"Papa kenapa?" tanya Desti saat menghampiri papanya yang duduk termenung di depan televisi. "Beberapa hari ini Papa gak ada pasien, emang sengaja atau bagaimana? Itu, nenek yang biasanya Papa panggil Mak Piah, udah tiga kali ke sini nyariin Papa. Tadi pagi juga ke sini, katanya mau pasang susu." Desti menutup mulutnya agar tidak terbahak. Miko menanggapi tanpa semangat. Pria itu menggeser posisi duduknya sambil mendesah malas. "Iya, itu nenek bandel. Papa udah bilang gak bisa pasang susuk. Dia tetap ngotot mau minta pasang susu, dia bilangnya susu, kurang huruf K. Katanya mau rasa coklat, tapi kalau gak bisa, rasa vanilla juga gak papa. Kalau vanilla belum ready, rasa pisang juga boleh." Miko menjawab dengan ekspresi datar, sedangkan Desti sudah tertawa terpingkal-pingkal mendengar jawaban papanya. "Pasien Papa unik. Lagian Papa kenapa masih praktek aja sih? Bukannya sekarang udah kerja di ekspedisi?" Desti mengambil minuman kaleng yang di atas meja. Ia kesulitan membukanya, sehing
“Mbak Puspa, ada telepon untuk Mbak Puspa!” seru Diah dari meja kasir. Puspa yang baru saja kembali dari mengantar pesanan, tak sabar berjalan untuk segera menerima telepon. “Dari siapa?” tanyanya. “Katanya Bu Angel.” Puspa mengerutkan kening. Nama itu asing baginya, bahkan terlalu keren. Ia tidak merasa punya teman ataupun anggota keluarga yang bernama Angel. “Halo, assalamualaykum, siapa ini/” “Wa’alaykumussalam, Mbak Puspa ya. Saya Bu Angel, teman Bu Suci yang punya punya percetakan. Sekarang saya tengah di rumah sakit membawa Bu Suci yang pingsan di teras rumah setelah menerima tamu lelaki.” “Apa? Mama di rumah sakit? B-baik, Bu, sekarang ibu membawa mama ke rumah sakit apa?” “Rumah sakit yang paling dekat dengan rumah kamu. Cepat ke sini ya.” “Baik, Bu, saya akan segera ke sana. Terima kasih banyak ya, Bu.” Puspa menutup teleponnya dengan tergesa. Lalu i
Dini masih terbaring lemah di ruang klinik kampus. Ia pingsan saat mengikuti perkuliahan, padahal tadinya ia baik-baik saja dan perutnya juga tidak dalam keadaan kosong. Namun, saat tengah fokus menulis, pandangannya kabur dan ia pun jath pingsan. “Dini, kamu sudah sadar,” sapa dokter kampus yang masih muda itu. Dini tersenyum samar sambil mengangguk. “Masih pusing gak?” tanyanya. “Sedikit.” Dini merasakan mual di perutnya. “Saya maag ya, Dok?” tanya Dini sambil berusaha duduk. Ia pun bersandar di kepala ranjang sambil memejamkan mata. Rasa pusing dan mual itu kembali menyerang. “Maaf, Mbak Dini, terakhir datang bulan kapan?” “Oh, saya tepar karena mau datang bulan ya? Pantas saja. datang bulan saya sedang tidak teratur, Dok. Dua bulan saya tidak haid dan badan saya pada sakit semua. Syukurlah kalau akhirnya saya datang bulan.” Dini menghela napas lega. “Coba tolong tes air
Dini mendengarkan cerita Puspa perihal apa yang dikatakan Miko tentangnya. Wajah gadis itu sontak membeku dengan bulir keringat membasahi keningnya. Tentu saja ekspresi Dini diperhatikan oleh Puspa. Wanita dewasa itu bisa menebak apa yang telah terjadi antara Miko dan adiknya. Namun, saat ini bukan waktu yang tepat untuk mengintervensi Dini akan kesalahannya. Bisa-bisa gadis itu kabur karena tidak mau mengaku. "Mama tentu saja kaget dengan apa yang dikatakan Miko, sehingga mama jatuh pingsan. Teteh harap, kamu menjauh dari pria dewasa seperti Miko yang mendekatimu hanya karena ada maunya. Apalagi kamu mau menikah dengan Ramon. Teteh lelah hari ini, mau langsung tidur. Besok Teteh tidak kerja, biar Teteh yang jagain mama di rumah sakit. Mama ada di kelas VIP.""Loh, kenapa di VIP, Teh?" tanya Dini yang mencoba mengusir rasa gugupnya. "Dibayarin calon suami Teteh." Ada perasaan bangga di hati seorang Puspa karena Galih mampu memberikan perawatan yang terbaik baik mamanya. Setelah seki
Dini yang malang. Miko membuat gadis itu seperti budak ranjang, apalagi pria dewasa itu mengetahui Dini sudah tidak perawan lagi. Maka semakin semena-mena dirinya. Saat pingsan pun, Miko terus membabi buta menikmati tubuh Dini. Saat gadis itu sadar, maka ia akan berikan minum dan makan roti saja, lalu ia gagahi kembali. Miko bisa dibilang memperkosan Dini berkali-kali hingga suara gadis itu habis. Pukul sebelas malam, disaat Miko sudah tertidur bagaikan mayat. Dini berusaha bangun dan memakai pakaiannya. Dengan menyeret tubuhnya, ia keluar dari rumah Miko. Memesan ojek online. Ia tidak sanggup berdiri karena semua tubuhnya sakit. Terutama bagian intimnya yang mungkin terluka. "Pak, tolong saya. Bawa saya ke kantor polisi, saya diperkosa lelaki di rumah itu," rengek Dini di depan pagar. "Oh, iya, Mbak, saya bantu. " Untunglah Dini bertemu dengan ojek online baik. Bapak-bapak yang memapahnya untuk naik ke atas motor. "Aduh, sakit, Pa, hua!" Dini menjerit kesakitan saat pengemudi oje
Puspa tidak bisa berkata-kata setelah mendengarkan semua laporan dari perawat dan juga dokter yang memeriksa dan melakukan tindakan kuret pada adiknya. Adiknya diperkosa hingga keguguran; tentulah hal itu membuat Pusa merasa terpukul. Napasnya tersendat-sendat. Ia tidak sanggup menanggung semua berita ini sendiri. Puspa meminta Galih datang menemaninya. Ia akan mengajak Galih berbicara dane berdiskusi apa yang harus ia lakukan untuk Dini. "Puspa, suara kamu kenapa gemetar? Apa Mama drop?""B-bukan, Mama, Pak, tapi Dini, tolong saya... " Puspa tidak sanggup melanjutkan ucapannya. Ia tersedu menahan tangis di ruang tunggu depan klinik. "Oke, sekarang sharelock ya, aku segera ke sana. Tunggu, semua akan baik-baik saja." "Cepat ya." Puspa pun menutup ponselnya. Ia masih menangis, belum tega dan belum sanggup melihat keadaan Dini yang pasti sangat menyedihkan. Apa yah harus ia katakan pada mamanya? Jantung mamanya pasti kembali kambuh, padahal mamanya baru mau keluar rumah sakit hari in
“Hari ini mama keluar dari rumah sakit, Teteh gak bisa lama nemenin kamu di sini ya, tapi nanti Teteh balik lagi. Paling tidak, urusan mama biar Teteh bereskan dulu. Kamu gak papa’kan?” Puspa baru saja selesai menyuapi Dini bubur nasi yang dibelikan oleh Galih. Pria itu juga membawakan pizza, makanan kesukaan Dini untuk camilan gadis itu. “Iya, Teh,” jawab Dini serak. Wajahnya sudah sedikit lebih berseri, berbeda saat pertama kali Puspa melihat adiknya terbaring lemas di ranjang rumah sakit. “Sabar ya, Dini, semoga setelah pria itu ditangkap, ia dapat hukuman yang pantas,” sambung Galih menambahkan. Dini tidak menjawab, hanya saja kepalanya mengangguk. “Teh, tapi mama jangan tahu ya. Saya sedang ada tugas kampus beberapa hari di Subang, begitu saja bilang mama,” ujar Dini mengingatkan Puspa lagi. Wanita itu mengangguk paham. Ia memeluk Dini sebelum keluar dari kamar perawatan itu. Galih mengantar Puspa ke rumah sakit untu
Galih sedang menikmati makan malam bersama keluarganya. Sudah mulai banyak saudara berdatnagan karena tiga hari lagi, Rain dan Sonya akan menikah. Rumah ramai dengan ponakan, om, tante, baik dari pihak mama ataupun papanya. Galih yang memang jarang sekali bertemu dengan anggota keluarga yang lain, tentu saja diminta dengan sangat oleh sang Mama untuk berada di rumah sebelum makan malam. Semua berkumpul dengan penuh suka cita menyambut pesta pernikahan Rian. Seharusnya Galih yang lebih dulu, tetapi karena Rian yang pertama kali dijodohkan dan cocok, maka Rian-lah yang lebih dahulu menikah.Rian pun sudah sejak kemarin tidak boleh keluar rumah oleh mamanya. Rian dipingit tidak bekerja dan pergi ke mana pun. Berolah raga juga hanya boleh di halaman rumah atau olah raga memnggunakan alat fitness yang sudah tersedia di rumah. Galih masuk ke kamar adiknya setelah semua anggota keluarga beristirahat. Rian nampak asik dengan ponselnya, seperti tengah berbalas pesan. Sesekali pria itu menyungg